|
UMAT beriman
kembali merayakan Hari Raya Idul Adha atau dikenal dengan Idul Kurban. Kita
seraya mengenang momen sejarah Nabi Ibrahim serta pelaksanaan haji di
Baitullah. Tentu, harapan kita semua, semoga peristiwa sakral ini tidak menjadi
rutinitas religius semata. Namun, lebih jauh, umat Islam dituntut mampu
memaknai secara filosofis hakikat hari raya Idul Kurban serta
mentransformasikannya dalam keseharian. Dengan demikian, tujuan perayaan Idul
Kurban sebagaimana yang tersurat dalam Alquran dan al Hadis tercapai.
Keikhlasan menyembelih hewan, dalam pandangan saya, tidak ada apa-apanya jika dibanding pengorbanan Nabi Ibrahim yang diperintah menyembelih putra kesayangannya, Nabi Ismail. Dalam perspektif teologis, pengorbanan Nabi Ibrahim adalah bentuk totalitas ketaatan kepada Allah, sedangkan dalam perspektif sosiologis humanis merupakan refleksi membangun semangat kemanusiaan untuk saling berbagi.
Dua hikmah tersebut sangat jelas mengandung keseimbangan hubungan manusia kepada Sang Pencipta (vertikal) dan sesama manusia (horizontal). Hubungan transendental tidak semata-mata mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun, di balik itu, ada ajaran yang membangun kesadaran berhikmah dengan sesama manusia. Sebaliknya, hubungan kemanusiaan juga merupakan ijtihad keseharian untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dalam perspektif sosiologi agama, pelaksanaan penyembelihan kurban senyawa dengan lima fungsi agama. Pertama, fungsi edukatif. Yakni, ada tatanan nilai pembelajaran bimbingan agama kepada manusia seperti sifat taat, sabar, dan semangat membangun persaudaraan.
Kedua, fungsi penyelamatan bahwa kehadiran agama mempunyai nilai-nilai kebajikan yang jika diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari akan selamat dunia-akhirat.
Ketiga, pengawasan sosial. Agama sebagai social control mempunyai kaidah-kaidah sosial yang bertujuan membangun masyarakat harmonis (solidaritas). Anjuran menyembelih hewan kurban bagi yang mampu merupakan bagian dari social control agar manusia tidak tamak dan melupakan lingkungan sosial atau masyarakat marginal.
Penyembelihan hewan kurban menjadi simbol refleksi terhadap sifat manusia yang cenderung tamak harta dan kedudukan serta hidup hedonistis. Pesan agama, harta yang diberikan kepada manusia adalah titipan dan amanah Tuhan untuk ''dikembalikan'' kepada masyarakat sesuai dengan ajaran Tuhan. Zamakhsyari Dhofier dan Abdurrahman Wahid berpandangan bahwa agama tidak mengandung nilai-nilai di dalam dirinya, tetapi mengandung ajaran-ajaran yang menanamkan nilai-nilai sosial kepada penganutnya sehingga ajaran-ajaran agama tersebut merupakan salah satu elemen yang membentuk sistem nilai budaya.
Keempat, fungsi memupuk persaudaraan bahwa hakikat penyembelihan hewan kurban adalah membangun semangat solidaritas, toleran, adil sesama manusia, dan saling berbagi kebahagiaan.
Kelima, fungsi transformatif. Yaitu, kurban mampu mentransformasi kehidupan masyarakat secara objektif dan mampu membaca problem sosial secara kritis. Kesadaran bertransformasi harus dibangun agar pemahaman agama tidak sekadar bersifat dogmatis (doktrin), namun diimbangi dengan nalar kesadaran diri sebagai manusia yang mempunyai tanggung jawab sebagai makhluk Tuhan dan makhluk sosial.
Sebab, sebagaimana pandangan Machasin (2011), agama yang sekadar disakralkan akan mengakibatkan kemandekan dalam penghayatan kehidupan keagamaan sendiri. Agama semestinya berfungsi memberikan tuntunan kepada para pemeluknya dalam menghadapi persoalan-persoalan kehidupan, bukan menjadi beban yang memberatkan pemeluknya atau belenggu yang membatasi kreativitas serta daya hidupnya. Mengembalikan agama kepada fungsi pokoknya sebagai pemberi arahan hidup ini menghendaki perubahan terhadap rumusan ajarannya.
Posisi agama sebagaimana pandangan Weber memiliki peran signifikan dalam perubahan sosial pembentukan sistem etika baru, khususnya dalam sosial ekonomi. Demikian juga konsep agama Islam yang sama sekali tidak menganjurkan umatnya hidup miskin.
Seiring dengan adanya problem sosial seperti pengangguran, kemiskinan, dan kaum marginal yang terus meningkat, kepekaan dan kepedulian sosial harus ditingkatkan dengan pendekatan berbasis program produktif (bukan konsumtif ) secara sistemis. Keterlibatan lembaga sosial dan pemerintah penting membuat program sinergis yang bersifat mutualis. Program dibuat berdasar hasil need assessment, bottom up, dan sistem monitoring yang baik.
''Perkawinan'' nilai-nilai agama sebagai sistem sosial dengan pemerintah sebagai regulator kebijakan sangat penting untuk dibumikan. Dengan demikian, program pemerintah tidak semata-mata menjadi kewajiban ''ritual birokrasi'', namun juga berdimensi ibadah. Menurut hipotesis saya, jika dijadikan roh dalam berbirokrasi, agama akan berdampak pada perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama seperti tidak korupsi, disiplin, amanah, serta produktif. Demikian juga bila agama dimanifestasikan dalam kehidupan sosial, cita-cita agama membentuk masyarakat harmonis, damai, dan sejahtera akan tercapai. ●
Keikhlasan menyembelih hewan, dalam pandangan saya, tidak ada apa-apanya jika dibanding pengorbanan Nabi Ibrahim yang diperintah menyembelih putra kesayangannya, Nabi Ismail. Dalam perspektif teologis, pengorbanan Nabi Ibrahim adalah bentuk totalitas ketaatan kepada Allah, sedangkan dalam perspektif sosiologis humanis merupakan refleksi membangun semangat kemanusiaan untuk saling berbagi.
Dua hikmah tersebut sangat jelas mengandung keseimbangan hubungan manusia kepada Sang Pencipta (vertikal) dan sesama manusia (horizontal). Hubungan transendental tidak semata-mata mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun, di balik itu, ada ajaran yang membangun kesadaran berhikmah dengan sesama manusia. Sebaliknya, hubungan kemanusiaan juga merupakan ijtihad keseharian untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dalam perspektif sosiologi agama, pelaksanaan penyembelihan kurban senyawa dengan lima fungsi agama. Pertama, fungsi edukatif. Yakni, ada tatanan nilai pembelajaran bimbingan agama kepada manusia seperti sifat taat, sabar, dan semangat membangun persaudaraan.
Kedua, fungsi penyelamatan bahwa kehadiran agama mempunyai nilai-nilai kebajikan yang jika diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari akan selamat dunia-akhirat.
Ketiga, pengawasan sosial. Agama sebagai social control mempunyai kaidah-kaidah sosial yang bertujuan membangun masyarakat harmonis (solidaritas). Anjuran menyembelih hewan kurban bagi yang mampu merupakan bagian dari social control agar manusia tidak tamak dan melupakan lingkungan sosial atau masyarakat marginal.
Penyembelihan hewan kurban menjadi simbol refleksi terhadap sifat manusia yang cenderung tamak harta dan kedudukan serta hidup hedonistis. Pesan agama, harta yang diberikan kepada manusia adalah titipan dan amanah Tuhan untuk ''dikembalikan'' kepada masyarakat sesuai dengan ajaran Tuhan. Zamakhsyari Dhofier dan Abdurrahman Wahid berpandangan bahwa agama tidak mengandung nilai-nilai di dalam dirinya, tetapi mengandung ajaran-ajaran yang menanamkan nilai-nilai sosial kepada penganutnya sehingga ajaran-ajaran agama tersebut merupakan salah satu elemen yang membentuk sistem nilai budaya.
Keempat, fungsi memupuk persaudaraan bahwa hakikat penyembelihan hewan kurban adalah membangun semangat solidaritas, toleran, adil sesama manusia, dan saling berbagi kebahagiaan.
Kelima, fungsi transformatif. Yaitu, kurban mampu mentransformasi kehidupan masyarakat secara objektif dan mampu membaca problem sosial secara kritis. Kesadaran bertransformasi harus dibangun agar pemahaman agama tidak sekadar bersifat dogmatis (doktrin), namun diimbangi dengan nalar kesadaran diri sebagai manusia yang mempunyai tanggung jawab sebagai makhluk Tuhan dan makhluk sosial.
Sebab, sebagaimana pandangan Machasin (2011), agama yang sekadar disakralkan akan mengakibatkan kemandekan dalam penghayatan kehidupan keagamaan sendiri. Agama semestinya berfungsi memberikan tuntunan kepada para pemeluknya dalam menghadapi persoalan-persoalan kehidupan, bukan menjadi beban yang memberatkan pemeluknya atau belenggu yang membatasi kreativitas serta daya hidupnya. Mengembalikan agama kepada fungsi pokoknya sebagai pemberi arahan hidup ini menghendaki perubahan terhadap rumusan ajarannya.
Posisi agama sebagaimana pandangan Weber memiliki peran signifikan dalam perubahan sosial pembentukan sistem etika baru, khususnya dalam sosial ekonomi. Demikian juga konsep agama Islam yang sama sekali tidak menganjurkan umatnya hidup miskin.
Seiring dengan adanya problem sosial seperti pengangguran, kemiskinan, dan kaum marginal yang terus meningkat, kepekaan dan kepedulian sosial harus ditingkatkan dengan pendekatan berbasis program produktif (bukan konsumtif ) secara sistemis. Keterlibatan lembaga sosial dan pemerintah penting membuat program sinergis yang bersifat mutualis. Program dibuat berdasar hasil need assessment, bottom up, dan sistem monitoring yang baik.
''Perkawinan'' nilai-nilai agama sebagai sistem sosial dengan pemerintah sebagai regulator kebijakan sangat penting untuk dibumikan. Dengan demikian, program pemerintah tidak semata-mata menjadi kewajiban ''ritual birokrasi'', namun juga berdimensi ibadah. Menurut hipotesis saya, jika dijadikan roh dalam berbirokrasi, agama akan berdampak pada perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama seperti tidak korupsi, disiplin, amanah, serta produktif. Demikian juga bila agama dimanifestasikan dalam kehidupan sosial, cita-cita agama membentuk masyarakat harmonis, damai, dan sejahtera akan tercapai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar