Memaknai
Bencana
Achmad Firdaus ; Pengurus International Student Society
National University of Singapore
|
REPUBLIKA,
22 Februari 2014
Indonesia kini telah menyandang status sebagai negeri siaga
bencana. Tentu, masih sangat segar dalam ingatan setiap orang, banjir ban dang
yang menyeret dan menenggelamkan ratusan rumah penduduk di Manado, Sulawesi
Utara, yang menyebabkan puluhan ribu jiwa harus mengungsi dan 19 orang
meninggal dunia.
Begitu pula, dengan bencana banjir `tahunan' di Ibu Kota Jakarta
yang me - maksa lebih 30 ribu orang harus mengungsi dan telah menelan
sedikitnya tujuh korban jiwa. Dan terakhir, warga di Kabupaten Kediri,
Malang, Blitar, dan sekitarnya harus berlarian menyelamatkan diri di tengah
bencana yang menimpa akibat letusan Gunung Kelud.
Bencana Gunung Kelud ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat
Jawa Timur, tapi hujan abu vulkanis juga mengguyur Yogyakarta, Jawa Tengah,
bahkan sampai Jawa Barat. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
mencatat sedikitnya 205 bencana terjadi di berbagai daerah di Indonesia
selama awal 2014 yang mengakibatkan 182 nyawa melayang.
Mungkin ada yang bertanya, mengapa bencana begitu banyak yang
datang silih berganti melanda negeri ini? Apakah bencana tersebut terjadi
karena faktor alam atau ada faktor lain?
Peristiwa tidak menyenangkan yang melanda negeri ini, seperti
banjir, gempa bumi, dan tanah longsor, tentunya tidak terjadi begitu saja,
tetapi memiliki banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Jika para ahli atau
ilmuwan mengatakan bahwa rentetan bencana adalah sebuah fenomena natural yang
memiliki sebab-sebab material, pada saat yang sama sebagai orang yang percaya
akan kekuasaan Sang Pencipta tentu harus meyakini bahwa hal tersebut
merupakan ketetapan Allah yang diturunkan kepada umat manusia sebagai ujian
atau peringatan.
Tentu, tidak ada kontradiksi di dalamnya karena setiap fenomena
yang terjadi di alam semesta ini, baik melalui sebab-sebab material maupun yang
lainnya, tidak terlepas dari iradah dan ketetapan Allah yang menyampaikan
kehendak-Nya berdasarkan hukum sebab-akibat. Dengan demikian, setiap orang
harus memahami makna dan probabilitas terjadinya rentetan bencana tersebut,
apakah bencana tersebut merupakan `pesan' yang bermakna ujian atau
peringatan?
Dengan demikian, setiap orang dapat memetik hikmah di balik
bencana yang melanda dan mampu memahami sesuatu yang ingin disampaikan oleh
Sang Penguasa Alam semesta kepada umat manusia. Misalnya, Allah akan
mengingatkan manusia yang kurang bersyukur, menyadarkan manusia dari
kelalaian, dan juga sebagai peringatan bagi orang-orang yang melampaui batas
atau bisa jadi sebagai ujian penguat keimanan.
Bencana sebagai ujian
Disadari atau tidak, bencana yang menimpa seseorang bisa
bermakna sebagai tanda kecintaan Allah pada seorang hamba. Karena itu,
semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, maka ujian (musibah) yang
menimpanya akan semakin berat. Rasulullah telah menyebutkan dalam hadisnya:
"Seseorang diuji sesuai keadaan agamanya. Jika agamanya kokoh, maka
diperberatlah ujiannya. Jika agamanya lemah, maka ujiannya pun disesuaikan
dengan agamanya. Ujian itu senantiasa menimpa seorang hamba hingga ia
berjalan di muka bumi tanpa dosa sedikit pun." (HR Ahmad)
Jika membuka kembali lembaran-lembaran sejarah para nabi dan
rasul, mereka termasuk orang-orang yang mendapatkan ujian atau musibah yang
jauh lebih `dahsyat' jika dibanding dengan bencana yang menimpa umat manusia
pada zaman kini. Namun, dengan musibah yang mereka hadapi, justru akan
semakin memantapkan keimanannya kepada Allah. Mereka pun sabar dan tabah
menghadapi segala bentuk musibah dan memaknainya sebagai ujian penguat
keimanan untuk mengangkat derajatnya di hadapan Allah.
Bencana sebagai peringatan
Bencana alam yang melanda berbagai tempat di muka bumi ini
mungkin saja memiliki makna untuk membangunkan manusia dari tidur lelapnya. Misalnya,
kelalaian yang menenggelamkannya dalam kenikmatan duniawi sehingga lupa akan
tanggung jawab di hadapan Allah. Atau keserakahannya mengambil keuntungan
dengan merusak sumber daya alam sehingga dapat memicu reaksi alam dan
merespons perlakuan tangan-tangan jahil manusia.
Kelalaian dan kekhilafan tersebut dapat mengundang datangnya
musibah atau bencana yang diturunkan oleh Allah. Dengan demikian, bencana
yang datang kepadanya akan menjadi peringatan akan kelalaian, dosa, dan kesalahannya
sehingga mereka dapat kembali mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyatakan
hal tersebut: "Dan sesungguhnya kami merasakan kepada mereka sebahagian
azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar, mudah-mudahan mereka
kembali ke jalan yang benar." (QS as-Sajdah: 21)
Jadi, selain sebagai ujian keimanan, bencana alam yang marak
terjadi saat ini mungkin saja sebagai peringatan Allah kepada umat manusia
yang lalai agar kembali pada kebenaran. Oleh karena itu, di tengah beragam
bencana yang melanda negeri ini, coba bertanya dengan jujur pada diri sendiri,
bagaimana tingkat keimanan kita kepada Allah dan perlakuan kita terhadap
alam?
Apabila kita termasuk orang yang lalai dan sering berbuat
kerusakan, jawaban atas bencana yang menimpa adalah peringatan atas kesalahan
dan kelalaian selama ini. Namun, jika kita termasuk hamba-Nya yang taat,
segala musibah atau bencana merupakan ujian menuju tingkat keimanan yang
lebih tinggi.
Semoga kita mampu memaknai
`pesan\'dari setiap bencana yang terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar