Rabu, 04 Juni 2014

Setelah Satuan Tugas Dipangkas

Setelah Satuan Tugas Dipangkas

Adnan Pandu Praja  ;   Pemimpin KPK
KOMPAS,  03 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi yang telah mengabulkan permohonan pengujian kewenangan Badan Anggaran DPR dalam membahas anggaran hingga sampai satuan tiga patut disambut gembira. Putusan itu harus diimbangi dengan pembenahan tata kelola anggaran di setiap kementerian dan lembaga, baik di pusat maupun di daerah.

Dalam rapat koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan pengurus Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi), beberapa waktu lalu, bupati dan wali kota mengeluhkan bahwa penanganan korupsi oleh KPK terlalu berlebihan. Kinerja pemerintahan kabupaten kota menurun drastis. Anggaran yang terserap maksimal 40 persen. Mereka takut mengambil kebijakan dan merasa gamang. KPK disarankan agar menurunkan kinerja penindakan dan lebih mendahulukan pencegahan.

Rapat koordinasi itu sangat berarti untuk menjelaskan kepada bupati dan wali kota perihal mandat yang diberikan UU kepada KPK untuk memberantas korupsi. Menurunkan kinerja pemberantasan korupsi sama artinya dengan mengabaikan mandat alias melanggar UU. Menurut teori kurva V, tindakan tegas pemberantasan korupsi selalu berakibat penurunan kinerja di mana pun di dunia. Peningkatan kinerja akan segera terjadi jika persoalannya adalah keterbatasan pengetahuan soal proses tender pengadaan barang dan jasa. Sebaliknya kinerja tak akan meningkat jika dilatari kepentingan yang bersifat transaksional. Penurunan kinerja di lingkungan pemerintahan kabupaten/kota lebih disebabkan alasan kepentingan semata. Tentu tak ada toleransi dengan alasan apa pun.

Integritas pengelola

Persoalan utama korupsi anggaran adalah integritas pengelolanya. Tes integritas seharusnya syarat mutlak menduduki jabatan strategis selaku kuasa pengguna anggaran (KPA) yang tak jarang dijabat kroni kepala kementerian, lembaga, ataupun kepala daerah selaku pengguna anggaran.

Tes integritas adalah kunci sukses KPK sejak didirikan yang juga merupakan prosedur baku di Amerika Serikat. Apabila para pengelola anggaran memiliki integritas prima dan dipercaya, ia dengan sendirinya dapat menutupi kelemahan aturan bahkan menolak intervensi pihak mana pun yang akan mengambil manfaat dari kelemahan aturan. Kata prima menjadi penting karena jujur saja tak cukup untuk berani melawan intervensi. Sayangnya, integritas tak jadi perhatian utama pemerintahan saat ini, baik di pusat maupun daerah.

Kompetensi KPA sangat penting ditingkatkan. Ia motor pengelolaan anggaran sejak tahap perencanaan sampai ketika anggaran digunakan. Mereka sangat paham potensi komisi yang bisa dimainkan untuk mendanai segala kebutuhan bosnya. Berbagai kasus korupsi yang ditangani KPK membuktikan rendahnya kualitas tata kelola anggaran selama ini. Sudah saatnya membikin standardisasi kompetensi berupa sertifikasi KPA. Ini lazim dilakukan di Kanada. Sertifikasi yang telah ada pada pejabat pembuat komitmen tak cukup membentengi korupsi anggaran.

Kebutuhan mendesak membuat standar kompetensi dengan pola sertifikasi juga diperlukan untuk para inspektorat di setiap kementerian dan lembaga. Perannya selaku penjamin kualitas dan konsultan membutuhkan kompetensi yang sangat baik, apalagi diharapkan bisa jadi agen perubahan. Sayangnya, harapan itu jauh panggang dari api.

Dari 400 kasus korupsi yang berhasil ditangani KPK selama 10 tahun, laporan dari inspektorat seluruh Indonesia hanya 20 kasus. Ketiadaan integritas prima juga jadi penyebab lemahnya kinerja inspektorat selama ini. Temuan inspektorat tak jarang berdampak negatif bagi kinerja atasannya: para kepala kementerian dan lembaga, baik di pusat maupun daerah.

Penguatan kinerja inspektorat sangat penting karena rasanya sulit mengharapkan peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberantas korupsi. Selama 10 tahun beroperasi, KPK hanya menangani 10 persen perkara korupsi yang berasal dari BPK. Ada beberapa alasan. Pertama, BPK hanya mencari potensi kerugian negara saja. BPK tak berusaha mendalami latar terjadinya fraud agar kesalahan yang sama tak terulang kembali. Hasil peer review BPK Polandia (2014) tidak dijadikan pembelajaran oleh BPK sehingga jadi temuan berulang (baru saja dirilis).

Kedua, pola penyelesaian tuntutan ganti rugi yang dimungkinkan UU dengan cara bayar lunas temuan kerugian negara jadi solusi jangka pendek menutup temuan yang sesungguhnya masuk kategori tindak pidana korupsi. Seyogianya secara paralel tetap harus dilaporkan kepada aparat penegak hukum. Ketiga, tata kelola penanganan pengaduan masyarakat yang tidak transparan. Keempat, oknum anggota BPK tak bisa menjaga jarak dengan politikus.

Hasil studi IMF mengungkap bahwa tingkat korupsi akan semakin kecil dengan semakin terbukanya tata kelola anggaran. Sejalan dengan itu, open government partnership yang belakangan gencar dipromosikan pemerintahan SBY seyogianya tetap dipertahankan oleh pemerintahan mendatang. Lihat kisah sukses pertanggungjawaban transparan Wali Kota Surabaya berupa e-government agar masyarakat dapat memantau dan turut berpartisipasi dalam tata kelola anggaran sejak direncanakan sampai ketika digunakan.

Putusan MK yang telah membatasi intervensi anggaran oleh DPR harus diimbangi dengan kebijakan anggaran yang transparan dengan mutu pengelola anggaran yang memadai agar persoalan tata kelola anggaran tak lepas dari mulut buaya lalu pindah ke mulut harimau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar