Sabtu, 08 Februari 2014

Merawat Kecerdasan Publik

Merawat Kecerdasan Publik

Saifur Rohman   ;   Pengajar Filsafat di Universitas Negeri Jakarta
KOMPAS,  08 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
KOMISI Penyiaran Indonesia telah menegur enam stasiun televisi yang diduga melanggar penggunaan frekuensi publik selama Januari 2014. Enam stasiun itu adalah Metro TV, TVOne, ANTV, MNC, RCTI, dan Global TV. Isi siaran dinilai menjurus ke praktik-praktik kampanye dari pemilik media sehingga tidak proporsional.

Kasus tersebut menunjukkan bahwa praktik politik sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari praktik bisnis. Pertanyaannya, apakah mungkin memisahkan bisnis yang berorientasi pada keuntungan dengan politik yang berorientasi pada keadilan? Ketika demokrasi dipercaya sebagai mekanisme pemilihan para pengambil keputusan, bagaimana idealnya praktik kepemimpinan pada masa depan? Bagaimana sebetulnya model pengelolaan ruang publik untuk mencapai cita-cita kebangsaan? Prinsip-prinsip etis apakah yang mendesak diterapkan dalam pemanfaatan saluran publik?

Etika ruang publik

Pada prinsipnya negara wajib memelihara berbagai ruang publik sebagai bentuk pelestarian hak yang diperoleh oleh warga negara untuk mewujudkan kehendak bersama. Ruang publik merupakan wilayah etis-normatif  yang terbuka bagi semua akses individu untuk belajar dan meningkatkan kualitas hidupnya. Karena itu, wilayah itu tunduk di bawah peraturan, norma, dan pranata-pranata sosial.

Dalam perspektif Hegelian, ruang ini adalah sintesis dari berbagai kehendak bebas perseorangan untuk mewujudkan kehendak bersama masyarakat atas nama negara.
Sebagai ilustrasi, kaum sofis di Athena pada abad ke-5 sebelum Masehi adalah kelompok intelektual yang berhasil membawa masyarakat Athena pada iklim pemikiran kritis melalui pemanfaatan ruang publik. Kaum sofis memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan untuk mencapai kecerdasan publik. Hasil pengaruh itu, misalnya, prinsip-prinsip logika formal yang digunakan Aristoteles masih digunakan hingga sekarang 2.500 tahun kemudian.

Dalam koridor normatif, UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Penyiaran adalah benteng terakhir bagi publik untuk meningkatkan kualitas intelektual warga bangsa. Pada kenyataannya UU tersebut tidak mengakomodasi mekanisme perawatan ruang publik.
Buktinya, Pasal 18 yang menguraikan tentang kepemilikan media memperbolehkan setiap pemilik modal memiliki berbagai media massa. Hal itu terjadi karena istilah yang digunakan adalah ”membatasi”, bukan ”melarang”.  Lemahnya Pasal 18 UU No 12/2012 berimplikasi terhadap ketidakmampuan negara mewujudkan kehendak bersama.

Amanat UU tertuju pada penyediaan informasi yang bermanfaat bagi publik. Dalam kerangka itulah, Pasal 34 Ayat 4 menyebutkan obyektivitas informasi. Disebutkan, isi siaran wajib menjaga netralitas sehingga tidak boleh mengutamakan kepentingan atau golongan tertentu.

Hal yang terjadi, ruang publik dijadikan sebagai ajang mewujudkan kehendak bebas pribadi dan kelompok. Media publik ternyata tidak membawa pendidikan yang membuat masyarakat cerdas. Tidak juga membawa penghiburan di tengah-tengah kejumudan sosial. Masyarakat ditawari retorika, penampilan, dan basa-basi dalam praktik komunikasi.

Pendeknya, penguasaan saluran publik dimanfaatkan oleh pemiliknya untuk kepentingan-kepentingan golongan. Tidak hanya dalam produk periklanan, tetapi juga dalam berbagai penyiaran produk hiburan. Ketika menyisipkan adegan-adegan yang memiliki muatan politis tidak cukup, pemilik media membuat program sendiri dengan iming-iming hadiah.

Sebetulnya, apabila bisnis adalah manifestasi dari keserakahan, politik adalah manifestasi dari kemuliaan. Keputusan-keputusan bisnis mengacu pada perluasan pasar dan pencarian keuntungan sebesar-besarnya, sementara keputusan politik mengacu pada orientasi-orientasi ideal yang disepakati bersama.

Sampah di ruang publik

Ruang publik dengan begitu telah dipenuhi oleh sampah yang mengatasnamakan demokrasi. Jika kita amati secara empiris, terdapat sampah yang harus ”dibersihkan” dari ruang publik.

Pertama, sampah kata-kata. Praktik-praktik persuasi para calon pemimpin telah mencemari ruang publik dalam bentuk ungkapan-ungkapan yang tidak memperoleh pembuktian yang memadai. Mereka memanfaatkan diksi tentang visi kebangsaan, idealisme, dan kebaikan.

Contoh untuk istilah-istilah mulia: istilah tegas  dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah menjalankan kebijakan sesuai dengan aturan yang telah disepakati, istilah peduli adalah kemampuan untuk turut merasakan penderitaan orang lain. Seringnya penggunaan istilah itu membuat maknanya menjadi kering. Istilah-istilah lain yang telah kering maknanya adalah pemimpin muda, mumpuni, bersih, antikorupsi, adil dan merata, merakyat, sejahtera, dan terbuka.

Kedua, sampah alat peraga calon pemimpin. Tidak bisa dimungkiri, saat ini alat peraga telah terbentang mulai dari Jakarta hingga kampung-kampung yang sepi. Selain mengganggu estetika kota, pemasangan alat peraga cenderung merusak lingkungan sehingga mencemari kebersihan kota.

Ketiga, sampah harapan sebagai stressor psikologis. Pola-pola perilaku dalam pemenangan calon anggota legislatif  secara psikologis dipicu oleh motif kekuasaan, uang, dan beragam posisi di tengah masyarakat. Tim sukses bergerak dengan membawa kabar gembira yang belum pasti karena tidak ada jaminan dari siapa pun bahwa kabar ini akan berwujud.

Di sisi lain, pembawa harapan ini juga tidak kalah ragunya dengan diri sendiri. Karena itu, sejumlah rumah sakit jiwa di Indonesia telah menyiapkan ruang untuk calon anggota legislatif yang stres karena gagal memperoleh suara (Kompas,3/1/2013).

Berdasarkan argumentasi di atas, hal itu menunjukkan betapa negara tidak memiliki mekanisme yang dapat diandalkan untuk melestarikan kecerdasan kolektif. Sistem perundang-undangan gagal melakukan antisipasi.

Ironisnya, pada saat yang sama, para calon pemimpin mengabaikan pelanggaran prinsip etis dalam pemanfaatan ruang publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar