Mencegah
Korupsi Melalui “E-Audit”
Bahrullah
Akbar ; Anggota VII Badan Pemeriksa Keuangan
|
SINAR
HARAPAN, 02 Juni 2014
Kasus
dugaan penyalahgunaan wewenang mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
Hadi Purnomo, ketika menjabat Dirjen Pajak seakan menjadi pintu masuk bagi
banyak kalangan untuk menyorot kinerja BPK.
Hadi
Poernomo ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
karena diduga terkait permohonan keberatan pajak Bank Central Asia (BCA).
Sejumlah
kalangan mempertanyakan integritas BPK. Apalagi, banyak kalangan selama ini
kurang mengerti kenapa masih saja ditemukan dugaan korupsi di sebuah lembaga
tertentu, sekalipun BPK telah mengeluarkan opini Wajar Tanpa Pengecualian
(WTP).
Dengan
asumsi itu, BPK kemudian dinilai sebagai sebuah lembaga pelindung koruptor.
Setidaknya pendapat seperti itu pernah disampaikan M Bashori Muchsin dalam
sebuah artikel yang dimuat di harian nasional.
BPK
bukan lembaga yang antikritik. Sebaliknya, BPK sering membuka ruang kritik
bagi masyarakat. BPK mengikutsertakan masyarakat dalam mengawal serta menjaga
independensi, integritas, dan profesionalisme BPK dalam melaksanakan tugas
pemeriksaan. Sebagai sebuah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan
konstitusi, BPK bertugas melaksanakan pemeriksaan keuangan negara.
Jenis
pemeriksaan yang dilakukan BPK terdiri atas tiga jenis, yakni pemeriksaan
keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT).
Pada
dasarnya, pemeriksaan itu dalam rangka pelaksanaan peran negara dalam
meningkatkan kesejahteraan sosial, seperti yang telah termaktub dalam UUD
1945 Pasal 33 E. Kerangka pemeriksaan terhadap BUMN secara umum sama dengan
pemeriksaan BPK terhadap instansi pemerintah.
Pemeriksaan
instansi pemerintah dimulai dengan identifikasi urusan-urusan pemerintahan
umum yang dilaksanakan penguasa atau regulator. Secara hierarki, proses
tersebut diturunkan ke kementerian teknis terkait atau pemda, hingga titik
akhirnya kepada satuan teknis (satker).
Demikian
halnya dengan BUMN, pemeriksaan dimulai dari identifikasi urusan bisnis (profit motif) BUMN, dilanjutkan dengan
pelaksana yang merupakan pengusaha atau operator BUMN yang diawasi
Kementerian BUMN, hingga akhirnya kepada BUMN yang bersangkutan.
Khusus
untuk pemeriksaan terhadap BUMN, BPK lebih banyak menekankan kepada
pemeriksaan kinerja dan PDTT. Hal ini didasari pemirikan pada dasarnya
pemeriksaan keuangan terhadap BUMN lebih banyak dilakukan Kantor Akuntan
Publik (KAP).
Selama
periode 2010-2012, BPK telah melaksanakan empat kali pemeriksaan keuangan
pada 2010 dan satu pemeriksaan pada 2012. BPK juga melakukan enam pemeriksaan
kinerja terhadap BUMN pada 2010, 11 pemeriksaan pada 2011, dan 11 pemeriksaan
pada 2012.
Jumlah
PDTT jauh lebih banyak dibandingkan pemeriksaan keuangan dan kinerja. BPK
melakukan 38 PDTT pada 2010, meningkat menjadi 72 PDTT pada 2011 dan menjadi
56 PDTT pada 2012. Secara total, BPK telah melakukan 48 pemeriksaan pada
2010, atau tersampel 33,1 persen dari total BUMN yang ada. Pada 2011
dilakukan 83 pemeriksaan, atau 57,64 persen dari total 144 BUMN. Pada 2012,
sebanyak 68 dari 144 BUMN atau 47,22 persen.
Pemeriksaan
yang dilakukan BPK pada dasarnya untuk membandingkan kriteria dengan pelaksanaannya.
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang dikeluarkan harus ditindaklanjuti
auditee paling lambat 60 hari setelah diterbitkannya LHP. Hasil pemeriksaan
BPK yang mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi (tipikor) akan
ditindaklanjuti aparat penegak hukum (APH) baik KPK, kepolisian, maupun
kejaksaan.
Selama
10 tahun dari 2003 hingga 2013, BPK telah melimpahkan 430 temuan kepada APH
dengan perkiraan kerugian negara Rp 32,4 triliun dan US$ 840 juta. Khusus
untuk BUMN, BPK telah melimpahkan 116 temuan kepada APH dengan perkiraan
nilai kerugian negara Rp 26,9 triliun dan US$ 793 juta.
Menutup Celah
Meskipun
BPK memiliki kewenangan luas dalam memeriksa, bukan berarti lembaga ini
menjadi lembaga yang nirkontrol atau digdaya, sehingga terbuka ruang yang
lebar bagi penyalahgunaan kewenangan.
Argumentasi
tersebut didasarkan atas beberapa tinjauan. Pertama, hasil pemeriksaan BPK
dilaporkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai amanat UU. Kemudian, BPK juga
diwajibkan memantau tindak lanjut atas hasil pemeriksaan dan memberitahukan
hasilnya kepada DPR tiap semester.
Atas
dasar inilah, lembaga legislatif sebagai representasi publik dapat menilai
bagaimana kinerja dan kualitas audit yang dilakukan BPK. Apalagi, saat ini
DPR memiliki Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) yang bertugas
menelaah temuan hasil pemeriksaan BPK serta memberi masukan kepada BPK.
Kedua,
dalam menjalankan tugas pemeriksaan, BPK terikat Kode Etik BPK, sebagaimana
tertuang dalam Peraturan BPK Nomor 2/2011. Jika terjadi indikasi
penyalahgunaan kewenangan, BPK telah membentuk Majelis Kehormatan Kode Etik
sesuai Peraturan BPK Nomor 1/2011. Majelis Kehormatan ini terdiri atas
anggota BPK, kalangan akademikus, dan unsur profesi.
Ketiga,
isu dugaan jual-beli opini WTP yang mengemuka sesungguhnya perlu diluruskan
agar tidak dipahami salah kaprah. Opini WTP merupakan produk dari pemeriksaan
atas laporan keuangan yang dilakukan BPK, untuk menilai kewajaran penyajian
laporan keuangan sesuai standar akuntansi pemerintahan (SAP). Jika laporan
keuangan secara keseluruhan sudah disajikan sesuai SAP, BPK akan memberikan
opini WTP. Jadi, pemberian opini WTP bukan berarti secara serta merta entitas
yang diperiksa bersih dari indikasi korupsi.
Selain
memeriksa laporan keuangan, BPK juga melaksanakan pemeriksaan kinerja dan
PDTT. Pemeriksaan kinerja bertujuan menilai kinerja lembaga apakah sudah
ekonomis, efisien, dan efektif. PDTT adalah pemeriksaan investigatif yang
bertujuan menilai apakah suatu kegiatan terendus korupsi atau tidak.
Sistem Pencegahan
Kita
sepakat, korupsi merupakan kejahatan serius (extraordinary crimes), sehingga diperlukan pula tindakan yang
luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan korupsi harus dilakukan serempak
dan terintegrasi dalam suatu sistem monitoring yang kuat.
Saat
ini, BPK berinisiatif membangun pusat data yang dibangun dengan menggabungkan
data (dokumen) dengan cara mapping,
matching, dan converting dari seluruh entitas BPK. Melalui pusat data BPK, para
pemeriksa dapat melakukan pemeriksaan secara elektronik atau e-audit.
E-audit
merupakan sistem kontrol yang efektif dan efisien mencegah sejak dini potensi
penyimpangan dan kecurangan (fraud).
Melaui sistem ini, semua data akan tersaji dalam pusat data. Seluruh
transaksi akan disimpan dalam pusat data yang dapat diakses BPK dan auditee
setiap saat.
Dengan
demikian, transparansi dan akuntabilitas terwujud melalui monitoring seperti
adanya CCTV keuangan negara. Korupsi dapat dicegah dan diberantas melalui
sistem ini. Sistem ini juga dapat menjaga objektivitas hasil pemeriksaan
karena mencegah terjadinya pertemuan-pertemuan yang tidak perlu antara
auditor dan auditee. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar