Sabtu, 18 Januari 2014

Menuju Perikanan Industrial

Menuju Perikanan Industrial

Andi Perdana Gumilang  ;  Mahasiswa Pascasarjana
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
KORAN JAKARTA,  18 Januari 2014
                                                                                                                        


Lembaga kajian ternama McKinsey Global Institute menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia akan menempati posisi ketujuh dunia mengungguli Jerman dan Inggris.
Pada tahun 2030, diprediksikan perekonomian Indonesia akan ditopang empat sektor utama: bidang jasa, pertanian, perikanan, serta sumber daya alam. Sementara itu, dari sisi preferensi ketersediaan pangan tampaknya akan mengalami pergeseran pemikiran menuju pola makan sehat dari daging merah ke ikan.

Masuknya perikanan sebagai sektor utama penopang perekonomian Indonesia wajar karena luas wilayah Indonesia 75 persen laut (5,8 juta km2), lebih besar dibandingkan wilayah daratan.
Potensi kelautan dan perikanan telah menjadikan Indonesia memiliki modal dasar pembangunan jauh lebih besar dan beragam dari negara-negara lain. Jadi, sudah seharusnya Indonesia lebih maju dan makmur ketimbang negara-negara di kawasan Asia lainnya.

Namun kenyataannya, hingga kini masih banyak pekerjaan rumah demi menuju negara maju, sejahtera, dan mandiri. Para nelayan tradisional belum sejahtera. Perhatian pemerintah terhadap potensi sumber daya laut belum serius. Penjarahan ikan oleh kapal-kapal asing terus berlangsung. Kapal-kapal pengawas perikanan sangat kurang. Ikan banyak dimaling. 

Problem sekitar perikanan, antara lain kegiatan kapal-kapal ikan yang berizin belum tertib mendaratkan hasil tangkapan ke pelabuhan perikanan sesuai ketentuan surat izin penangkapan ikan (SIPI).
Belum lagi impor ikan yang begitu deras masuk dengan alasan demi memenuhi kebutuhan usaha pengolahan ikan dalam negeri baik skala industri maupun pemindangan.
Jika aspek pengawasan belum optimal, tentunya akan menimbulkan kebocoran dan ikan impor bisa masuk ke pasar tradisional. Ikan-ikan impor ditengarai mengandung zat berbahaya seperti formalin. Pengawasan perikanan harus ditingkatkan.
Pencurian ikan membuat semakin sulit mengembangkan industrialisasi perikanan di Indonesia. Jika tanpa keseriusan yang tinggi di tahun 2014 untuk mengatasi masalah ilegal fishing yang kian merajalela, agaknya tidak berlebihan jika keinginan pemerintah membangun industrialisasi perikanan sulit direalisasikan. 

Karena itu, 2014 harus menjadi tahun mengelola potensi kelautan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan khususnya bagi nelayan. Keadilan dan kesejahteraan tidak hanya sekadar jargon kampanye, tapi saatnya merealisasikannya secara nyata.

Tuntutan

Ada beberapa klausul untuk mewujudkan perikanan nasional industrial. Semua pihak harus memahami kondisi pasar internasional, meliputi harga, pesaing, aturan perdagangan, dan perilaku konsumen. Bagi negara dengan konsumsi ikan per kapita tinggi seperti Jepang tentu membutuhkan diversifikasi produk perikanan yang banyak. Konsumen Jepang pada umumnya mengonsumsi produk perikanan dalam kondisi apa pun.

Tuntutan diversifikasi produk otomatis memosisikan industri pengolahan perikanan menjadi sangat vital dalam pembangunan ekonomi. Bagi Indonesia yang masyarakatnya mengonsumsi ikan rendah, kehadiran industri pengolahan lebih banyak diarahkan untuk memenuhi pasar ekspor. 
Maka, untuk bisa bersaing di pasar internasional perlu memahami cara berpikir importir dan perilaku konsumen. Kualitas produk olahan perikanan tak bisa ditawar karena mutu terkait erat dengan keamanan pangan. Jepang dan Uni Eropa sangat peduli terhadap perlindungan konsumen. Pemahaman mengenai mutu produk perikanan melahirkan upaya pemenuhan standar berbasis moral, bukan sekadar mengikuti tuntutan pasar.

Kesadaran pentingnya menjaga mutu tidak hanya menjadi kewajiban produsen olahan, tetapi juga produsen tingkat hulu seperti nelayan tangkap dan pembudidaya ikan. Untuk itu, dibutuhkan tenaga pendamping atau penyuluh untuk nelayan. Pemantapan sistem sertifikasi unit pengolahan ikan, penguatan lembaga sertifikasi mutu, dan pengembangan manajemen perikanan tak bisa ditawar. 

Di sisi lain, rendahnya produksi ikan hasil olahan tidak semata karena kelangkaan bahan baku lantaran musim buruk maupun ekspor ikan gelondongan, tetapi juga distribusi tidak merata. Selama ini, industri pengolahan terkonsentrasi di Jawa dan Sumatra dengan tingkat persaingan memperebutkan bahan baku sangat tinggi. Ini membuat gejala tangkap lebih atau overfishing.
Sementara di kawasan Indonesia timur sesungguhnya masih bisa dioptimalkan karena beberapa wilayah pengelolaan perairan (WPP) masih terdapat pasokan ikan melimpah (underfishing) sehingga sangat tepat dijadikan sentra khususnya pemindangan. 

Kebijakan menyetop impor ikan sudah tepat bila diiringi dengan distribusi jumlah industri pengolahan yang merata antara Jawa dan luar Jawa. Impor membuat harga ikan tangkapan nelayan merosot. Ke depan, lokasi industri disebar ke beberapa daerah potensi bahan baku untuk mengurangi risiko bisnis dan menjaga kontinuitas suplai ke pasar. 

 Mengusung program industrialisasi perikanan tentu memerlukan sinergi dari hulu sampai hilir agar bersama-sama tumbuh dan berkembang. Industri pengolahan ikan tidak harus besar, bisa berskala menengah dan kecil.
Prioritas pada industri perikanan rakyat terpadu yang efisien berbasis UKM diperlukan pengembangan industri dalam meningkatkan nilai tambah para nelayan.
Untuk itu perlu peningkatan kemampuan teknologi, perbaikan mutu, keamanan pangan, jaminan pasar, dan dukungan modal. Dari aspek tersebut keberpihakan pemerintah untuk membiayai industri pengolahan ikan tradisional menjadi penting guna menyerap tenaga kerja. 

Perlu infrastruktur memadai antara hulu dan hilir, regulasi, dan jaminan keamanan berusaha. Juga disediakan gudang pendingin untuk menampung ikan saat panen dan mengantisipasi kekurangan bahan baku kala paceklik. Di samping itu, pemberantasan maling ikan harus semakin ditingkatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar