|
Sebagai bangsa kita telah berhasil
meraih kemerdekaan dari tangan penjajah dengan penuh perjuangan, cucuran darah
dan air mata. Kini sudah lebih dari 68 tahun kemerdekaan yang dipersembahkan
oleh para sesepuh pejuang kemerdekaan yang menjadi cita-cita seluruh bangsa
Indonesia, namun tinggal kewajiban mengisi kemerdekaan tersebut, agar bangsa
ini menjadi bangsa yang maju, bahagia, sejahtera, adil dan merata.
Perjalanan bangsa yang penuh
liku-liku dalam memperjuangkan kesejahteraan, tidak terlepas dari adanya
kendala, baik kendala yang berasal dari dalam negeri sendiri, maupun muncul
dari adanya pengaruh luar yang tidak selamanya menguntungkan rakyat Indonesia.
Kalau kita mencermati dan menyimak
pidato kenegaraan Presiden SBY di hadapan anggota DPR RI dan disiarkan langsung
ke berbagai penjuru tanah air melalui media massa, hati kita terasa sejuk dan
tenteram, karena isi pidato tersebut antara lain mengetengahkan adanya tingkat
pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia yang makin hari makin membaik, tingkat
pengangguran semakin menurun dan yang paling menggembirakan hati adalah tingkat
kemiskinan di Indonesia berhasil diturunkan, dari 16,66 persen pada tahun 2004,
menjadi 11,37 persen pada tahun ini. Semua itu, suatu keberhasilan pembangunan
yang luar biasa, apabila apa yang disampaikan oleh Presiden SBY itu betul-betul
seperti itu adanya. Disisi lain, walaupun tingkat kemiskinan berhasil
diturunkan, namun melihat jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar dan terus
mengalami kenaikan, tercatat lebih dari 250 juta jiwa saat ini maka, secara kuantitatif
jumlah penduduk mis-kin Indonesia pun terus mengalami kenaikan, yaitu masih
berkisar 28 juta jiwa. Jumlah tersebut lebih besar lima kali lipat dibandingkan
dengan jumlah penduduk Singapore yang jumlah berkisar hanya 5,3 juta jiwa.
Berbagai pertemuan nasional dan
internasional, baik berupa seminar, konferensi, lokakarya, diskusi dan
lain-lain, tidak sedikit yang menyinggung masalah kemiskinan, pengangguran dan
kesenjangan tersebut. Namun, lagi-lagi pertemuan tersebut hanya menghasilkan
masukan ide yang dituangkan dalam bentuk dokumen yang berisikan rekomendasi.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah rekomendasi dari berbagai pertemuan yang
note bene telah mengeluarkan tenaga dan pikiran dari para ahli dan pemikir itu
dilaksanakan, atau hanya sekedar hasilnya ditumpuk di atas meja atau mungkin
hanya masuk file. Seperti biasa, bahwa pada saat pertemuan dan diskusi
berlangsung, terjadi perdebatan dan adu argumentasi yang sengit, sehingga
menguras banyak pikiran dan tenaga.
Seperti halnya beberapa waktu yang
lalu, di Surabaya telah diselenggarakan Konferensi Nasional Kesejahteraan
Sosial (KNKS) ke-7, yang menghadirkan tokoh-tokoh nasional dan aktivis sosial
yang sengaja datang dari berbagai daerah di tanah air. Di sini masalah
kesejahteraan sosial muncul menjadi isu terkait perwujudan kesejahteraan itu
secara berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka, negara dan pemerintah
perlu hadir pada setiap upaya penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Bila selama ini isu kesejahteraan
menjadi isu yang kurang menarik dibandingkan dengan isu politik dan ekonomi,
maka diharapkan oleh para pekerja sosial dan masyarakat luas, mulai berpikir
dan merubah bahwa isu kesejehteraan tidak kalah menariknya dibandingkan dengan
isu politik dan ekonomi, apalagi bila isu tersebut dikemas dengan baik dan
dijadikan isu nasional. Sudah mulai banyak masyarakat kita yang apatis, jenuh
dan kurang tertarik lagi dengan adanya isu politik dan ekonomi, yang
diperlihatkan hanyalah perdebatan, permusuhan dan pertentangan sesama anak
bangsa.
Dalam dunia politik terlihat manis
di bibir, indah dalam kemasan dan rapi di atas kertas, tetapi kalau sudah
terkait dengan pelaksanaan di lapangan masih perlu dipertanyakan. Masyarakat
kita masih banyak yang perlu mendapat perhatian dan perlu ditangani secara
lebih terhormat dan manusiawi, bukan dengan charitas tetapi dengan
sentuhan-sentuhan pemberdayaan yang membuat mereka merasa dihargai dan
dimanusiakan.
Meskipun menurut pemerintah
kemiskinan telah berhasil diturunkan dan angka pengangguran juga telah menurun,
namun sebagian besar dari masya-rakat belum begitu saja yakin dengan
angka-angka yang menyejukan hati tersebut. Yang sangat jarang dimunculkan
adalah adanya data kesenjangan, yang jarang sekali diketengahkan di publik.
Menurut para pengamat sosial, kesenjangan di Indonesia bukannya bertambah
mengecil atau menyempit, tetapi justru sebaliknya, semakin lama semakin
melebar. Itu berarti bahwa pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik, hanya
dinikmati oleh kalangan menengah ke atas, sedangkan kalangan bawah hampir tidak
tersentuh, bahkan tidak merasakan adanya dampak kenaikan atau pertumbuhan
ekonomi itu sendiri.
Karena proporsi jumlah penduduk
terus mengalami kenaikan, persoalan baru dalam bidang sosial juga terus
bermunculan. Persoalan-persoalan sosial yang muncul akhir-akhir ini antara
lain, kecacatan, keterlantaran, ketuna-wismaan, ketuna-susilaan, korban
bencana, keterpencilan dan masih banyak lagi persoalan-persoalan sosial
lainnya. Dari berbagai persoalan yang muncul tersebut, umumnya dikarenakan rendahnya
angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia dan belum tercapaikan tujuan
pembangunan millennium (MDGs).
Dalam salah satu butir rekomendasi
Konferensi Nasional Kesejahteraan Sosial di Surabaya antara lain adalah, bahwa
pikiran ekonomi Pancasila, pertumbuhan dan pemerataan bukannya suatu pilihan,
tetapi harus terjadi secara bersamaan. Peningkatan pertumbuhan ekonomi harus
dicapai dengan cara memperluas pemerataan. Kunci terpenting dalam pemerataan
adalah bukan dengan proteksi ekonomi, melainkan dengan mengembangkan sistem
proteksi sosial. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar