Pancasila
di Tengah Kampanye Hitam
Yudi
Latif ; Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
|
KOMPAS,
03 Juni 2014
APA yang
kita persengketakan ini tidak jelas juntrungannya. Jika kemenangan ini
benar-benar demi rakyat, mengapa harus diraih dengan menipu rakyat lewat
muslihat kabar kebohongan?
Negara
ini tak bisa dipimpin oleh kebohongan. Sekali kita menggunakan kebohongan
sebagai cara meraih dan mempertahankan kekuasaan, manipulasi dan destruksi
menjadi tak terelakkan sebagai praktik memimpin. Hasil akhir dari tindak
kebohongan ini adalah pengabaian rakyat dan ketidakpercayaan secara
berkelanjutan.
Dalam
beberapa tahun terakhir, wacana publik jumbuh dengan ungkapan keprihatinan terhadap
cara memimpin dengan siasat kebohongan. Sedemikian mengguritanya praktik
manipulatif di negeri ini sehingga darah dan tulang negara ini bukan lagi
merah dan putih, melainkan hitam. Kita tidak tahu lagi pihak mana yang bisa
dipercaya karena berbagai kasus dan usaha penanganannya penuh dengan rekayasa
kebohongan.
Tibalah
kita pada fase sejarah yang murung. Di negeri ini, kebohongan dan korupsi
tidak saja telah menjelma menjadi kategori moral kolektif tersendiri, tetapi
juga menjadi pilar utama negara. Dengan korupsi dan kebohongan sebagai pilar
utama, setiap usaha memperjuangkan pemerintahan yang bersih, transparan, dan
akuntabel seperti menegakkan benang basah. Kehidupan publik tak punya
landasan untuk bisa saling percaya.
Di
republik yang penuh dusta dan manipulasi, persahabatan madani sejati hancur.
Setiap warga berlomba mengkhianati negara dan sesamanya; rasa saling percaya
lenyap karena sumpah dan keimanan disalahgunakan; hukum dan institusi lumpuh
tak mampu meredam penyalahgunaan kekuasaan. Ketamakan dan hasrat meraih
kehormatan rendah merajalela. Akhirnya, timbul kematian dan pengasingan:
kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan. Krisis multidimensi membayangi
kehidupan negeri.
Kita
menginginkan kepemimpinan baru untuk memulihkan kepercayaan di ruang publik.
Namun, ibarat keledai yang terperosok ke lubang yang sama untuk kedua
kalinya, cara kita menyongsong kepemimpinan baru ini terjebak dalam spiral
kebohongan yang sama.
Upaya
meraih dukungan pemilih dilancarkan melalui gugusan kampanye hitam. Di balik
keelokan visi-misi calon presiden-calon wakil presiden yang bertabur jargon
keagungan Pancasila, jaringan tim kemenangan dibiarkan merancang dan
menyebarluaskan kabar dusta. Serangan kampanye hitam ini bak anak panah yang
dibiarkan menembus perisai terdalam Pancasila yang berpotensi mematikan dasar
kebersamaan hidup.
Dalam
aksi ini, tak segan nama Tuhan diseru untuk tujuan kebiadaban. Pemulihan rasa
saling percaya lenyap ketika agama yang seharusnya membantu manusia
menyuburkan cinta kebenaran, rasa kesucian, kasih sayang, dan perawatan
(khalifah) justru memantulkan kebohongan dan kekerasan zaman dalam bentuk
penghilangan tabayun (pengecekan
kebenaran informasi) dan seruan permusuhan.
Gempa
besar yang menimpa fundamen etis dan nilai spiritual bangsa ini membuat rumah
kebangsaan rusak pada sistem pertahanan terdalamnya. Sejatinya, untuk keluar
dari krisis kepercayaan, suatu bangsa tidak hanya memerlukan transformasi
institusional, tetapi juga membutuhkan transformasi spiritual yang
mengarahkan warga bangsa pada kehidupan etis penuh welas asih. Dalam proses transformasi ini, seperti ditekankan
Karen Amstrong dalam The Great
Transformation (2006), persoalan agama tak berhenti pada apa yang kita
percaya, tetapi terutama pada apa yang kita perbuat. Karena itu, agama perlu
lebih menekankan pentingnya komitmen etis dengan menempatkan moralitas pada
jantung kehidupan spiritualitas.
Pentingnya
visi spiritual berdimensi etis sebagai jangkar eksistensi bangsa disadari
sepenuhnya oleh pendiri bangsa. Dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat pengakuan
yang rendah hati dan rasa syukur bahwa kemerdekaan Indonesia bisa dicapai ”Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa”.
Menurut Mohammad Hatta, dengan pengakuan ini, pemenuhan cita-cita kemerdekaan
Indonesia untuk mewujudkan suatu kehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur mengandung kewajiban moral. Kewajiban etis yang
harus dipikul dan dipertanggungjawabkan oleh segenap bangsa bukan saja di
hadapan sesamanya, melainkan juga di hadapan Tuhan Yang Mahakuasa.
Lebih
lanjut, Bung Hatta menyatakan, Ketuhanan Yang Maha Esa tidak hanya dasar
hormat-menghormati antar-pemeluk agama, tetapi juga jadi dasar yang memimpin
ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan. Dengan
demikian, fundamen moral menjadi landasan dari fundamen politik (dari sila
kedua sampai kelima).
Nilai-nilai
ketuhanan yang dikehendaki Pancasila, meminjam istilah Bung Karno, adalah
nilai-nilai ketuhanan yang berkebudayaan dan berkeadaban, yakni nilai-nilai
etis ketuhanan yang digali dari nilai profetis agama yang bersifat inklusif,
membebaskan, memuliakan keadilan dan persaudaraan; ketuhanan yang lapang dan
toleran yang memberi semangat kegotongroyongan dalam rangka pengisian etika
sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Memulai prosesi pengundian calon presiden-calon wakil presiden tepat di
hari kelahiran Pancasila, 1 Juni, semestinya menerbitkan fajar keinsafan bagi
calon pemimpin bangsa dan tim suksesnya untuk berkampanye dengan tegak lurus
di atas nilai-nilai Pancasila. Politik yang luhur tidak hanya mempersoalkan
mana yang menang dan untungnya, tetapi juga mempertanyakan secara mendasar ”apa yang benar” berdasarkan moral
Pancasila. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar