Mengantisipasi
Luka
Ignatius
Haryanto ; Peneliti Media di LSPP, Magister Filsafat dari STF Driyarkara
|
KOMPAS,
03 Juni 2014
”BERMAINLAH dalam permainan, tetapi jangan main-main.
Mainlah dengan sungguh-sungguh, tetapi permainan jangan dipersungguh.
Kesungguhan permainan terletak dalam ketidaksungguhannya, sehingga permainan
yang dipersungguh tidaklah sungguh lagi.”
(N Driyarkara)
MEREKA
yang sedang berkompetisi dalam pemilihan umum presiden, pada bulan Juli,
hendaknya mencamkan betul apa yang pernah dikemukakan oleh salah seorang
perintis pendidikan filsafat di Indonesia ini.
Ya,
pemilihan presiden mendatang adalah sebagian dari suatu permainan: permainan
demokrasi. Dalam permainan ini, kita diajak untuk ikut dalam aturan,
mengikuti apa kata wasit, dan boleh berbuat sejauh dimungkinkan dan tidak
melanggar hukum. Tujuan utamanya adalah untuk menang, tetapi jangan lupa
permainan ini juga melibatkan simpati, pilihan, dan dukungan dari banyak
pihak lain.
Polarisasi antarpendukung
Bagaimanapun,
akhirnya nanti, permainan harus menghasilkan pemenang. Siapa pun dia. Namun,
yang patut diingat di sini adalah bahwa pada akhirnya demokrasi merupakan
suatu permainan, di mana permainan tidaklah yang mendominasi dalam kehidupan
kita. Masih banyak sektor kehidupan kita yang bisa kita jalani di luar
permainan itu. Kita tetap harus hidup dan menjalani kehidupan dengan atau
tanpa permainan.
Hal ini
penulis sampaikan karena penulis merasa kondisi yang sekarang berjalan ini
sudah tidak lagi memiliki semangat bermain. Semangat yang lebih mengemuka
saat ini adalah semangat permusuhan, semangat menyingkirkan lawan, dengan
segala cara. Dalam banyak hal, kita merasakan ada polarisasi besar antara
mereka yang mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan para pendukung Joko
Widodo-Jusuf Kalla.
Pertarungan
menuju pemilu presiden bulan Juli semakin hari semakin tajam. Kampanye hitam
dilancarkan berbagai pihak kepada lawannya. Seolah tak akan puas hanya dengan
mencecar salah satu kelemahan lawan, tetapi sebisa mungkin banyak hal
dilakukan untuk menjatuhkan reputasi dan kepercayaan masyarakat kepada sang
lawan.
Di sini
media berperan besar juga untuk ikut terus memanaskan situasi (media ikut
terpolarisasi antara dua kubu tersebut dan membuat pihak netral jadi seolah
minoritas). Belum lagi jika kita menengok apa yang terjadi di media sosial,
di mana serangan demi serangan dilakukan kepada pihak lawan secara
sistematis. Rekayasa, bantahan, serangan tiap hari muncul menyerang pihak
lawan.
Situasi
semacam ini mudah tergelincir untuk menghasilkan konflik yang lebih terbuka
dan mudah mengundang konflik yang menggunakan kekerasan. Konflik sendiri pada
dasarnya hal yang alami, tetapi konflik yang menggunakan kekerasan
menunjukkan tidak adanya lagi kemauan mendiskusikan perbedaan dalam konflik
secara elegan.
Semua
pihak tentu ingin memenangkan permainan. Semua pihak tentu ingin unggul dalam
pertarungan. Tetapi, siapa yang siap jika pihaknya gagal, kalah, atau perolehan
suaranya lebih kecil daripada lawan?
Bersiap
untuk kalah juga merupakan bagian dari permainan. Tak mungkin muncul pemenang
kembar, kecuali jika sistemnya memungkinkan itu. Tetapi, permainan adalah
permainan, di mana jika permainan saat ini usai, masih ada permainan kali
lain.
Hal ini
perlu ditegaskan. Penulis khawatir jika polarisasi ini berkepanjangan akan
menghasilkan luka dalam diri pihak yang kalah dan akan membuatnya jadi gelap
mata dan tak lagi berpikir rasional. Konflik yang makin meruncing ini
dikhawatirkan membuat banyak pihak lebih siap untuk jadi pemenang pertama
ketimbang pemenang kedua. Jika ada pihak yang merasa saat ini di atas angin,
ia akan sulit menerima kekalahan dan memungkinkan ia mencari jalan lain untuk
mengatasi frustrasinya.
Anomali demokratisasi
Lepas
dari pemilu saat ini yang memang sangat brutal (calon anggota DPR yang
bertarung suara persis dengan siapa pun yang ada dalam daftar caleg, politik
uang yang bertebaran, media partisan yang sewenang-wenang menjajah ruang
publik, pelanggaran pemilu yang kerap tak ditindaklanjuti), kita toh
diingatkan untuk melihatnya dalam perspektif yang lebih luas. Bagaimanapun,
Indonesia masih terus menuju arah pematangan demokrasi dalam dirinya.
Waktu 16
tahun, atau dua windu, masih belum cukup menghasilkan demokrasi yang lebih
tertata secara institusi. Anomali-anomali menuju demokratisasi masih terus
berlangsung.
Kita
tidak ingin demokrasi mundur ke belakang dan menjadikan kita—sebagai bangsa—
kembali ke zaman barbar, di mana kekuatan fisik untuk menghancurkan dijunjung
tinggi dan membuat mereka yang berbeda pendapat dilibas, disingkirkan, tak
diberi ruang, dan lain-lain. Kita berharap mereka yang sedang bertarung ini
siap untuk juga menerima kekalahan secara sportif, menunjukkan diri sebagai
seorang negarawan yang telah berkompetisi politik secara sehat, dan mau
mengakui keunggulan lawan. Pada akhirnya, semua proses politik yang kita
lakukan ini adalah untuk menghasilkan Indonesia yang jaya, Indonesia yang
sejahtera. Untuk itu, kita semua—dari pihak mana pun kita berasal—dipanggil
untuk berkarya bagi bangsa.
Sudah terlalu banyak luka yang kita miliki sebagai bangsa. Ada baiknya
kita tak lagi menambah luka bagi negeri berpenduduk keempat terbesar di dunia
ini, juga negeri yang memiliki luas wilayah terbesar keempat sedunia. Kita
harus berkontribusi pada dunia sebesar jumlah penduduk dan luas wilayah kita.
Pekerjaan rumah kita sebagai bangsa masih banyak. Oleh karena itu, karena
permainan ini menjelang usai, siapkan diri untuk menjadi pemenang kedua
sehingga tak mengorbankan rakyat dan bangsa ini dengan amarah atau luka yang
berasal dari sikap tak bisa menerima kekalahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar