|
Beban utang yang menyandera APBN
menyebabkan negara kehilangan kemampuan mendanai dan membiayai sektor publik
untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Dengan mengacu pada APBN 2013, utang
pemerintah tercatat Rp 2.160 triliun dengan komposisi terdiri atas utang luar
negeri, utang dalam negeri, dan surat berharga negara.
Memang, Indonesia sudah terseret
"lumpur utang": makin bangkit dan berusaha keluar dari utang, makin
dalam utangnya. Seperti orang yang tercebur aliran lumpur di sebuah rawa, makin
berusaha melepaskan diri dari jebakan lumpur, maka makin dalam lumpur itu
menenggelamkannya.
Patricia Adams mengistilahkan dua
kategori utang, yakni "utang najis" (odious debt) dan utang kriminal.
Indonesia terjebak dalam kedua jenis utang itu. Utang luar negeri--baik melalui
skema Bank Dunia, antarpemerintah, maupun skema lain--telah menjadi utang najis
karena uangnya dihambur-hamburkan untuk pembiayaan berbagai program pemerintah
yang boros dan penuh penyelewengan. Termasuk, untuk
"menggelembungkan" birokrasi dan memberikan fasilitas berlebih kepada
pejabat negara, elite politik, dan pengusaha kroni.
Sedangkan utang kriminal bisa
meliputi pula utang dalam negeri. Utang kriminal semacam itu bisa terlihat dari
kasus dana rekapitulasi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang berjumlah
sekitar Rp 14.000 triliun.
BLBI adalah skema pinjaman yang
diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas
ketika Indonesia diterpa krisis moneter tahun 1998. Skema itu dilakukan
berdasarkan perjanjian antara Indonesia dan IMF untuk mengatasi krisis.
Indonesia saat itu mengalami krisis akibat terkotori utang najis. Selanjutnya
utang najis itu berubah menjadi utang kriminal yang jumlahnya amat sangat
besar: Rp 14.000 triliun.
Celakanya, bank-bank yang mendapat
bantuan likuiditas, sebagian besar mengemplang atau merekayasa utang-utangnya
sedemikian rupa sehingga seolah-olah lunas. Tragisnya, pemerintah pun tidak
bisa berbuat apa-apa menghadapi utang kriminal tersebut.
Padahal, akibat utang kriminal
BLBI, setiap tahun pajak rakyat dipakai untuk mencicil utang BLBI sebesar Rp 60
triliun - Rp 80 triliun. Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) menyebutkan,
tidak ada kepastian sampai kapan rakyat harus menanggung beban utang sebesar
itu. Tak ada angka pasti berapa yang harus dibayarkan untuk BLBI. Bahkan
terlihat tidak ada niat baik dari pemerintah untuk menuntaskan BLBI sampai ke
akarnya, yakni pelunasan utang dan penuntasan hukum terkait penyalahgunaaan
BLBI. Para konglomerat pun makin sukses melebarkan sayap bisnis hasil dari
modal BLBI.
Pertanyaannya, mengapa pemerintah
mau berutang sedemikian besar untuk hal-hal yang tidak urgen? Jawabnya,
keserakahan. Keserakahan menyebabkan manusia tidak mampu melihat dirinya
sendiri. Akibatnya, manusia akan terjerat dan jatuh akibat keserakahannya.
Semua nabi dan orang suci telah mengingatkan, jangan membiarkan keserakahan
menyelimuti diri kita. Karena, keserakahan akan membunuh diri kita sendiri.
Untuk itulah, pemerintah harus mencoba bangun dan berdiri pada kaki sendiri.
Meminjam nasihat Bung Karno, kita bangsa Indonesia harus mampu berdiri sendiri.
Adalah sebuah pembelajaran manusia
untuk menghindari keserakahan. Kita juga perlu belajar hidup sederhana, menahan
nafsu, menahan lapar, dan menahan amarah untuk mencegah munculnya keserakahan.
Ini penting agar problem-problem yang bisa menghancurkan negara--baik ekonomi,
politik, sosial maupun lingkungan hidup--bisa teratasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar