Rabu, 02 Oktober 2013

APEC dan Ekonomi Persaingan Bebas

APEC dan Ekonomi Persaingan Bebas
Dani Setiawan  ;  Ketua Koalisi Anti Utang dan Pegiat Asosiasi
Ekonomi Politik Indonesia
KOMPAS, 02 Oktober 2013


Berdiri pada 1989 di Canberra, Australia, APEC ditujukan untuk mendekatkan perekonomian negara maju dan negara berkembang dengan mendorong keterbukaan ekonomi di dalam kawasan dalam hal investasi dan perdagangan.
Inisiatif-inisiatif penguatan ekonomi memang sebagian besar difokuskan pada kepentingan investasi dan perdagangan, meski tidak terbatas untuk membahas isu-isu lain seperti keamanan dan kerja sama lainnya. APEC hadir sebagai bentuk regionalisme yang terbuka. Artinya, negara- negara yang tergabung di dalamnya di samping menjamin bebasnya arus barang, jasa, dan modal di antara anggota sendiri, juga menjamin terbukanya kerja sama antara kawasan lain.
Dalam sejarah perjalanan APEC, Indonesia bagian penting dalam meletakkan dasar penguatan liberalisasi dan fasilitasi perdagangan dan investasi. Pada 1994, sebagai ketua sekaligus tuan rumah KTT APEC, Indonesia berperan dalam melahirkan Deklarasi Bogor (Bogor Goals). Deklarasi Bogor setidaknya menegaskan dua hal. Pertama, diperlukannya aksi nyata untuk menghilangkan hambatan-hambatan bagi terlaksanakannya kebebasan lalu lintas barang, jasa, dan modal di antara anggota ekonomi APEC untuk negara maju pada 2010 dan negara berkembang pada 2020. Kedua, menegaskan bahwa visi Deklarasi Bogor harus dicapai dalam kerangka pendekatan yang telah disepakati dalam GATT/WTO secara konsisten.
Liberalisasi dan investasi
Dalam dokumen Individual Action Plan (IAP) Peer Review yang disampaikan di Singapura pada 13 Februari 2009, Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa kebijakan ekonominya sudah sesuai alur kesepakatan regional dan internasional. Para anggota ekonomi yang hadir menyambut baik langkah-langkah yang telah diambil dan meyakini Indonesia memiliki komitmen kuat terhadap Bogor Goals 2010-2020 dan berada pada jalur yang tepat.
Penilaian ini sangat beralasan. Indonesia salah satu negara berkembang anggota APEC yang menerapkan kebijakan perdagangan dan investasi paling liberal. Rezim investasi di Indonesia, sebagaimana termuat dalam UU Penanaman Modal, merupakan salah satu UU investasi paling bebas di dunia. UU ini juga menjadi landasan bagi dibuatnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 yang mengizinkan penanaman modal asing di berbagai sektor hingga 99 persen.
Indonesia juga telah menandatangani dan menyetujui sejumlah Perjanjian Investasi Internasional (IIAS). Di bidang perdagangan, selain terikat oleh perjanjian perdagangan bebas multilateral dalam kerangka Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Indonesia juga telah terlibat sedikitnya dalam enam skema perjanjian perdagangan bebas bilateral maupun regional.
Lalu bagaimana kepentingan nasional terlindungi dari cengkeraman liberalisasi semacam ini? Dalam Pasal 33 UUD 1945, negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk mengatur perekonomian nasional agar sumber-sumber kehidupan terhindar dari penguasaan pasar bebas. Negara harus mengarahkan agar bangun usaha ekonomi yang tumbuh di Indonesia bertumpu pada usaha bersama dan berasas kekeluargaan, seperti koperasi, bukan bertumpu pada asas perorangan dan persaingan bebas.
Pemerintah seolah menutup mata: serbuan liberalisasi telah menyebabkan dominasi jaringan modal internasional, memunculkan hubungan tak seimbang dan eksploitatif antarpelaku ekonom. Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM mencatat, saat ini 28 ritel modern utama menguasai 31 persen pangsa pasar ritel dengan total omzet sekitar Rp 70,5 triliun. Kontras dengan ritel tradisional yang total omzet sebesar Rp 156,9 triliun, dibagi kepada 17,1 juta pedagang, yang 70 persennya masuk kategori informal.
Karena itu, jadi kekhawatiran jika pertemuan APEC melahirkan komitmen Pemerintah RI untuk memperluas jangkauan liberalisasi perdagangan dan investasi yang lebih luas lagi. Apalagi, negara maju di dalam APEC mendesak mempercepat liberalisasi pada sektor yang relatif masih diproteksi, seperti pangan, produk ramah lingkungan, serta perdagangan jasa lingkungan. Meski disebutkan perhatian kepada ketiga hal ini sebagai jawaban terhadap masalah-masalah keamanan pangan dan persoalan lingkungan hidup global, tidak dapat disembunyikan nilai keuntungan dari perdagangan ketiga hal ini yang sangat menjanjikan bilamana terdapat komitmen untuk meliberalisasi.

Kita patut memperingatkan pemerintah agar berhati-hati membuat setiap komitmen baru untuk meliberalisasi sektor ekonomi Indonesia. Pemerintah harus tetap berpegang pada nilai- nilai Pancasila dan UUD 1945 dalam membangun sebuah kerja sama ekonomi dengan pihak lain, termasuk dalam kerangka APEC. Apalagi menjelang berakhirnya masa jabatan presiden, SBY sangatlah tidak patut mewariskan beban masalah kepada presiden baru hasil Pemilu 2014. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar