|
Dalam rangka Hari Kontrasepsi
Sedunia, Kemenko Kesejahteraan Rakyat bersama Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional, Badan Pusat Statistik, serta Kementerian Kesehatan baru
saja meluncurkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012.
Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 merupakan suatu survei rumah
tangga yang representatif secara nasional dan provinsi untuk menyediakan data
bagi keperluan monitoring dan evaluasi di bidang kependudukan, kesehatan, dan
gizi di Indonesia. Informasi yang dikumpulkan terkait kelahiran, kesehatan
reproduksi, kematian, imunisasi, HIV/AIDS, malaria, dan status gizi.
Kita patut
mengapresiasi SDKI 2012 yang memiliki cakupan responden lebih luas. Bukan hanya
wanita pernah kawin, melainkan semua wanita usia subur yang ada
dalam listingrumah tangga yang diwawancarai. Namun, ada beberapa telaah
kritis yang bisa kita cermati dari hasil SDKI 2012. Efektivitas program
kesehatan dan keluarga berencana (KB) perlu ditingkatkan dengan memahami lebih
dalam berbagai hasil temuan yang ada.
Salah satu hal
yang mengejutkan ialah naiknya angka kematian ibu, dari 228 (SDKI 2007) menjadi
359 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2012). Kenyataan ini semakin menjauhkan
Indonesia dari target MDG 2015 (102 per 100.000 kelahiran hidup). Diperlukan
perbaikan intervensi guna mengurangi angka kematian ibu secara signifikan.
Angka kematian
ibu didefinisikan: jumlah kematian wanita yang disebabkan komplikasi kehamilan
dan kelahiran anak per 100.000 kelahiran hidup pada tahun tertentu. Harus
dipahami, untuk memperoleh data dan mengestimasi angka kematian ibu sangat
sulit. Hingga saat ini, untuk mengestimasi kematian ibu masih
digunakan sisterhood methodseperti yang direkomendasikan Badan Kesehatan
Dunia (WHO). Dalam metode tersebut, pertanyaan untuk kasus kematian ibu diajukan
kepada saudara perempuan yang masih hidup. Masalahnya, belum tentu setiap ibu
memiliki saudara kandung perempuan. Apalagi rata-rata jumlah anak dalam
keluarga kian sedikit. Selama pelaksanaan SDKI 2012, juga tak banyak ditemukan
kasus kematian ibu.
Salah satu cara
memperbaiki kualitas data kematian ibu ialah dengan upaya perbaikan registrasi
vital yang jadi tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri bersama pemerintah
daerah. Harus ada upaya terobosan secara proaktif di daerah untuk bisa mencatat
setiap kasus kematian ibu. Tidak bisa hanya menunggu laporan dari masyarakat.
Informasi
kematian ibu sangat penting karena jadi salah satu ukuran derajat kesehatan
suatu negara. Pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas dimulai sejak
proses kehamilan. Meskipun umumnya para ibu dapat menjalani proses kehamilan
hingga melahirkan secara normal, lebih dari 20 persen ibu hamil dan melahirkan
mengalami komplikasi yang dapat mengancam jiwanya.
Dugaan penyebab
Meski sulit
mengetahui secara pasti angka kematian ibu, temuan SDKI 2012 harus jadi bahan
evaluasi kebijakan pemerintah. Penurunan angka kematian ibu setidaknya terkait
intervensi di dua sektor: kesehatan dan KB. Angka kelahiran total selama 10
tahun terakhir stagnan di angka 2,6. Artinya, rata-rata jumlah anak yang dimiliki
seorang wanita selama masa usia reproduksinya 2,6 anak dan tak ada perubahan
sejak tahun 2002.
Penggunaan
kontrasepsi modern di kalangan wanita kawin usia 15-49 tahun juga tak banyak
berubah, hanya naik sedikit dari 57 persen (2007) menjadi 58 persen (2012).
Intervensi dalam bentuk program KB dapat mengurangi risiko kematian ibu karena
perencanaan kehamilan dan melahirkan jadi lebih baik. Indikator kinerja KB yang
stagnan dapat berdampak buruk terhadap meningkatnya risiko kematian ibu.
Hal yang perlu
jadi perhatian ternyata para ibu yang terlalu muda, terlalu tua, dan memiliki
banyak anak (kelompok risiko tinggi) justru cenderung rendah partisipasinya
dalam ber-KB. Selain itu, kehamilan di luar rencana justru banyak dihadapi para
ibu yang masuk dalam kelompok miskin, berpendidikan rendah, dan tinggal di
pedesaan. Perbaikan akses bagi penduduk miskin terhadap pelayanan KB harus
dilakukan segera.
Salah satu
temuan positif dari SDKI 2012 ialah meningkatnya cakupan pemeriksaan kehamilan.
Tercatat jumlah ibu hamil yang mendapat pemeriksaan kehamilan dari tenaga
profesional minimal satu kali, meningkat dari 93 persen (2007) jadi 96 persen
(2012). Namun, kita tentu bertanya, mengapa kenaikan cakupan pemeriksaan
kehamilan tidak diikuti penurunan angka kematian ibu? Pemeriksaan kehamilan
dapat jadi deteksi awal kemungkinan adanya komplikasi kehamilan dan persalinan.
Jika kita menelusuri data SDKI 2012, ternyata mayoritas pemeriksaan kehamilan
hanya mencakup pemeriksaan perut (98 persen) dan tekanan darah (96 persen).
Hanya 41 persen ibu hamil yang memperoleh pemeriksaan darah. Padahal,
pemeriksaan darah sangat penting untuk mendeteksi gejala anemia yang dapat
membahayakan jiwa ibu jika terjadi perdarahan saat persalinan. Artinya,
pemeriksaan secara kuantitas baik, tapi masih perlu perbaikan kualitas.
Cakupan
pemeriksaan kehamilan justru rendah untuk kelompok berisiko tinggi (wanita
hamil usia muda, tua, memiliki anak banyak, dan miskin). Pemeriksaan kehamilan
oleh tenaga profesional untuk kelompok ibu berisiko tinggi ini juga relatif
lebih rendah ketimbang kelompok ibu hamil lainnya. Fakta lainnya, sekitar 36
persen persalinan dilakukan di rumah. Salah satu alasan para ibu melakukan
persalinan di rumah karena lebih nyaman. Implikasinya, tidak ada tindakan yang
memadai di rumah jika terjadi komplikasi selama persalinan. Untuk mendorong
mereka pindah ke fasilitas kesehatan, paradigma ”nyaman” ini perlu diadopsi di
sejumlah rumah sakit dan puskesmas.
Pemerintah
telah berupaya menurunkan angka kematian ibu. Namun, naiknya angka kematian ibu
harus menjadi bahan evaluasi bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Perlu langkah strategis dan perbaikan intervensi kesehatan dan KB guna
menurunkan angka kematian ibu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar