Minggu, 22 Juni 2014

Budaya dan Politik Induksi-Deduksi

Budaya dan Politik Induksi-Deduksi

Mudji Sutrisno  ;   Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pasca Sarjana UI, Budayawan
KORAN SINDO,  20 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Pendekatan berdasarkan pengalaman merupakan pendekatan yang ingin menghayati kenyataan apa adanya serta mengecap, merasai dalam penghayatan penuh peristiwa- peristiwa yang dialami dan dijalani.

Istilah ilmiahnya adalah ”induksi”, artinya, ducare in: mengalami dari dalam, ”masuk menuntun diri ke ....”. misalnya, di belantara alam di Ubud tepatnya ”swarga loka resor”, bangunan rumah menyelaraskan diri dengan irama alam, mengikuti tumbuhan dan pepohonan secara sadar dan membiarkan tumbuh alami hingga tidak satu pohon pun bila tak perlu ditebang karena rumah-rumah alami Bali menyelaraskannya dengan alam.

Menarik mengamati peristiwa sehari-hari yang terbentang dari tempat baca serambi pondok melihat tupai-tupai berlompatan lincah, setiap kali merambati sulur-sulur ranting panjang. Tupai-tupai itu melenting salto ke ranting pohon berikutnya dengan loncatan silat alami sebelum ujung cabang yang terbebani tubuhnya meliuk ke bawah, tupai itu sudah meloncat hinggap di sulur berikut tempat ia menemukan makanan alami atau lebih tepat sarapan pagi di pukul delapan pagi itu dengan senam loncat-meloncat saling menyapa sesama tupai diiringi cericit kutilang sahut menyahut dan burung tuktuk yang memagut tuk tuk tuk batang pohon dengan paruhnya hingga musik patuk mematuk itu ”induktif” dipakai orang untuk menamainya sebagai burung tuk-tuk.

Sekejap Anda akan kritis bertanya, mengapa kata yang sama yaitu tuk-tuk dipakai orang-orang Kamboja dan Thailand untuk menamai kendaraan angkot semi bajaj? Jawabannya ada pada penjelasan Ferdinand de Saussure, bahwa makna bahasa tergantung pada komunitas pemakai bahasanya. Jadi secara induktif disepakati nama burung tuk-tuk karena pemberi maknanya orang-orang alam flora tropis yang bersepakat bersama.

Sedangkan di tempat lain tergantung konsensus pemakai bahasa yang oleh De Saussure diteorikan dalam proses memaknai (baca: the signifying process) ada penanda atau pelaku pemberi makna (baca: the signifier) dan yang ditandai (baca: the signified). Inilah salah satu contoh pendekatan induktif yang mengambil dari pengalaman banyak beragam lalu membahasakannya. Sementara itu, pendekatan yang mengabstraksi dari pengalaman-pengalaman dan penghayatan beragam-ragam itu disebut ”deduksi”.

Contoh langsungnya, ketika Bung Karno bertemu beragam orang-orang Nusantara, ada orang Jawa, Minang, Flores, Batak, Sunda, Makasar, Bugis, Papua, maka dengan pengalaman bertemu pula orang-orang beragam religi di sini: ada Islam, ada orang Hindu, Buddha, orang Kristen, ada yang berkepercayaan keyakinan religi bumi, maka saat Bung Karno menggali dasar bernegara yang menampung dan menjadi rumah besar Indonesia, dia mengabstraksikannya secara ”deduktif” (baca: de-ducare = harfiah berarti menuntun rangkum dalam abstraksi) menjadi kemanusiaan.

Lalu cita-cita bernilai yang harus diperjuangkan terus menerus agar tidak saling menindas, maka harus mengajar keadaban dan perlakuan adil satu sama lain. Jadilah deduksi kemanusiaan yang adil dan beradab. Bila antarsesama yang unik berbeda saling berperang dan rebutan kuasa maka keadaan kembali ke naluri purba kebiadabanlah yang terjadi.

Induksi dan deduksi ini harus terus menerus diuji ke dinamika hidup yang terus bergerak. Sekali rumusan deduktif tertulis, maka ia harus dibawa ke induksi lagi dan setelah itu diabstraksi lagi menjadi deduksi, begitulah dinamika metode logika serap dan hayati pengalaman as such as it is lalu di idealisasi dengan perjuangan cita-cita yang mau dijadikan pandu ibu pertiwi.

Menarik mencatat dalam sejarah kejelian genius pendiri bangsa kita Bung Karno tatkala pada periode pembuangan di Ende, Flores 1934-1938, ketika induktif dari penghayatan sehari-hari bertemu religusitas orang-orang lokal religi bumi, bergaul dengan muslim-muslim toleran berbudaya serta dialog hidup dengan misionaris pendidik- pendidik Kristiani yang muda-muda, yang memberi ruang pustaka di Ende kala Bung Karno diasingkan dan psikologis merasa menjadi nobody.

Di sanalah induksi dan deduksi terwujud dahsyat dalam galian rangkum bakal sila pertama Pancasila. Bung Karno menulisnya setelah mengalami secara induktif dan mendeduksikan abstraknya dengan kalimat: Ketuhanan yang berkebudayaan dan berbudi pekerti. Inilah rumusan kultural sila pertama yang sampai beberapa tahun yang lalu masih diusahakan dipraktekkan dengan mata ajaran budi pekerti, justru karena beda-beda religi Nusantara paling bisa dijembatani dengan toleransi antar religi dan interreligi kalau oasenya adalah budi pekerti religius.

Namun ketika perintah sejarah politis dalam wujud bendawi budayaatau tangible berdebat keras mengenai pentingnya menegaskan tauhid atau keesaan Allah secara politis, lalu digantilah rumusan bakal sila pertama itu menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Inilah contoh nyata bahwa kita harus menjadi sadar dan tercerahkan apa konsekuensi rumusan politik sebagai wilayah hukum formal yang mereduksi rumusan kultural intangible atau ranah nilai dan ruh budaya.

Itulah sebabnya, jalan politis memecah atau devide kita dalam kubu di sini kawan dan di sana lawan. Menyadari butir renung ini semestinya membuat kita hati-hati terhadap kepentingankepentingan politis (baca: political interest) apabila tanpa budaya (baca: value atau nilai mengenai yang baik, yang bermoral). Pendiri bangsa rekan dwitunggal Bung Karno, yaitu Bung Hatta, menjadi contoh menarik sekali dalam posisi sejarahnya untuk bangsa ini.

Bung Hatta yang cendekiawan sekaligus merakyat tahu persis bahwa teori-teori ekonomi yang mendasarkan diri pada kapital besar dengan akibat kekayaan bumi dan mineral Nusantara ini bila tidak diatur dalam konstitusi dengan pasal-pasal hukum positif untuk sebesarbesar kemakmuran bagi masyarakat, pasti akan menghasilkan jurang kaya dan miskin serta negara oligopoli dan oligarki.

Karena itu, Pasal 33 Konstitusi UUD 1945 dirumuskan tajam setelah induksi kenyataan masyarakat yang miskin selama penjajahan dan yang tertindas karena tak punya modal atau tanah. Maka deduksi hukum dirumuskan dengan fokus memakmurkan rakyat yang selama ini menyembah-nyembah, menunduk-nunduk seraya bermental perilaku ya tuanku alias daulat tuanku. Maka usaha bersama dalam koperasi sebagai deduksi demokrasi ekonomi yang saling membantu dalam usaha bersama untuk saling menyejahterakan menjadi panduannya.

Begitu pula dengan mengalami, merangkum penghayatan bersama rakyat kecil yang tulus memilih pemimpin-pemimpinnya dalam model desa, rumah gadang serta komunitas-komunitas tradisional secara mufakat melalui metode induksi lalu dirangkum abstraksikanlah secara deduktif rumusan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.  

Diktum rumus di atas sebelumnya secara kultural mengedepankan cara musyawarah sebagai inti (esensi) demokrasi desa (menurut Hatta). Maka dari itu, ketika kita semena-mena selalu secara pragmatis main solusi pemungutan pemenangan voting suara terbanyak, di sana rumusan Hatta ”kita ciderai” karena voting tega mengeliminasi yang kecil, yang minoritas demi mayoritas.

Namun yang paling dahsyat untuk tulisan induksi dan deduksi sebagai metode berpikir, merangkum dan merumuskan sebenarnya sudah dihayati oleh para bijak nenek moyang, leluhur ahli kehidupan yang menghayati dengan merenungi berjam-jam, berhari-hari bahkan berabadabad lalu menuliskan kalimat bermakna, kalimat bijaksana: sepandai- pandai tupai melompat, .... Sekali gawal (gagal) juga. Mengapa? Pertama, para bijak dan tadi di depan tulisan saya catat induksi saya, para tupai ikut amat terampil dan ahli melompat.

Berarti esensi ontologis (bahasa sulit yang sederhananya mau mengatakan ciri laku tupai adalah kehebatannya meloncat dari ranting sulur pohon satu ke yang lain), namun sekali gagal loncat juga. Kedua, pepatah nasihat hidup bijak ini, sudah diuji dengan verifikasi berabad-abad secara induksi lalu diabstraksi deduksi dalam satu kalimat padat berisi yang sampai hari ini makna hikmahnya abadi.

Ketiga, dalam pepatah sepandai- pandai tupai melompat, sekali gagal juga (dan konsekuensinya tupai itu jatuh ke bawah) ingin dimuatkan nasihat agar kita jangan sombong, membesarkan diri pongah dengan mengecilkan sesama. Sebab jika ada yang terus berjaya seahli dan sepintar siapa pun, tidak ada yang tidak pernah gagal.

Yang penting adalah rendah hati mengolah kegagalan untuk bangkit lagi. Dalam aura hikmah bijak hidup ini, rakyat banyak amat cerdas menangkap yang pada dia dan mereka yang sederhana, tulus sebagai yang bisa diharapkan menjadi pandu bangsa.

Fenomena kecerdasan rakyat banyak ini baru saja dibuktikan dalam pemilu pileg (legislatif) kemarin dulu. Meski bombardir televisi, tayangan-tayangan hebat, baliho menyeruak menyesaki mata pandang, mata budi kita semua seolah tidak ada celah untuk mata nurani, tetapi yangdipilihrakyat banyakbukan citra-citra yang digeber media televisi, visual, kampanye hitam yang dimiliki mereka-mereka yang punya semuanya yaitu media visual, dana, kekayaan secara riuh-pikuk seakan membuat secara visual dan maya mereka gegap gempita menang!

Tetapi pilihan nurani rakyat banyak bukan mereka, tetapi yang bersahaja, yang tulus mau memperjuangkan kesejahteraan mereka. Bacaan cerdas rakyat banyak moga terwujud di 9 Juli 2014 ini pula, karena di sana termuat religusitas Tuhan tidak akan tidur, Gusti mboten sare, karena doa-doa rintik dan alunan sembahyang mereka-mereka yang menjadi korban-korban kejahatan kemanusiaan serta politik bumi hangus dan hancurkan semua agar si pemenang seakan tampil mengaku diri penyelamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar