Rabu, 12 Februari 2014

Tan Malaka dan Republik

                       Tan Malaka dan Republik    

 Airlangga Pribadi Kusman   ;   Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Kandidat PhD Asia Research Center (ARC) Murdoch University
KORAN SINDO,  12 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Beberapa hari lalu di kota saya Surabaya terjadi tragedi yang mengusik ruang publik demokratis dan kebebasan berpikir saat sekelompok orang melakukan intimidasi yang dibiarkan, bahkan terkesan difasilitasi oleh aparat keamanan, dengan melakukan pembubaran atas acara bedah buku Tan Malaka. 

Acara tersebut digelar di sebuah komunitas diskusi dan dihadiri oleh penulis bukunya, Profesor Harry Poeze, seorang akademisi Belanda yang mendedikasikan hidupnya bagi upaya akademis untuk menguak tokoh misterius dalam perjalanan sejarah Indonesia. Setelah 16 tahun reformasi di negeri kita berjalan, insiden ini tentu sangat memprihatinkan. 

Selain tentu saja mencoreng fundamen prinsip-prinsip dasar kehidupan demokrasi kita terkait dengan kemerdekaan menyerukan gagasan, lebih jauh lagi pelarangan terhadap diskusi terhadap sosok Tan Malaka adalah pengingkaran terhadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Pasalnya apabila Tirto Adhie Soerjo dan Wahidin Soedirohoesodo adalah sang pemula kebangkitan nasional, Soekarno dan Hatta adalah penentu kemerdekaan Indonesia, maka Tan Malaka adalah tokoh pelopor kemerdekaan Indonesia dalam pikiran yang tertuang pada karya-karyanya, terutama dalam magnum opus beliau, Naar de Republiek Indonesia (1924), Massa Actie (1926), serta Madilog (1943) yang ia tulis di bawah kejaran intelijen kekuasaan kolonial. 

Bagi kalangan yang masih terbelenggu dalam wacana hegemonis Orde Baru yang memilah dan membenturkan sosialisme, agama, dan semangat nasionalisme, adalah di luar pikiran mereka untuk memahami sebuah fakta sejarah bahwa seorang figur seperti Al-Ustaz Ibrahim Datuk Tan Malaka yang diakui oleh ulama sekaliber Buya Hamka dalam kata pengantar pada karya beliau Islam dalam Pandangan Madilog (1948), bahwa pikiran-pikiran Tan Malaka tentang Islam sejalan dengan pandangan kaum Islam modernis, adalah tokoh yang berkecimpung lama dalam pergerakan sosialisme internasional, juga bersamaan dengan itu adalah tokoh nasionalis yang meletakkan sendi-sendi awal dari bentuk kenegaraan Republik Indonesia. Bagi kalangan fanatik seperti ini figur Tan Malaka cukup dipahami melalui stigma usang sebagai tokoh komunis musuh kaum agamawan. 

Visi Kenegaraan 

Dizaman pergerakan nasional, Tan Malaka adalah tokoh yang sangat dihormati karena kecemerlangan pikiran, konsistensi tindakan, dan dedikasinya yang penuh terhadap pencapaian kemerdekaan Indonesia. 

Bahkan di awal kemerdekaan Indonesia tepatnya pada September 1945, ketika republik yang masih muda ini berada di ujung tanduk, Presiden RI Soekarno dengan perantara Sajoeti Melik secara khusus mengundang Tan Malaka untuk memberi testamen politik apabila Soekarno berhalangan atau harus tersingkir, maka Tan Malaka ia tunjuk penjadi penggantinya (Poeze, 2008). 

Karya Tan Malaka Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) yang ditulis pada tahun 1924 merupakan karya awal yang menegaskan tujuan dari pergerakan nasional untuk mencapai Indonesia merdeka, sebelum Hatta menulis risalahnya Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) pada tahun 1928 dan Soekarno menulis Menuju Indonesia Merdeka pada tahun 1933. 

Melalui karyanya inilah Muhammad Yamin menobatkan Tan Malaka sebagai Bapak Republik Indonesia seperti Thomas Jefferson maupun George Washington bagi Amerika Serikat. Pada masanya Naar de Republiek Indonesia memperlihatkan visi kenegaraan dari Tan Malaka, di dalamnya ia tidak hanya menjelaskan konstelasi ekonomi-politik internasional di bawah sistem kapitalisme, tetapi melampaui itu beliau menguraikan perihal program demokrasi kerakyatan, struktur tatanan kenegaraan, pentingnya pembentukan instrumen militer dan strategi perang, serta keharusan nasionalisasi aset-aset asing dan produksi bagi pemenuhan kebutuhan rakyat Indonesia untuk melampaui desakan gravitasi sistem imperialisme yang menempatkan Indonesia sebagai pasar dan rakyatnya hanya menjadi kuli. 

Dalam kemenyeluruhan jalan pikiran Tan Malaka, buku ini tidak hanya menyadarkan tetapi juga menggugah dan memanggil kalangan terpelajar untuk mengikuti panggilan rakyat dan turut berjuang bagi kemerdekaan (Poeze, 2000). Karya selanjutnya dari Tan Malaka, yaitu Massa Actie, juga merupakan mutiara manikam pengetahuan yang memberi sumbangan penting bagi perkembangan pergerakan nasional. 

Konon WR Supratman— seperti diceritakan oleh Hadidjoyo Nitimihardjo—, penggubah lagu kebangsaan Indonesia Raya, menulis lagu ini setelah membaca karya Tan Malaka tersebut, Massa Actie, terutama setelah ia mendengar kalimat terakhir dari buku tersebut: “Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu dan tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putra tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah.”

Sementara Soekarno menjadikan buku Massa Actie sebagai rujukan utama baik dalam aksi politik ketika membentuk PNI dan menyadari pentingnya aksi massa yang terorganisasi maupun saat membacakan pembelaannya di pengadilan kolonial dalam risalahnya yang termasyhur Indonesia Menggugat maupun manuskrip setelahnya yang dibuat pada tahun 1933, yakni Mencapai Indonesia Merdeka. 

Apabila Naar de Republiek Indonesia lebih menekankan diri pada program politik dan bangunan kenegaraan Indonesia, Massa Actie berbicara tentang bangunan gerakan politik kerakyatan seperti apakah yang diperlukan untuk mencapai Indonesia merdeka. Dalam karyanya Tan Malaka menegaskan bahwa untuk membangun aksi politik tidaklah cukup dengan menghimpun sebanyak-banyaknya manusia, tetapi dibutuhkan pula kemampuan untuk mengorganisasi secara efektif lautan massa yang menuntut Indonesia merdeka. 

Reaktualisasi Pikiran Tan Malaka 

Sebuah cita-cita di masa depan untuk mencapai perubahan yang lebih baik bagi kebangkitan bangsa mengharuskan kita untuk menoleh ke masa lalu. Sejarah adalah panduan bagi kita untuk memahami diri kita sekarang dan ke mana kita harus bergerak di masa depan.

Apabila kita belajar dari kebangkitan bangsa lain misalnya kebangkitan Republik Rakyat China, seperti diutarakan Orville Schell dan John Delury (2013) dalam Wealth and Power: China’s Long March to the Twentieth First Century, kebangkitan China menjadi raksasa ekonomi dunia pada abad ke-21 karena dibangun melalui kenangan berkala, bukan terhadap keagungan masa lalu, tetapi justru pada trauma kekalahan China terhadap Barat pada masa Perang Candu. 

Momen inilah yang dikenang terus-menerus untuk menumbuhkan semangat patriotisme untuk menyaingi kemajuan Barat. Beberapa tahun lalu saat berencana membangun Sukarno Institute di Surabaya, saya terkenang dengan pembicaraan dengan beberapa kawan yang ikut membidaninya, yaitu Hengky Kurniadi, Toga Sidauruk, dan Peter Rohi. 

Dalam pembicaraan tersebut, bangkitnya Indonesia dan rakyatnya membutuhkan tiga prasyarat penting, yaitu pikiran-pikiran progresif yang mampu menerobos kebuntuan pikiran dan memberi kritik terhadap tatanan kekuasaan dominan, seruan-seruan yang menggerakkan hasrat atau passion dionysian untuk menumbuhkan rasa cinta kepada Tanah Air, dan semangat kolektif gotong royong massa aksi untuk bangkit! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar