Rabu, 16 Oktober 2013

Moderatisme Iran

Moderatisme Iran
Ismatillah A Nu’ad  Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan,
Universitas Paramadina, Jakarta
REPUBLIKA, 01 Oktober 2013


Reformasi akan membimbing kebebasan yang lebih bagi kaum muda; keterbukaan yang lebih baik pada dunia; menciptakan kondisi usaha yang lebih baik. Tiga hal yang sangat penting bagi kemajuan. Demikian pernyataan seorang warga Iran saat dimintai komentar mengenai gelombang baru reformasi atau moderatisme yang kini tengah dijalankan Presiden Hassan Rouhani. Pada 25/9, Rouhani berbicara di depan Majelis Umum PBB, New York. Ia mengisyaratkan keinginan untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan Amerika Serikat (AS).

Rouhani meminta Presiden Barack Obama untuk menghiraukan kelompok- kelompok yang haus akan perang. Rouhani menegaskan bahwa Iran sama sekali bukan ancaman bagi dunia. Iran di bawah Hassan Rouhani telah mengubah citra dari konservatisme ke moderatisme seperti pendahulunya mantan presiden Mohammad Khatami. Saat terpilih menjadi presiden Iran, ia didukung rata-rata oleh kalangan reformis dan aktivis di Iran yang sudah kurang respek terhadap kepemimpinan Mahmud Ahmadinejad.

Sebelum Rouhani berkuasa, Iran sempat digempur dengan berbagai macam embargo ekonomi. Berbagai jalan telah dilakukan Pemerintah Iran selama ini, mulai dari barter barang dengan barang, pembayaran dengan emas, dan seterusnya, sebagai efek domino embargo dari kekuatan dolar AS. Berbagai negara yang selama ini punya transaksi ekonomi dengan Iran, seperti Indonesia dan Malaysia, sempat menarik diri karena dihantui kerugian. 

Di sisi lain, dengan munculnya kembali kekuatan moderat di Iran, apakah kubu konservatif sudah mulai melunakkan diri, akibat tekanan internasional yang memojokkan Iran. Tampaknya kubu konservatif mulai `menengah' dalam sikap politiknya, yang berarti mengambil garis politik moderat seperti pernah dipraktikkan Presiden Mohammad Khatami pada tengah dekade 90-an. Iran pada masa Khatami sangat rajin menjembatani dialog-dialog perdamaian, terutama dengan Barat, persis yang akan dilakukan Presiden Rouhani kini.
Berbagai titik persamaan peradaban Islam-Barat dikuatkan, sementara berbagai perbedaan dan pertentangan disingkirkan.

Garis politik dan kebijakan Pemerintah Iran mulai bergeser saat Ahmadinejad memenangi Pemilu Presiden pada 2005, konfrontasi dengan Barat sudah mulai terasa. Kubu Ahmadinejad dan konservatifisme sebenarnya mulai terusik pada Pemilu Presiden 2009, di mana kubu moderat dan liberal bermunculan dengan tokoh-tokohnya seperti Hossein Mosavi, Ali Larijani, Mehdi Karroubi, dan Ebrahim Yazdi. Namun, pengaruh Ahmadinejad yang masih cenderung kuat membuatnya bertahan menjadi pemenang pemilu kala itu.

Di tengah krisis politik-diplomasi Iran dengan Barat yang membeku, bahkan nyaris masuk dalam peperangan, Pemilu Parlemen Iran 2012 di mana kubu konservatif pecah, seakan menjadi jawaban, apakah masyarakat Iran mulai enggan jika negaranya menjadi objek kemarahan dan tekanan politik internasional. 

Mantan presiden Iran Mohammad Khatami memang tergolong moderat dan mempunyai gagasan membangun dialog antarperadaban. Khatami selama ini dikenal sebagai mantan presiden Iran yang berani melemparkan gagasan-gagasan seputar pembaruan tradisi, yang sebelumnya sangat tabu. Ia juga pernah mengangkat isu-isu `kontroversial' seperti penegakan hak- hak asasi manusia (HAM), hak-hak wanita, pluralisme budaya, toleransi, dan demokratisasi, yang semuanya belum pernah dibicarakan secara terbuka oleh presiden Iran sebelumnya.

Selain gagasan-gagasan itu, ada satu isu penting yang dilemparkan Khatami yang dianggap sebagai upaya meraih cita-cita membangun dialog antarperadaban, yakni isu menjalankan politik detente. Banyak kalangan yang akhirnya menyamakan detente-nya Khatami dengan gagasan glasnost (mantan) presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev karena sama-sama ingin membuka kebekuan sebuah anarki lama yang tertutup terhadap demokratisasi.

Akan tetapi, sebetulnya gagasan Khatami sangat berbeda dengan gagasan Gorbachev. Gagasan Khatami masih berpegang teguh pada tradisi fundamental Velayat Faqih dan komitmennya terhadap cita- cita revolusi Islam. Sementara glasnostnya Gorbachev yang memperkenalkan demokrasi dan kapitalisme Barat itu sangat bertentangan dengan cita-cita fundamental revolusi ala Marxisme- Leninisme yang waktu itu dianut Soviet (Smith al-Hadar, Revolusi Iran dan Kiprah Khatami, 1998).

Khatami mantan presiden Iran yang paling baik terhadap AS. Dalam salah satu pernyataannya, misalnya, ia mengemukakan, "Telah saya katakan sebelumnya bahwa saya menghormati bangsa Amerika yang besar. Peradaban Amerika layak dihormati, peradaban Amerika adalah fakta bahwa paham kebebasan memandang agama sebagai tempat bagi pertumbuhannya, dan agama memandang perlindungan bagi kebebasan sebagai tugas sucinya." (Khatami: 152 dan 154).


Jika perlakuan AS dan Barat terhadap rencana menginvasi Iran akibat sikap politik Ahmadinejad yang telah lalu tidak sedikit pun menoleh pada kekuatan moderat, seperti akan dilakukan Hassan Rouhani di mana Khatami menjadi jargonnya untuk membangun dialog antarperadaban, maka hal tersebut sangat bertentangan dengan sikap-sikap AS sebagai negara adidaya yang selalu mengobral janji demokratisasi.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar