Hari Ulang Tahun (HUT) Korps Pegawai
Republik Indonesia (Korpri) jatuh pada 29 November 2013. Sebagai wadah
berhimpun bagi jajaran pegawai negeri sipil di Republik ini, Korpri menjadi
organisasi yang mengikat dalam prinsip keanggotaan. Bagi siapa saja yang
lulus tes calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan mendapatkan Surat Keputusan
(SK) tentang Nomor Induk Pegawai (NIP) dari Badan Kepegawaian Negara (BKN)
secara otomatis menjadi anggota Korpri.
Ikatan keanggotaan Korpri dibuktikan dengan
kewajiban tanpa hak penolakan untuk dikenakan potongan iuran Korpri pada
struktur penerimaan gaji bulanan. Iuran tersebut dikenakan atas dasar
keputusan organisasional. Sehingga, diharapkan anggota Korpri memiliki
"rasa handarbeni" terhadap wadah berhimpunnya. Para anggota
memiliki harapan organisasi menjadi alat perjuangan dan pembelaan hak-hak
mereka.
Namun sayangnya, banyak kekecewaan terhadap
Korpri yang dirasakan oleh para anggotanya. Keluhan dan kekecewaan mereka
bahkan telah merebak dalam bentuk grundelan para anggotanya terhadap
organisasi yang dianggap tidak mampu menjadi pelindung dan penyuara
kepentingan anggota. Korpri dianggap sebagai sekadar organisasi yang
mencatat dan menarik keanggotaan para PNS namun tidak pernah memahami
kepentingan dan isi hati anggotanya.
Para anggota Korpri lebih menganggap
organisasi sekadar "papan nama" tanpa memiliki kekuatan posisi
tawar untuk memperjuangkan kepentingan anggota. Korpri dianggap tidak
memiliki kekuatan politik serta eksistensi dibanding organisasi profesi
yang juga menjadi wadah berhimpun para PNS fungsional.
Jauh dibanding kekuatan
dan fungsi semacam PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) yang sangat
tangguh dalam memperjuangkan aspirasi guru. Demikian pula jika dibandingkan
organisasi etik profesi semacam Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan
sebagainya.
Rangkuman dari keluhan dan kritik internal
anggota terhadap Korpri, antara lain sebagai berikut:
Pertama, Korpri dianggap sekadar sebagai
organisasi yang mengikat secara formal ke dalam namun gebrakan sosial ke
luar sangat lemah. Tidak mampu memperjuangkan kepentingan anggota dalam berbagai
isu-aspirasi yang terkait dengan relasi sosial-kemasyarakatan.
Kedua, Korpri gagal menjadi alat politik
bagi PNS untuk memperjuangkan agenda bersama terkait kesejahteraan ekonomi,
reformasi kultur birokrasi dan gagasan-gagasan yang inovatif dalam tata
kelola pemerintahan.
Ketiga, Korpri hanya menjadi unit legitimasi
kekuasaan elite pejabat birokrasi yang mengontrol kepatuhan serta loyalitas
para anggotanya. Korpri sesungguhnya bukan wadah "berserikat"
yang egaliter serta menjalankan prinsip solidaritas bagi para anggotanya.
Namun, hanya wadah sebagai instrumen politis untuk mengikat solidaritas
semu para anggotanya.
Kegagapan Korpri dalam membela
(mengadvokasi) para anggotanya tampak jelas ketika anggota terkena berbagai
perkara hukum, terkait perbuatan pidana dan tipikor yang faktor penyebabnya
adalah dorongan dari mereka yang termasuk elite pimpinan birokrasi. Para
anggota yang nota bene PNS harus melakukan perbuatan yang diperintah atasan
dan untuk kepentingan sang atasan, namun terpeleset oleh "palu
hukum" maka Korpri justru membela kepentingan elite pimpinan dan
seakan membiarkan anggota KOPRI yang tidak memiliki jabatan untuk
menghadapi perkara hukum. Berbeda dengan organisasi profesi semacam guru
(PGRI) yang begitu serius dan solid membela kepentingan guru dan berani
mengagendakan advokasi bagi guru yang tersandung perkara hukum di ranah
ligitasi. PGRI juga konsisten membangun jalinan kesetiakawanan di kalangan
guru. PGRI lebih demokratis karena tidak mengambarkan elite secara dominan.
Korpri berada dalam kultur ademokratis dan para anggota tidak memiliki hak
suara untuk menentukan masa depan Korpri.
Mengapa Korpri tidak mampu menjadi wadah
berhimpun bagi PNS - "kuli negara" - yang demokratis dan pro
publik? Korpri tidak mampu menjadi media berhimpun yang eksis dan militan
bagi PNS disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, kultur relasi dan komunikasi di
lingkungan kerja PNS adalah feodal dan patrimornial. Kultur khas birokrasi
Mataraman yang tidak mampu digerus oleh arus pembaruan politik yang menyentuh
esensi pembaruan birokrasi. Sehingga, kultur tersebut memiliki pengaruh
dalam budaya organisasi yang seharusnya netral dan objektif dalam
pelaksanaan prinsip, asas dan kinerjanya.
Kedua, sistem dan mekanisme organisasi
Korpri tidak mengalami proses transformasi sosial. Di mana sebagai
organisasi Korpri seharusnya mengalami dinamika perubahan prinsip dan
landasan idiil organisasi, mekanisme regenerasi kepemimpinan, serta
keniscayaan tentang apa yang disebut tentang "revolusi" visi dan
misi tentang organisasi, birokrasi dan bangsa.
Ketiga, sebagai alat sosial, Korpri idealnya
mampu membuat perencanaan program strategis yang memiliki orientasi untuk
menyejahterakan kepentingan anggota. Menjadi pelopor bagi penguatan hak dan
aspirasi para PNS dalam relasi birokrasi dan kebijakan pemerintahan.
Untuk itulah dibutuhkan semangat baru dan political will (itikad politik) bagi
pemangku kuasa dan kepentingan yang "agung" untuk membebaskan
organisasi Korpri bukan lagi sebagai alat legitimasi kekuasaan atas para pegawai
negeri sipil. Korpri harus menjadikan diri sebagai serikat pekerja bagi PNS
yang memiliki target dan program yang bersentuhan dengan kepentingan
mereka.
Korpri harus mampu menegaskan perannya
sebagai lokomotif reformasi birokrasi dengan mendorong hadirnya budaya
birokrasi yang sehat dan akuntabel serta memihak apa yang disebut suara
rakyat. Jika tidak maka dipastikan Korpri akan surut ditelan zaman dan
semakin ketingalan peran dibanding organisasi profesi/fungsional yang
anggota mayoritas juga PNS. Quo vadis Korpri? Selamat ulang tahun! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar