PERNYATAAN Rudi Rubiandini,
mantan Ketua Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas (SKK Migas), tersangka dalam kasus penyuapan, membuat publik kembali
kaget. Rudi mengaku menerima suap karena ada permintaan tunjangan hari raya
(THR) dari Komisi VII DPR. Komisi ini membidangi energi dan SKK Migas
merupakan salah satu lembaga yang menjadi mitra dari komisi ini. THR hanya
istilah untuk praktik suap di DPR karena para anggota parlemen itu telah
mendapatkan gaji dan THR dari negara.
Barangkali publik tidak terlalu
terkejut karena kasus seperti ini bukan pertama kali terjadi di DPR.
Beberapa waktu yang lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil
membongkar kasus suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia
(BI) Miranda Goeltom. Tercatat 30 anggota DPR periode 1999-2004 berhasil
dipenjarakan oleh KPK. Namun demikian, pernyataan Rudi tetap membuat publik
terhenyak karena praktik itu masih terus terjadi di DPR. Seperti halnya
kasus suap Deputi Gubernur Senior BI, diduga kuat uang THR itu mengalir ke
banyak anggota dewan.
Terbongkarnya kasus suap SKK
Migas juga memberikan bukti tentang praktik korupsi dalam industri minyak
dan gas. Industri ini beromzet besar karena melibatkan modal besar dan
membu tuhkan keahlian serta teknologi yang sangat mahal juga. Selama ini
kuat dugaan ada praktik korupsi dalam industri migas, tetapi hanya sedikit
kasus yang sudah terungkap.
Dua tahun lalu KPK telah
menetapkan status tersangka pada salah seorang direktur Pertamina dan
kemudian menyusul salah seorang rekanan yang diduga menerima suap dari perusahaan
Inggris Innospec sebesar US$8 juta. Suap itu diduga dimaksudkan agar
Indonesia menunda kebijakan bensin bebas timbal karena Innospec ialah
perusahaan yang memproduksi Tetraethyl Lead (TEL) untuk bensin bertimbal.
Hanya saja prosesnya berjalan lambat karena memerlukan kerja sama dengan
penegak hukum di Inggris.
Korupsi di sektor migas juga
tidak mudah diusut karena melibatkan pejabat tinggi negara dan perusahaan
multinasional yang memiliki pengaruh global. Kasus suap SKK Migas dengan
terdakwa Rudi Rubiandini dimensinya lebih besar karena melibatkan langsung
pejabat yang paling bertanggung jawab dalam kebijakan energi di Indonesia,
terutama di sektor hulu.
Kasus suap ini menarik karena
melibatkan dua sektor korupsi, yakni korupsi di sektor migas dan korupsi
politik yang dilakukan oleh anggota DPR. Kedua jenis korupsi ini saling
terkait dan pada akhirnya akhirnya merugi kan negara dalam jumlah besar
karena dilakukan dalam kebijakan yang sangat strategis, yakni sektor
energi. Artikel ini akan mengulas bagaimana kedua jenis korupsi tersebut
saling terkait dan dampaknya bagi rakyat.
Korupsi politik
Permintaan THR oleh anggota DPR,
seperti pernyataan Rudi di dalam persidangan, menunjukkan bagaimana praktik
permintaan uang masih dilakukan oleh anggota DPR terhadap mitramitra
kerjanya. Beberapa waktu yang lalu Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Dahlan Iskan mengungkapkan adanya permintaan uang dari anggota DPR terhadap
sejumlah BUMN. Hanya sayang, Dahlan tidak memiliki cukup bukti kuat
sehingga kasusnya tidak bisa ditindaklanjuti dan bahkan ia ha rus minta
maaf ke sejumlah anggota DPR.
Permintaan uang oleh anggota DPR
memberikan bukti bahwa selama ini penegakan ahwa selama ini penegakan hukum
terhadap praktik korupsi oleh politisi belum memberikan efek jera. Anggota
DPR masih terus minta uang dengan berbagai cara kepada mitra kerjanya. Bisa
diduga, bila mitra kerja tidak memberi, DPR akan menghambat kebijakan,
misalnya menahan anggaran atau menolak memberikan persetujuan pada
kebijakan tertentu.
Masih nekatnya anggota DPR
melakukan korupsi bukan berarti mereka tidak takut. Ada faktor struktural
yang membuat anggota DPR tidak bisa menghentikan kebiasaan korupsi, yakni
kebutuhan dana politik yang semakin besar. Anggota DPR tidak hanya dibebani
untuk memberikan kontribusi kepada partai politik (parpol), tetapi mereka
juga harus turut membiayai kegiatan partai baik di tingkat pusat maupun di
daerah.
Kebutuhan anggota DPR juga makin
besar. Bahkan jauh lebih besar dari gaji resmi yang mereka terima karena
harus membiayai kampanye dan pemilu yang makin mahal. Mereka harus
mengeluarkan dana besar untuk memastikan memenangi kompetisi politik dalam
pemilu. Pengeluaran itu makin besar karena pemilu semakin kompetitif, yakni
kursi diberikan kepada suara terbanyak, bukan lagi nomor urut. Oleh karena
itu, anggota DPR harus berjuang keras karena kompetitor mereka bukan hanya
dari partai lain, tetapi juga kandidat dari partai sendiri.
Biaya politik semakin tinggi
karena politisi minim kreativitas. Praktis hampir semua politisi
menggunakan strategi yang nyaris sama, memasang poster dan baliho besar dan
berkampanye hanya pada saat menjelang pemilu. Sebagian politisi bahkan
memberi uang kepada pemilih atau menyuap penyelenggara pemilu untuk
memanipulasi suara. Pemilu dan strategi pemenangan kemudian menjadi
rutinitas yang kemudian menjadi rutinitas yang menjebak politisi.
Meminjam
pemikiran filsuf Hannah Arendt, korupsi oleh DPR sudah banal karena mereka
kehilangan imajinasinya sehingga ter jebak ke dalam rutinitas praktik korupsi
dan politik uang.
Di balik permintaan uang kepada
mitra kerja, ada dampak yang lebih dalam dari praktik korupsi itu. Sebagai
imbalan dari permintaan uang itu, DPR akan memuluskan kebijakan-kebijakan
yang diusulkan oleh mitra kerja atau sponsor lain yang mau memberi uang.
Akibatnya, kebijakan publik yang dibuat tidak lagi atas kalkulasi dan
pertimbangan yang objektif untuk kepentingan rakyat tetapi atas
pertimbangan uang. Singkatnya, kebijakan diperjualbelikan oleh politisi
untuk memenuhi kebutuhan politik mereka.
Rent-seizing
Ada penelitian menarik oleh
William L Ross (2004) yang berjudul Timber Booms and Institutional
Breakdown in Southeast Asia tentang kebijakan kehutanan di Indonesia,
Malaysia, dan Filipina. Penelitian itu menemukan, di balik praktik korupsi
di sektor kehutanan atau praktik memburu rente (rent-seeking), ada
penciptaan rente (rent-seizing). Kenaikan komoditas kayu membuat pengambil
kebijakan kemudian justru menciptakan kebijakan agar sektor swasta dan
pihakpihak lain bisa mendapatkan rente. Pengambil kebijakan tidak mengambil
rente, tetapi justru menciptakan rente dan mendapatkan keuntungan dari
pemburu rente itu. Akibatnya, alih-alih menjaga kelestarian hutan dan
menyelamatkan aset negara, pengambil kebijakan justru membuat desain kelembagaan
agar praktik memburu rente bisa dilakukan.
Praktik korupsi migas mengikuti
logika yang sama dengan korupsi kehutanan seperti yang diteliti oleh Ross
(2004). Harga komoditas yang sangat mahal bukan hanya menimbul kan peluang
untuk mencari rente, tetapi juga ada praktik rent-seizing. Dalam kasus SKK
Migas, pengambil kebijakan yang paling atas bukan hanya mem berikan kontrak
untuk perusahaan Kernel Oil yang berbasis di Singapura. Uang suap itu juga
meng alir untuk anggota DPR. Memang saat ini belum tampak kebijakan apa
yang diperjualbelikan oleh SKK Migas, anggota DPR dan perusahaan swasta.
Akan tetapi, bagaimana praktik suap itu dilakukan menunjukkan bahwa jual
beli kebijakan terbuka untuk dilakukan. Harga minyak dan gas mahal membuat
pengambil kebijakan justru merancang desain kebijakan yang membuat praktik
mencari rente bisa dilakukan. Apalagi sebelumnya terungkap kasus Innospec
yang terkait dengan kebijakan bensin bertimbal di Indonesia.
Dampak dari rent-seizing bukan
hanya sebatas pada keuangan negara saat ini. Kerugian dari praktik
rent-seizing lebih dahsyat lagi karena aset dan potensi keuangan negara
dalam jumlah yang sangat besar berpeluang untuk dikorupsi atau memperkaya
korporasi tertentu di masa mendatang. Karena rent-seizing merupakan prasyarat
bagi pencarian rente, pihak-pihak tertentu tidak bisa mencari rente dari
migas bila pintu untuk itu tidak dibuka oleh pengambil kebijakan melalui
rentseizing.
Karena dampak dan kerugian yang
sangat besar, penindakan saja tidak cukup. Hanya dengan memenjarakan Rudi
dan anggota DPR tidak bisa menghentikan korupsi di sektor migas. Untuk
mencegah rent-seizing, penindakan harus diikuti dengan pencegahan yang
sistematis, terutama untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas setiap
kebijakan yang diambil di sektor migas. Bukan hanya eksekutif, tetapi juga
legislatif.
Persoalan berikutnya, soal
transparansi juga bukan hal yang sederhana di sektor migas. Terutama karena
selama ini sektor migas sangat rumit dan kompleks, hanya dimengerti oleh
praktisi atau ahli yang secara khusus menekuninya. Kebijakan di sektor
migas masih sangat tertutup. Kontrak-kontrak migas juga tidak mudah untuk
diakses oleh publik. Kalau pun bisa diakses, dibutuhkan pengetahuan khusus
untuk memahaminya. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan baru dalam
pencegahan. Bukan hanya menelisik korupsi di SKK Migas, Kementrian ESDM
atau Pertamina, tetapi juga DPR untuk menghentikan jual beli kebijakan di
sektor migas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar