“Ada jarak antara
kompetensi dokter dengan kekuasaan Tuhan.”
“Ini obat otak,” seorang dokter di sebuah
klinik di kawasan Pamulang menjelaskan saat anak kedua saya, Vinza,
terjatuh dari tempat tidur dan kepalanya membentur lantai. Bukannya jelas,
saya spontan mengernyitkan dahi.
Di apotek, saya baca brosur benda yang
disebut sebagai obat otak itu. Ternyata bukan obat, melainkan suplemen.
Salah satu kandungannya adalah DHA, zat yang diyakini bisa meningkatkan
kecerdasan. Resep tidak saya tebus. Saya kehilangan respek pada si dokter!
Lain masa; anak ketiga saya, Aza, divonis
dokter harus menjalani rawat inap. “Kalau bukan demam berdarah, anak Bapak
terkena tifus,” ujar dokter di salah satu rumah sakit di Bogor.
Saya membatin, kalau dokter berani-beraninya
langsung main mendiagnosis buah hati saya, saya pun akan menyerang balik
dengan melakukan analisis psikologis terhadap si dokter. Saya “kejar”
penalaran si dokter, sampai kemudian ia dengan “rendah hati” mengoreksi
rekomendasinya sendiri. “Anak Bapak rawat jalan saja, ya.”
Kesimpulan saya, satu lagi dokter yang tidak
pantas menerima rasa hormat dari pasiennya. Rasa hormat
yang—setidaknya—jika diangkakan, sama artinya dengan tidak layak menerima
bayaran!
Tentu tidak semua dokter punya akhlak
profesional seburuk kedua dokter tadi. Saya mengenal dr Efek, seorang
dokter anak di Jakarta Pusat, yang sudi memberi saran pada saya, “Kalau
tidak nampak serius, cukup telepon saya saja, Pak. Tidak usah datang.”
Ada juga dr Liku (spesialis anak di
Yasmin Bogor), dr Arya (spesialis alergi di Jakarta Barat), dan dr Aryatama
(spesialis bedah saraf di Jakarta Pusat) yang rela meluangkan waktu untuk
memintarkan saya via BBM, bahkan memberikan opini kedua atas hasil kerja
sejawat mereka. Opini mereka itu saya simpulkan sebagai “gugatan terhadap
sesama dokter yang tertatih-tatih memperbarui ilmu kedokterannya”.
Memakai istilah kedokteran yang kembali
hangat dalam putusan kasasi atas dr Dewa Ayu Prawani, dr Hendy
Siagian, dan dr Henry Simanjuntak, saya membayangkan boleh jadi sangat
banyak pasien di Indonesia yang sesungguhnya telah menjadi korban
malapraktik dokter.
Malapraktik seperti yang majelis hakim
kasasi nilai dilakukan ketiga dokter tadi memang tergolong ekstrem karena
berujung pada kematian pasien. Namun, pemberian resep obat otak dan rekomendasi
rawat inap yang saya deskripsikan di atas, walau terkesan ringan, juga
dapat dinilai sebagai bentuk malapraktik dokter.
Tidak hanya mereka telah mengesampingkan
prosedur standar (misalnya pemeriksaan laboratorium) dalam rangka
menegakkan diagnosis untuk cedera maupun penyakit yang tergolong serius.
Mereka juga telah merekayasa rasa takut pasien.
Persoalannya, karena dianggap berkategori
ringan, malapraktik dianggap tidak terjadi atau—setidaknya—terma
“malapraktik” dipandang terlalu bombastis dikenakan pada tindakan-tindakan
dokter tersebut.
Pasien yang khawatir apalagi panik, ataupun
tidak percaya diri karena tidak pernah kuliah di fakultas kedokteran, tentu
memilih untuk diam saat menerima perlakuan dokter sedemikian rupa. Pada
momen itu, pasien menyia-nyiakan kesempatan untuk mendorong dokter agar
meng-override pemikirannya. Konsekuensinya, habislah si pasien dikunyah si
dokter.
Saya tidak tahu persis berapa angka
malapraktik yang berlangsung di Indonesia. Otoritas kedokteran nasional
pun, bisa diduga, tidak akan terlalu nyaman mengungkap besaran kasus
tersebut. Sebagai pembanding, pada 1999 laporan bertajuk To Err is Human
menyajikan data sekitar 98.000 orang kehilangan nyawa akibat kekeliruan
yang dilakukan rumah sakit di Amerika Serikat.
Awalnya didebat hebat, angka menghebohkan
tersebut akhirnya diakui para dokter dan rumah sakit. Demikian pula, pada
2010, Office of the Inspector General
for the Department of Health and Human Services menyebut, penanganan
buruk rumah sakit mengakibatkan 180.000 kematian setiap tahun.
Tahun ini, Journal of Patient Safety memprediksi kematian akibat
malapraktik berjumlah 210.000-440.000 per tahun. Angka tersebut menjadikan
malapraktik sebagai pembunuh terbesar nomor tiga di negeri Paman Sam,
setelah penyakit jantung dan kanker.
Lantas, apa penjelasan bagi sinyalemen bahwa
tingginya kejadian malapraktik tidak terepresentasikan angka yang bisa
ditampilkan (andai ada)? Pertama, seperti diuraikan tadi, terdapat asumsi
keliru bahwa malapraktik harus berakibat fatal dan dramatis.
Kedua, kejadian malapraktik sulit dideteksi
karena adanya jarak waktu yang cukup jauh antara peristiwa dan investigasi
atas peristiwa tersebut. Ketiga, lazimnya jiwa korsa yang membudaya di
dalam organisasi profesi, solidaritas antardokter bisa menjadi kendala
tersendiri bagi tuntutan publik (pasien) akan pengungkapan dugaan-dugaan
malapraktik.
Kriminalisasi Dokter?
Sajian data statistik di atas tidak
memasukkan jumlah kegagalan penanganan medis yang memang harus dibedakan
dengan malapraktik. Malapraktik berasosiasi dengan problem profesionalitas
dokter, yakni keteledoran dan kelalaian, sementara kegagalan penanganan
medis bersumber dari keterbatasan manusiawi dokter.
Artinya, betapapun dokter telah bekerja
segigih mungkin guna menyelamatkan nyawa pasiennya, pada akhirnya ada jarak
antara kompetensi dokter dengan kekuasaan Tuhan yang tidak bisa diganggu
gugat.
Perbedaan antara malapraktik dan kegagalan
penanganan medis berimplikasi pada penentuan jenis sanksi yang patut
dikenakan kepada para dokter.
Kegagalan penanganan medis, menurut saya,
merupakan sesuatu yang kodrati sebagai manifestasi keterbatasan dokter.
Jadi, pemberian sanksi tidak relevan untuk
dilakukan. Untuk dokter yang melakukan malapraktik, jenis-jenis hukuman
kiranya bisa dibuat berdasarkan gradasi tindakan. Mulai dari pengenaan
sanksi etis bagi dokter pelaku malapraktik berkategori ringan, hingga
sanksi etis dan pemidanaan bagi dokter yang melakukan malapraktik berat.
Dalam konteks tersebut, terlepas dari
putusan kasasi yang diterima dr Ayu dan kawan-kawan, saya
berseberangan dengan sejumlah dokter yang berampanye “setop kriminalisasi
dokter”. Pasalnya, dokter tetap warga bangsa yang tidak steril dari hukum.
Ketika tindakan malapraktik dokter berakibat fatal bagi pasien, dokter yang
bersangkutan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana.
Pada tataran paling mendasar, saya melihat
gonjang-ganjing ini lebih dari sekadar ihwal malapraktik dr Ayu dan
kawan-kawan, sebagaimana diputuskan majelis kasasi. Di situ menggelegak
krisis kepercayaan masyarakat terhadap (sebagian) dokter.
Dokter-dokter yang melecehkan kebutuhan
pasien untuk teredukasi, serta para dokter yang kongkalikong bersama
perusahaan-perusahaan farmasi dengan menjadikan kesakitan pasien sebagai
ladang “bisnis” mereka.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar