Memasuki 2014, sistem layanan kesehatan
nasional kita akan berganti wajah baru. Kita tak akan lagi pusing begitu
sakit tiba. Karena, tidak jarang sakit menghabiskan anggaran dalam jumlah
yang tak terduga. Besok, kita tak perlu lagi merogoh kocek saat itu juga.
Begitupun negara. Tak akan dibuat pusing lagi, mengeluarkan anggaran 15%
APBN, misalnya, untuk tiap tahunnya. Akan ada kas khusus yang dikelola
untuk dana kesehatan. Ini di luar pajak. Kita semua akan patungan. Menabung
di awal, diasuransikan.
Bagi yang tak mampu, iuran akan ditalangi
dari kas negara. Diperkirakan ada 86,4 juta jiwa, atau sepertiga dari
keseluruhan penduduk Indonesia. Jika setiap jiwa tertanggung itu disubsidi
22.000 tiap bulan, maka setahun menghabiskan anggaran 264.000 per orang.
Jadi, keseluruhan anggaran yang terpakai 22,7 triliun rupiah. Jika APBN
sebesar 1.400 triliun rupiah, maka ini sama dengan 1,6 persen saja.
Bagi pekerja di sektor formal, iuran ditarik
5% dari gaji (kira-kira Rp 19.000 - Rp 27.000). 3%-nya ditanggung
perusahaan/pemberi kerja. Sejauh ini, baik perusahaan maupun pekerja sudah
tidak lagi menyoalkan. Ini termasuk PNS, TNI, ABRI dan polisi (?)
Kelompok berikutnya, pekerja non formal.
Pada kelompok ini terdapat pilihan, besar iuran tergantung pada kelas
layanan yang diingini. Iuran Rp 25.500/bulan untuk layanan rawat inap kelas
III; Rp 42.500/bulan untuk kelas II; dan Rp 59.500/bulan untuk layanan
kelas I.
Akhir-akhir ini pertumbuhan sektor kesehatan
memang cukup signifikan. Pertumbuhan jum lah rumah sakit begitu besar. Hal
ini bisa terjadi sebagian terkait dengan kebijakan liberalisasi di atas,
yakni sikap pemerintah yang terlalu membuka diri terhadap pihak asing. UU
No 25/2007 memberikan keleluasaan bagi investor asing menanamkan modal di
Indonesia setara dengan investor domestik, nyaris tanpa perkecualian.
Setelah itu, persoalan yang dari dulu tak pernah menghasilkan kemajuan yang
berarti adalah perbaikan infrastruktur.
Ahmad Erani Yustika, guru besar Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya menyebut dalam salah satu
tulisaanya; APBN sebagai sumber terpenting pemerintah untuk mengurus hajat
publik kian sempoyongan karena terkuras untuk belanja birokrasi, pembayaran
utang, dan misalokasi yang parah.
Akibatnya, proporsi belanja untuk
kesejahteraan rakyat terus mengecil dan keseimbangan primer menjadi
terganggu (defisit).
Mata pebisnis - diakui - memang selalu
kreatif. Termasuk soal mencari peluang bisnis, investasi. Dan seperti kita
tahu, di era turbo kapitalisme ini, sektor-sektor strategis menjadi
incaran, salah satunya kesehatan. Kita sebut saja, industri kesehatan. Dari
hulu hingga ke hilir dalam kuasa pasar.
Di hulu, pendidikan profesi tenaga medis
kini tumbuh menjamur, prodi/fakultas kedokteran mulai banyak dibuka, karena
dianggap sumber pemasukan kas kampusnya. Industri farmasi dan alat
kesehatan berada di tengah. Dan, di hilir, industri pelayanan medis banyak
berkembang rumah sakit, praktek swasta dokter, klinik, apotek dan
laboratorium.
Komentar tersebut adalah perkara yang
lumrah. Karena, saat ini kita tinggal menghitung hari menuju era pasar
bebas, AFTA 2015. Di era yang serba mencari untung itu, para investor (dan
para tenaga kesehatan asing) secara resmi dan legal, diberi ijin untuk
berebut pasar kesehatan. Tentu saja, pasar premium yang menjadi bidikan. Di
Indonesia, peluang pasar itu mencapai XXX. Menurut Hannah Nawi, Associate
Director, Health Care Practice, Asia Pacific Frost & Sullivan, pada
2018, belanja kesehatan di Indonesia akan mencapai 60.6 miliar dolar AS,
tumbuh 14,9% CAGR selama periode 2012 - 2018. (the-marketeeers.com)
Karena hampir bisa dipastikan bahwa tak ada
satu pun orang di dunia ini betah berlama-lama dalam kesakitan, apalagi
ditambah gairah hidup sehat masyarakat kelas menengah (dengan daya belinya)
yang dinilai bertambah membuat pasar kesehatan ini dipandang menjanjikan.
Makin banyak yang ingin berinvestasi.
Berbisnis tetek bengek kesehatan sebetulnya
sah-sah saja. Tapi, jika gelombang pasar bebas ini membuat negara abai
dengan kesehatan rakyatnya, ini menjadi masalah. Negara seakan tak memiliki
kepentingan dan tanggung jawab menyehatkan rakyatnya.
Hal ini tentu berbeda dengan sebelum era
liberalisasi perguruan tinggi, negara menjamin bea perkuliahan, termasuk
pendidiikan para calon dokter. Para dokter baru lalu dikirim ke
daerah-daerah, mengabdikan ilmu sambil mencari pengalaman baru. Inilah saat
benar-benar dokter bekerja dengan sepenuh jiwa. Hanya saja, kelahiran
dokter -dokter baru kala itu tergolong lambat.
Kuasa Pasar
Pak Dahlan Iskan dalam salah satu artikelnya
menceritakan, perusahaan-perusahaan bisnis itu dalam doktrinnya dipaksa untuk
terus-menerus berkembang dan membesar. Bagaimanapun caranya. Kalau tidak
ada jalan, harus dicarikan jalan lain. Kalau jalan lain tidak ditemukan,
bikin jalan baru.
Kalau bikin jalan baru ternyata sulit, ambil saja
jalannya orang lain. Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh:
minta politisi untuk bikinkan berbagai peraturan yang memungkinkan
perusahaan.
Para pebisnis kesehatan saat ini setidaknya
punya payung hukum, UU, Perpres, XXX. Bukan hanya pihak swasta yang
disilakan berebut pasar, namun juga instansi pemerintah. Perizinan ini
setidaknya tercakup dalam UU BLU. Satu per satu RS berplat merah
mendaftarkan dirinya memiliki bilik pelayanan sediri yang bersifat
komersil. Mereka akan bersaing dengan RS swasta/internasional mentereng
lainnya. Siapa yang layanannya lebih unggul, lebih berteknologi akn lebih
banyak didatangi customer.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar