Sabtu, 18 Januari 2014

Mencermati UU Minerba

Mencermati UU Minerba

Effnu Subiyanto  ;  Mahasiswa S3 Ilmu Ekonomi FEB Unair
HALUAN,  18 Januari 2014
Artikel ini telah dimuat di KORAN JAKARTA 16 Januari 2014 
                                                                                                                        


Pasal 170 UU No 4 Tahun 2009 ten­tang Mineral dan Batu Bara (miner­ba) mewajibkan pemegang kontrak karya (KK) memur­nikan 100 persen bahan tambang mineral mentah sebelum diekspor. Ketentuan ini tampaknya harus diuji kembali.
UU yang diberlakukan 12 Januari 2009 itu kini disadari ternyata tidak mudah memenuhi Pasal 170 tersebut. Pemerintah dalam dilema. Bila diberlakukan dengan menyetop seluruh kegiatan ekspor, akan mematikan penambang biji mineral. Sebaliknya, andai dilanggar, berarti menampar regulasi.

UU beserta turunannya yang dikeluarkan pemerin­tah atau Kementerian Ener­gi dan SDM, mandul. Pera­turan turunan yang tidak berdaya guna itu, antara lain PP 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usa­ha Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang diubah jadi PP No 24/2012.

Pemerintah lalu mener­bitkan Inpres No 3/2013 tentang Percepatan Pening­katan Nilai Tambah Mineral melalui Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri. Kabar terbaru, Pemerintah akhirnya takluk dengan ekonomi kepentingan dan menerbitkan PP No 1/2014.

Menteri Energi dan SDM, Jero Wacik, menerbit­kan Permen ESDM No 7/2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral, secara khusus untuk 41 bahan tambang mineral curah Indonesia.
Ini direvisi dengan Per­men ESDM No 11/2012 dan diperbarui lagi dalam Per­men ESDM No 20/2013 yang merupakan sumber masalah. Sebab Jero Wacik jelas-jelas menyebut toleransi ekspor mineral mentah hanya berlaku sampai 12 Januari 2014.

Kini, Kementerian Energi dan SDM juga menerbitkan beleid baru Permen ESDM No 1/2014 yang menganulir ketiga kali Permen ESDM No 7/2012. Sekarang apa yang harus dilakukan peme­gang Izin Usaha Pertam­bangan (IUP), pemegang IUP Khusus, KK dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) setelah 12 Januari 2014?

Jika berkaca dari kinerja dua penambang besar PT Freeport dan Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang bisa dijadikan benchmarking pemurnian dan pengolahan mineral, ternyata tidak mudah melakukan peker­jaan tersebut.

Lima tahun terakhir ini, pabrik smelter mereka atau afiliasinya hanya mampu memurnikan dan mengolah rata-rata 32 persen dan 30 persen dari total kapasitas produksi.

Freeport mampu meng­gali dan memproduksi 2,5 juta ton mineral mentah per tahun, sementara yang dimurnikan dan diolah oleh fasilitas PT Smelting Gresik hanya 800 ribu ton per tahun. Penambangan mine­ral mentah NNT 800 ribu ton per tahun, yang berhasil dimurnikan dan diolah 240 ribu ton.

Artinya, 68–70 persen produksi mineral mentah Indonesia berjumlah rata-rata 125 juta ton per tahun dari 6 jenis biji mineral Indonesia tidak bisa dimurni­kan dan diolah di dalam negeri karena kelemahan fasilitas.

Padahal, ada 65 jenis kategori bahan tambang mineral curah Indonesia sesuai PMK No 75/2012 tentang Tarif Bea Keluar 20 persen. Dengan kata lain, pemerintah gagal melaksana­kan amanat UU No 4/2009 meski diberi waktu lima tahun.
Untuk menutup malu, pemerintah akhirnya me­ngam­bil jalan tengah dengan melakukan serangkaian negosiasi dengan pemegang IUP, IUPK, KK, dan IPR.

Hasilnya, dua beleid baru pertama tahun 2014 ini dan tentu saja dapat diperki­rakan isinya, batasan pe­mur­nian dan pengolahan bahan mineral mentah itu diturunkan. Contoh, bahan tembaga yang sebelumnya minimal 99 persen kemur­nian­nya untuk ekspor, kini hanya 15 persen. Pasir besi dari kemurnian minimal 90 persen, dinegosiasi menjadi 58 persen.

Dalam kondisi terjepit demikian, pemerintah akhir­nya memberi diskresi yang notabene bertentangan dengan Pasal 170 UU Minerba.

Singkatnya, paling lam­bat 2017 setiap penambang mineral mentah curah Indo­nesia baik IUP, IUPK, KK, atau IPR harus sudah me­murnikan dan mengolah biji mineral di dalam negeri 100 persen jika akan diekspor.

Isi PP No 1/2014 dan Permen ESDM No 1/2014 yang menarik batasan ekspor biji mineral mentah sampai dengan 2017 rasa­nya sulit direalisasikan investor.

Hanya dalam tiga tahun diskresi, padahal beberapa bulan sampai dengan seta­hun ke depan ini, para investor lebih memilih wait and see agenda politik nasional. Praktis, pengusaha dan korporasi yang berhu­bungan dengan penamba­ngan biji mineral mentah hanya memiliki 2 tahun untuk membangun 110 pabrik pemurnian dan pengolahan berskala PT Smelting Gre­sik. Ini mustahil.

Halangan utama regulasi investasi Indonesia yang masih belum jelas terutama hak guna tanah. Kepemili­kan tanah untuk investasi baru cukup rumit. Perizinan mungkin mudah di Jakarta, namun investor akan meng­ha­dapi tekanan keras saat menjejakkan kaki di daerah.

Kegagalan investasi Sundoro di Trowulan, Jawa Timur (2013), adalah contoh kecil. Padahal, investasi itu hanya membutuhkan tanah 3,6 hektare. Untuk industri pemurnian dan pengolahan biji mineral, tanah yang diperlukan tentu saja sangat luas, minimal 50 hektare, antara lain untuk pabrik dan fasilitas gudang biji mineral mentah terbuka.

Kerumitan investasi semakin besar karena indus­tri jenis ini berkorelasi sangat kuat dengan polusi. Maka, otomatis diperlukan studi kelayakan, kajian, dan Amdal. Perizinan menjadi berlingkar dari Jakarta sampai daerah. Investor harus sosialisasi kepada pejabat daerah sampai organisasi sosial.

Pekerjaan persiapan investasi seperti ini paling cepat setahun. Pascapersia­pan ini, investor baru berani membebaskan tanah. Itu pun jika harga tanah tidak keburu naik. Selanjutnya, membuka tender pembelian barang kategori impor dan tender untuk kontraktor dalam negeri.

Jika tanah ternyata milik kementerian, misal­nya, diperlukan tukar guling dan harus wira-wiri ratusan kali ke 19 departemen terkait. Pekerjaan ini me­mer­lukan waktu minimal setahun. Lepas dari ini harus mela­kukan perjanjian pendanaan dengan berbagai bank. Negosiasinya pun minimal setahun. Nilai tukar rupiah yang sangat fluktuatif tentu bukan berita bagus untuk pengusaha tambang.

Kalaupun semua itu sudah siap, tetap saja masih diper­lukan paling tidak 2 tahun untuk membangun pabrik. Dengan kata lain, minimal diperlukan lima tahun dari sekarang atau 2019. Masih ada lagi handicap-nya.

Setiap pabrik tidak bisa seketika digenjot 100 persen kapasitas terpasang. Harus gradual perlahan-lahan, misalnya, mulai 30 persen tahun pertama, diperlukan setahun lagi agar pemurnian dan pengolahan benar-benar full capacity (2020).

Kementerian Energi dan SDM seharusnya hati-hati dalam menerjemahkan UU karena tidak mudah bagi investor berinvestasi sampai menjalankan sebuah pabrik, apalagi berhubungan dengan penambangan. Jika gegabah, harus ada penundaan. Jadinya, kompetensi Kemen­te­rian Energi dan SDM diragukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar