|
Reformasi
akan membimbing kebebasan yang lebih bagi kaum muda; keterbukaan yang lebih
baik pada dunia; menciptakan kondisi usaha yang lebih baik. Tiga hal yang
sangat penting bagi kemajuan. Demikian pernyataan seorang warga Iran saat
dimintai komentar mengenai gelombang baru reformasi atau moderatisme yang kini
tengah dijalankan Presiden Hassan Rouhani. Pada 25/9, Rouhani berbicara di
depan Majelis Umum PBB, New York. Ia mengisyaratkan keinginan untuk menjalin
hubungan yang lebih baik dengan Amerika Serikat (AS).
Rouhani
meminta Presiden Barack Obama untuk menghiraukan kelompok- kelompok yang haus
akan perang. Rouhani menegaskan bahwa Iran sama sekali bukan ancaman bagi
dunia. Iran di bawah Hassan Rouhani telah mengubah citra dari konservatisme ke
moderatisme seperti pendahulunya mantan presiden Mohammad Khatami. Saat
terpilih menjadi presiden Iran, ia didukung rata-rata oleh kalangan reformis
dan aktivis di Iran yang sudah kurang respek terhadap kepemimpinan Mahmud
Ahmadinejad.
Sebelum
Rouhani berkuasa, Iran sempat digempur dengan berbagai macam embargo ekonomi.
Berbagai jalan telah dilakukan Pemerintah Iran selama ini, mulai dari barter
barang dengan barang, pembayaran dengan emas, dan seterusnya, sebagai efek
domino embargo dari kekuatan dolar AS. Berbagai negara yang selama ini punya
transaksi ekonomi dengan Iran, seperti Indonesia dan Malaysia, sempat menarik
diri karena dihantui kerugian.
Di sisi
lain, dengan munculnya kembali kekuatan moderat di Iran, apakah kubu
konservatif sudah mulai melunakkan diri, akibat tekanan internasional yang
memojokkan Iran. Tampaknya kubu konservatif mulai `menengah' dalam sikap politiknya,
yang berarti mengambil garis politik moderat seperti pernah dipraktikkan
Presiden Mohammad Khatami pada tengah dekade 90-an. Iran pada masa Khatami sangat
rajin menjembatani dialog-dialog perdamaian, terutama dengan Barat, persis yang
akan dilakukan Presiden Rouhani kini.
Berbagai titik persamaan peradaban Islam-Barat dikuatkan, sementara berbagai
perbedaan dan pertentangan disingkirkan.
Garis politik
dan kebijakan Pemerintah Iran mulai bergeser saat Ahmadinejad memenangi Pemilu
Presiden pada 2005, konfrontasi dengan Barat sudah mulai terasa. Kubu
Ahmadinejad dan konservatifisme sebenarnya mulai terusik pada Pemilu Presiden
2009, di mana kubu moderat dan liberal bermunculan dengan tokoh-tokohnya
seperti Hossein Mosavi, Ali Larijani, Mehdi Karroubi, dan Ebrahim Yazdi. Namun,
pengaruh Ahmadinejad yang masih cenderung kuat membuatnya bertahan menjadi
pemenang pemilu kala itu.
Di tengah
krisis politik-diplomasi Iran dengan Barat yang membeku, bahkan nyaris masuk
dalam peperangan, Pemilu Parlemen Iran 2012 di mana kubu konservatif pecah,
seakan menjadi jawaban, apakah masyarakat Iran mulai enggan jika negaranya
menjadi objek kemarahan dan tekanan politik internasional.
Mantan
presiden Iran Mohammad Khatami memang tergolong moderat dan mempunyai gagasan
membangun dialog antarperadaban. Khatami selama ini dikenal sebagai mantan
presiden Iran yang berani melemparkan gagasan-gagasan seputar pembaruan
tradisi, yang sebelumnya sangat tabu. Ia juga pernah mengangkat isu-isu
`kontroversial' seperti penegakan hak- hak asasi manusia (HAM), hak-hak wanita,
pluralisme budaya, toleransi, dan demokratisasi, yang semuanya belum pernah
dibicarakan secara terbuka oleh presiden Iran sebelumnya.
Selain
gagasan-gagasan itu, ada satu isu penting yang dilemparkan Khatami yang
dianggap sebagai upaya meraih cita-cita membangun dialog antarperadaban, yakni
isu menjalankan politik detente. Banyak kalangan yang akhirnya menyamakan detente-nya
Khatami dengan gagasan glasnost (mantan) presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev
karena sama-sama ingin membuka kebekuan sebuah anarki lama yang tertutup
terhadap demokratisasi.
Akan
tetapi, sebetulnya gagasan Khatami sangat berbeda dengan gagasan Gorbachev. Gagasan
Khatami masih berpegang teguh pada tradisi fundamental Velayat Faqih dan
komitmennya terhadap cita- cita revolusi Islam. Sementara glasnostnya Gorbachev
yang memperkenalkan demokrasi dan kapitalisme Barat itu sangat bertentangan
dengan cita-cita fundamental revolusi ala Marxisme- Leninisme yang waktu itu
dianut Soviet (Smith al-Hadar, Revolusi Iran dan Kiprah Khatami, 1998).
Khatami
mantan presiden Iran yang paling baik terhadap AS. Dalam salah satu
pernyataannya, misalnya, ia mengemukakan, "Telah saya katakan sebelumnya
bahwa saya menghormati bangsa Amerika yang besar. Peradaban Amerika layak dihormati,
peradaban Amerika adalah fakta bahwa paham kebebasan memandang agama sebagai
tempat bagi pertumbuhannya, dan agama memandang perlindungan bagi kebebasan
sebagai tugas sucinya." (Khatami: 152 dan 154).
Jika
perlakuan AS dan Barat terhadap rencana menginvasi Iran akibat sikap politik
Ahmadinejad yang telah lalu tidak sedikit pun menoleh pada kekuatan moderat,
seperti akan dilakukan Hassan Rouhani di mana Khatami menjadi jargonnya untuk
membangun dialog antarperadaban, maka hal tersebut sangat bertentangan dengan
sikap-sikap AS sebagai negara adidaya yang selalu mengobral janji
demokratisasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar