Beban
Berat Partai Islam
FS Swantoro ; Peneliti
dari Soegeng Sarjadi Syndicate
|
MEDIA
INDONESIA, 07 Februari 2014
MEMBUKA kembali
kalender 2013 hingga Januari 2014, agak mencemaskan bagi nasib partai-partai
Islam. Pasalnya, hasil survei berbagai lembaga menunjukkan partai Islam
menghadapi tekanan berat. Apalagi jika Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo maju
sebagai calon presiden (capres) 2014, diprediksi hanya dua partai Islam yang
lolos ke Senayan. Karena itu, jangan sampai Pemilu 9 April nanti menjadi
‘kuburan’ bagi partai-partai Islam.
Situasi pelik tersebut
antara lain dipicu stigma negatif kelompok Islam garis keras yang sering
bikin ulah, minimnya tokoh anutan dari partai Islam, dana partai terbatas,
dan jargon almarhum Nurcholish Madjid ‘Islam
yes Partai Islam no’, era 70-an, masih menjadi beban bagi partai Islam.
Dalam negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, partai Islam
seharusnya mendapat porsi suara optimal dalam setiap kontestasi politik (Danis T Saputra, 2013). Faktanya,
sejak Pemilu 1955 hingga 2009, partai Islam hanya menempati posisi pinggiran.
Suaranya tidak pernah menjadi arus utama dalam preferensi dan pilihan-pilihan
politik publik.
Perhitungan hasil
suara enam partai Islam seperti PKS, PAN, PPP, PKB, PBB, dan PKNU pada Pemilu
2009 secara akumulatif memperoleh 43,7%. Namun, jumlah itu lebih kecil dari
akumulasi suara partai nasionalis yang 51,7%. Lantas, bagaimana partai Islam
menyikapi persoalan pelik itu, dan mengapa partai Islam mudah tergusur?
Tantangan berat
Sampai sekarang,
pemahaman masyarakat tentang pemilu masih warisan Orde Baru, yakni sebagai
pesta demokrasi dan satu-satunya kesempatan bagi publik terlibat langsung
dalam proses demokrasi. Akibatnya, mayoritas warga terutama yang di perdesaan
kurang paham tentang makna pemilu yang sesungguhnya.
Karena itu, pemilu
masih dipahami secara kontradiktif. Di satu sisi, sebagai pesta hurahura
dengan pawai kendaraan bermotor yang bebas aturan.
Pada sisi lain, berbaur dengan tindakan serius tentang pentingnya suara
rakyat dalam menentukan masa depan bangsa. Akibatnya di panggung, para juru
kampanye berpidato berapi-api, serius, tapi massa tak peduli.
Dalam konteks itu,
lantas apa kita yakin pesan yang disampaikan juru kampanye sampai ke telinga
massa pendukung partai? Atau apa kita yakin, aspirasi yang diteriakkan massa
di bawah panggung didengar para juru kampanye? Apakah kita juga yakin Pemilu
2014 bebas dari politik uang, jual beli suara, bagi-bagi sembako, dan
serangan fajar?
Dengan demikian,
pemilu nanti memaksa kita mematok keyakinan pada tingkat terendah. Kebijakan
warisan politik Orde Baru itu melalui massa mengambang ikut membangun jarak
yang renggang antara rakyat dan politik keseharian. Dampaknya, proses politik
menjadi instan dan tokoh anutan ikut menentukan pilihan seseorang.
Karena itu, kemenangan
partai dalam pemilu masih dipengaruhi oleh; 1) tokoh anutan; (2) isu-isu yang
disampaikan partai politik; (3) dana yang dimiliki partai; dan (5) peran
media, termasuk media sosial.
Atas dasar itu, ada
empat asumsi yang relevan untuk melihat Pemilu 9 April nanti. Pertama,
keputusan memilih bagi publik masih ditentukan faktor emosi dan tokoh anutan,
alih-alih berdasarkan rasionalitas pemilih. Kedua, indeks kompetisi antar
partai yang tertinggi terjadi di Jawa-Bali. Ketiga, iklan media. Keempat,
dana partai.
Asumsi itu menjadi warning bagi partai Islam untuk Pemilu
2014. Apalagi harus diakui, masih minimnya tokoh anutan seperti Moh Natsir,
Dr Sukiman, Wahid Hasyim, HJ Naro, Gus Dus, dan Nurcholish Madjid untuk
sekadar contoh, membuat partai Islam akan sulit meraih suara optimal.
Selain itu, secara
ideologis partai Islam membawa peran agak rumit. Sebagai institusi, partai
ini membawa misi spiritual ke dalam praktik politik yang bersifat profan
sehingga harus dibedakan antara partai dan ormas keagamaan dalam konteks
perjuangan spiritualitas agama. Sebagai institusi yang didukung komunitas
keagamaan, tugas partai Islam seharusnya mengusahakan agar doktrin keagamaan
dapat memperoleh tempat yang semestinya dalam konteks politik negara. Lebih
dari itu, partai Islam berdiri dalam asumsi sebagai wakil konstituen
tradisional, padahal muslim tradisional mulai berpaling ke partai nasionalis.
Kerumitan lain, soal
dana. Minimnya dana menjadi beban bagi partai Islam untuk membangun
infrastruktur atau mesin partai. Perolehan suara dalam pemilu berkorelasi
dengan uang yang ditaburkan elite partai. Contoh Partai Golkar, PDIP, Partai
Demokrat, Ger indra, Hanura, dan NasDem lebih siap secara finansial ketimbang
PKB, PPP, PAN, PKS, dan PBB. Soal dana ini membuat partai nasionalis lebih
siap mendanai aktivitas kampanye dan membangun citra partai.
Partai nasionalis
lebih aktif mengakomodasi kepentingan kelompok Islam seperti PDIP lewat
Baitul Muslimin, Partai Golkar dengan Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), serta
Partai Demokrat dengan Majelis Dzikir SBY. Dengan demikian, mereka leluasa
merangkul kelompok Islam, yang dampaknya di mata publik tokoh Islam diakomodasi
dan dijadikan caleg pada pemilu nanti.
Lantas, soal media. Harus
diakui bahwa media menjadi beban tersendiri bagi partai Islam. Padahal, media
dapat menjadi instrumen bagi pencitraan partai. Kaitannya bisa dilihat dari
aktivitas media ketika menyampaikan isu yang ditawarkan partai lewat kampanye
pemilu. Media dapat menyajikan sisi lain dari partai politik sehingga citra
partai akan terangkat. Peran media ini penting bagi keberadaan
partai ke depan. Soal media juga menjadi beban berat karena partai Islam tidak
punya media seperti Partai Golkar, Hanura, dan NasDem.
Berpikir ulang
Fakta historis itu
memperlihatkan secara meyakinkan bahwa kekuatan riil partaipartai Islam tidak
berdampak secara signifikan terhadap strategi pemenangan mereka pada pemilu
nanti. Pada aspek lain, secara sosiologis, mayoritas masyarakat muslim
Indonesia tidak lagi tertarik dengan isu-isu keagamaan untuk pendirian negara
Islam, misalnya, yang sering menimbulkan konflik di tengah pluralitas
masyarakat kita.
Problem keseharian masyarakat ialah ekonomi dan finansial. Untuk
itu, partai Islam
harus berani berpikir ulang mengubah isu dan strategi
kampanye pemilu. Mengapa?
Karena, menguatnya
pandangan pragmatis dan transaksional terhadap berbagai dinamika politik
belakangan ini menjadi faktor dominan dan beban berat partai Islam. Ideologi
tidak lagi dipandang sebagai sebuah tata nilai keyakinan, melainkan tata
operasional yang harus berujung pada realisasi kemakmuran ekonomi. Pendek
kata, hukum besi Lasswell, Siapa, mendapat apa, kapan, dan bagaimana’, masih
sulit dihilangkan dari panggung politik nasional kita.
Oleh sebab itu, sistem
politik apa pun menjadi kurang penting selama keadilan sosial dan kemakmuran
bagi seluruh rakyat Indonesia tidak dikumandangkan secara lantang oleh partai
Islam. Pada pemilu nanti partai Islam harus berani mengubah strategi untuk
pemenangan pemilu secara mendasar guna mengobati kekecewaan pemilih
tradisional (konstituen) meraih kepercayaan dengan mengevaluasi peran partai
Islam di masa mendatang. Itu pekerjaan rumah terberat bagi partai Islam untuk
meraih suara optimal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar