Plagiarisme dalam dunia pendidikan sangat
memprihatinkan. Pasalnya, penjiplakan karya tulis, artikel ilmiah, jurnal,
skripsi, semakin merajalela dan tidak bisa dihentikan. Ironisnya, pelaku
plagiarisme adalah kaum terdidik yang seharusnya menjadi contoh. Ini sangat
ironis dan harus segara dituntaskan. Maka, tak ayal jika dewasa ini muncul
gagasan 'pendidikan antiplagiarisme'.
Jika dihimpun, sejak 2012 hingga pertengahan 2013, lebih
dari 100 dosen setingkat lektor, lektor kepala, dan guru besar tertangkap
melakukan penjiplakan. Akibatnya, dua dosen dipecat dan empat lainnya
diturunkan jabatannya. Selain itu, sekitar 400 PTS diketahui memalsukan
data dan dokumen. (Koran Jakarta, 12/10/2013)
Kasus penjiplakan artikel, makalah, skripsi, tesis,
disertasi dan karya ilmiah lainnya juga sering terjadi. Bahkan, nama
kampus-kampus besar tercoreng akibat ulah plagiator. Kasus ini terjadi di
UGM tahun 2000 karena seorang doktor melakukan plagiasai untuk disertasinya
yang mengambil 80 persen data dan narasi dari skripsi seorang peneliti
LIPI. Juga, seorang doktor FISIP UI pada 1997 menjiplak tidak kurang dari
22 karangan.(Kompas, 19/2/2010)
Fenomena ini sangat ironis. Jiwa peserta didik yang
labil dan belum sadar harga sebuah tulisan membuat mereka seenaknya sendiri
mengutip kalimat dari media cetak maupun online tanpa menaati kaidah.
Keinginan instan dan cepat selesai membuat mereka lupa etika menulis.
Padahal, taat aturan penulisan, mencantumkan sumber bukan hal sulit.
Plagiator merupakan 'penjahat intelektual'. Ironisnya,
hampir semua plagiator adalah insan terdidik yang tahu etika akademik.
Sayangnya, mereka tak peduli hal itu. Betapa jahatnya, orang tahu tapi
tidak mau tahu, terdidik tapi melakukan kejahatan. Padahal, mereka memiliki
ilmu kebaikan yang seharusnya dilakukan dalam menulis karya ilmiah.
Seringkali dosen, guru, atau praktisi pendidikan
berbicara kebaikan. Namun, mereka sering menjilat perkataannya sendiri.
Guru besar tentu bukan orang biasa. Karena banyak ilmu telah diterima
dengan proses kualifikasi akademik yang panjang. Bahkan, tak jarang dalam
beberapa seminar mereka menjadi pembicara, namun ternyata 'seorang
plagiator' yang memamerkan hasil karya di depan publik. Setelah membukukan
karya jiplakan itu, pembicara mengajak mahasiswa berpikir kritis dan
kreatif.
Hal ini sangat berbalik arah. Mereka mengajarkan untuk
berbuat baik, namun mereka sendiri adalah penjahat intelektual. Akankah hal
itu berlanjut? Generasi muda adalah kunci memperbaiki dan mengurangi
fenomena kejahatan intelektual. Jika dibiarkan, hal ini semakin merusak
dunia pendidikan.
Plagiarisme, pada dasarnya disebabkan tidak adanya
'pendidikan antiplagiarisme'. Banyak sivitas akademika tidak tahu
pentingnya menghargai tulisan orang lain, sehingga mereka melakukan copy
paste. Banyak penulis ingin tulisannya terlihat 'wauw', tapi tidak banyak
penulis yang ingin tulisannya bombastis dalam kemurnian hasil karyanya.
Pendidikan karakter sudah lama didentumkan dalam
pendidikan. Selain itu, muncul pula istilah pendidikan antikorupsi. Namun
sayang, kejelasan dari pelaksanaan kedua program itu belum terukur baik.
Begitu pula pendidikan antiplagiarisme yang akan menjadi bagian dari
pendidikan karakter bagi generasi muda. Diharapkan pendidikan
antiplagiarisme ini dapat tersusun dan terprogram dengan baik agar
plagiator-plagiator di Indonesia segera berkurang dan 'mati'. Semakin dini
pendidikan antiplagiarisme dilakukan, semakin cepat pula penjahat di dunia
pendidikan terhukum di sarangnya. Bagaimana caranya?
Sebelum dimasukkan ke dalam kurikulum dan menjadi mata
pelajaran, pendidikan antiplagiarisme dimulai dari komunitas terkecil dari
lingkup pendidikan.
Pertama, menanamkan pada diri sendiri bahwa plagiator
adalah 'penjahat intelektual' yang dosanya besar. Setiap orang tentu ingin
hidup dalam kebaikan. Tidak ada orang yang ingin menanamkan kejahatan
meskipun dirinya sendiri berbuat jahat. Begitu pula dengan pendidikan
antiplagiarisme. Sadar pada diri sendiri adalah modal awal untuk tidak
menjadi plagiator. Jadi, dalam hal ini, guru, dosen, guru besar harus
menjadi contoh baik kepada seluruh insan pendidikan.
Kedua, lembaga pendidikan harus intens dan sering
mengajarkan ilmu tentang penulisan, karya tulis ilmiah, jurnalistik, serta
mengajarkan cara mengutip kepada siswa. Hal ini harus diutamakan, karena
banyak orang melakukan plagiat dengan alasan tidak tahu cara mengutip
tulisan. Maka, sebelum belajar menulis karya ilmiah maupun tulisan populer
yang mengutip tulisan orang lain.
Ketiga, lembaga pendidikan harus membuat materi wajib
karya tulis ilmiah, dari yang standar hingga yang berat. Namun, materi ini
mengutamakan hasil karya orisinal, bukan jiplakan. Yang terpenting, sekolah
harus membangun atmosfer kejujuran di seluruh kegiatan akademik, khsusunya
dalam hal penulisan.
Keempat, guru dapat menempelkan beberapa contoh
pengutipan yang baik dan benar di dinding pajangan kelas. Sehingga, mau
tidak mau, tulisan tersebut sering terbaca siswa dan menjadi pedoman
penulisan.
Kelima, guru mengajak siswa menulis kutipan dari
beberapa sumber. Dengan menyiapkan beberapa buku, siswa diminta menuliskan
kutipan yang terdapat pada buku itu. Cara seperti ini sederhana, namun
bermanfaat untuk menanamkan jiwa antiplagiarisme pada siswa.
Pendidikan antiplagiarisme sejak dini diharapkan mampu
menggugah hati insan akademis untuk senantiasa menjaga norma penulisan.
Dari mana lagi antiplagiarisme dimulai jika tidak dari dunia pendidikan.
Maka, sudah saatnya lembaga pendidikan merealisasikan pendidikan
antiplagiarisme. Lebih baik lagi, jika pemerintah memasukkan pendidikan
antiplagiarisme ke dalam kurikulum dan menjadi mata pelajaran wajib. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar