Rabu, 04 Juni 2014

Mengantisipasi Luka

Mengantisipasi Luka

Ignatius Haryanto  ;   Peneliti Media di LSPP, Magister Filsafat dari STF Driyarkara
KOMPAS,  03 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
”BERMAINLAH dalam permainan, tetapi jangan main-main. Mainlah dengan sungguh-sungguh, tetapi permainan jangan dipersungguh. Kesungguhan permainan terletak dalam ketidaksungguhannya, sehingga permainan yang dipersungguh tidaklah sungguh lagi.”    (N Driyarkara)

MEREKA yang sedang berkompetisi dalam pemilihan umum presiden, pada bulan Juli, hendaknya mencamkan betul apa yang pernah dikemukakan oleh salah seorang perintis pendidikan filsafat di Indonesia ini.

Ya, pemilihan presiden mendatang adalah sebagian dari suatu permainan: permainan demokrasi. Dalam permainan ini, kita diajak untuk ikut dalam aturan, mengikuti apa kata wasit, dan boleh berbuat sejauh dimungkinkan dan tidak melanggar hukum. Tujuan utamanya adalah untuk menang, tetapi jangan lupa permainan ini juga melibatkan simpati, pilihan, dan dukungan dari banyak pihak lain.

Polarisasi antarpendukung

Bagaimanapun, akhirnya nanti, permainan harus menghasilkan pemenang. Siapa pun dia. Namun, yang patut diingat di sini adalah bahwa pada akhirnya demokrasi merupakan suatu permainan, di mana permainan tidaklah yang mendominasi dalam kehidupan kita. Masih banyak sektor kehidupan kita yang bisa kita jalani di luar permainan itu. Kita tetap harus hidup dan menjalani kehidupan dengan atau tanpa permainan.

Hal ini penulis sampaikan karena penulis merasa kondisi yang sekarang berjalan ini sudah tidak lagi memiliki semangat bermain. Semangat yang lebih mengemuka saat ini adalah semangat permusuhan, semangat menyingkirkan lawan, dengan segala cara. Dalam banyak hal, kita merasakan ada polarisasi besar antara mereka yang mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan para pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Pertarungan menuju pemilu presiden bulan Juli semakin hari semakin tajam. Kampanye hitam dilancarkan berbagai pihak kepada lawannya. Seolah tak akan puas hanya dengan mencecar salah satu kelemahan lawan, tetapi sebisa mungkin banyak hal dilakukan untuk menjatuhkan reputasi dan kepercayaan masyarakat kepada sang lawan.

Di sini media berperan besar juga untuk ikut terus memanaskan situasi (media ikut terpolarisasi antara dua kubu tersebut dan membuat pihak netral jadi seolah minoritas). Belum lagi jika kita menengok apa yang terjadi di media sosial, di mana serangan demi serangan dilakukan kepada pihak lawan secara sistematis. Rekayasa, bantahan, serangan tiap hari muncul menyerang pihak lawan.

Situasi semacam ini mudah tergelincir untuk menghasilkan konflik yang lebih terbuka dan mudah mengundang konflik yang menggunakan kekerasan. Konflik sendiri pada dasarnya hal yang alami, tetapi konflik yang menggunakan kekerasan menunjukkan tidak adanya lagi kemauan mendiskusikan perbedaan dalam konflik secara elegan.

Semua pihak tentu ingin memenangkan permainan. Semua pihak tentu ingin unggul dalam pertarungan. Tetapi, siapa yang siap jika pihaknya gagal, kalah, atau perolehan suaranya lebih kecil daripada lawan?

Bersiap untuk kalah juga merupakan bagian dari permainan. Tak mungkin muncul pemenang kembar, kecuali jika sistemnya memungkinkan itu. Tetapi, permainan adalah permainan, di mana jika permainan saat ini usai, masih ada permainan kali lain.

Hal ini perlu ditegaskan. Penulis khawatir jika polarisasi ini berkepanjangan akan menghasilkan luka dalam diri pihak yang kalah dan akan membuatnya jadi gelap mata dan tak lagi berpikir rasional. Konflik yang makin meruncing ini dikhawatirkan membuat banyak pihak lebih siap untuk jadi pemenang pertama ketimbang pemenang kedua. Jika ada pihak yang merasa saat ini di atas angin, ia akan sulit menerima kekalahan dan memungkinkan ia mencari jalan lain untuk mengatasi frustrasinya.

Anomali demokratisasi

Lepas dari pemilu saat ini yang memang sangat brutal (calon anggota DPR yang bertarung suara persis dengan siapa pun yang ada dalam daftar caleg, politik uang yang bertebaran, media partisan yang sewenang-wenang menjajah ruang publik, pelanggaran pemilu yang kerap tak ditindaklanjuti), kita toh diingatkan untuk melihatnya dalam perspektif yang lebih luas. Bagaimanapun, Indonesia masih terus menuju arah pematangan demokrasi dalam dirinya.

Waktu 16 tahun, atau dua windu, masih belum cukup menghasilkan demokrasi yang lebih tertata secara institusi. Anomali-anomali menuju demokratisasi masih terus berlangsung.

Kita tidak ingin demokrasi mundur ke belakang dan menjadikan kita—sebagai bangsa— kembali ke zaman barbar, di mana kekuatan fisik untuk menghancurkan dijunjung tinggi dan membuat mereka yang berbeda pendapat dilibas, disingkirkan, tak diberi ruang, dan lain-lain. Kita berharap mereka yang sedang bertarung ini siap untuk juga menerima kekalahan secara sportif, menunjukkan diri sebagai seorang negarawan yang telah berkompetisi politik secara sehat, dan mau mengakui keunggulan lawan. Pada akhirnya, semua proses politik yang kita lakukan ini adalah untuk menghasilkan Indonesia yang jaya, Indonesia yang sejahtera. Untuk itu, kita semua—dari pihak mana pun kita berasal—dipanggil untuk berkarya bagi bangsa.

Sudah terlalu banyak luka yang kita miliki sebagai bangsa. Ada baiknya kita tak lagi menambah luka bagi negeri berpenduduk keempat terbesar di dunia ini, juga negeri yang memiliki luas wilayah terbesar keempat sedunia. Kita harus berkontribusi pada dunia sebesar jumlah penduduk dan luas wilayah kita. Pekerjaan rumah kita sebagai bangsa masih banyak. Oleh karena itu, karena permainan ini menjelang usai, siapkan diri untuk menjadi pemenang kedua sehingga tak mengorbankan rakyat dan bangsa ini dengan amarah atau luka yang berasal dari sikap tak bisa menerima kekalahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar