|
SETELAH
daftar calon legislatif tetap (DCT) diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum akhir
Agustus lalu, para caleg dari 12 partai politik berlomba-lomba membuat iklan
politik yang ditayangkan melalui media massa, media online dan pema sangan
spanduk, baliho serta poster foto diri di berbagai penjuru Tanah Air.
Namun, sejumlah caleg yang
menampilkan sosok mereka dengan iklan politik itu kurang populer sebagai
aktivis yang rajin tampil dalam perhelatan politik.
Karena mereka lebih dikenal sebagai pengusaha atau pemilik modal yang memiliki
beragam bisnis.
Keterlibatan para pemilik modal
dalam politik praktis memang secara mencolok mendominasi ruangruang publik.
Dengan kampanye yang berisi pesan klise, bukan berarti kursi legislatif sudah
ada dalam genggaman. Pasalnya, membangun elektabilitas tidak bisa dilakukan
secara instan, tetapi dengan bukti nyata bahwa seorang pemilik modal yang masuk
DCT bekerja faktual untuk kepentingan rakyat.
Terlepas dari masalah peluang
untuk menjadi anggota legislatif yang mengeksplorasi pesan monoton, bagi
pemilih, semakin banyak pengusaha yang terjun dalam politik praktis, semakin
beragam pula pilihan untuk menetapkan caleg yang di harapkan bisa mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan.
Pelapisan Politik
Masalahnya, meski ada niat baik
dari para pemilik modal untuk terjun ke politik praktis, ternyata mereka tidak
selalu diterima kalangan internal partai. Para pebisnis itu dinilai belum untuk
ditetapkan sebagai caleg pada Pemilu 2014 karena ‘jam terbang’ yang minim jika
dibandingkan dengan kelompok aktivis yang konsisten menjalankan roda organisasi
kepartaian.
Munculnya politisi dadakan yang
masuk DCT juga menyebabkan perpecahan antarkader dan berpotensi melemahkan
kekuatan partai yang sedang membutuhkan dukungan menghadapi kontestasi politik
lokal ataupun nasional.
Namun, sesungguhnya jika berpijak
pada stratifikasi politik masyarakat, keberadaan pemilik modal dalam parpol
secara instan biasa terjadi pada skala makro kehidupan politik negara ataupun
level mikro organisasi politik. Menurut Robert D Putnam (1978), terdapat enam
lapisan dalam stratifikasi politik, yaitu (1) proximate decession maker, (2)
influential, (3) aktivis, (4) attentive public, (5) voters, (6) kelompok
nonpartisipan.
Lapisan pertama, proximate decession maker terdiri dari
pejabat-pejabat partai politik tingkat tinggi dan para anggota legislatif.
Kelompok ini memiliki otoritas membuat kebijakan pemerintahan dan negara.
Adapun lapisan kedua, infl uential, merupakan kelompok yang mempunyai pengaruh
kuat dalam politik. Mereka terdiri dari para pemilik modal dan birokrat papan
atas yang memiliki kekuatan mengontrol kehidupan politik.
Kelompok pembuat keputusan dan
kelompok kedua, yang memiliki pengaruh kuat dalam politik ini, memiliki
hubungan erat. Bahkan di antara dua entitas tersebut digambarkan Putnam bisa
bertukar posisi tanpa hambatan berarti ketika menjalankan organisasi politik. Kelompok
influential, yang memiliki kekuatan dahsyat dalam memanfaatkan modal, bisa
leluasa memengaruhi para elite parpol pembuat kebijakan di lapis pertama yang
memang membutuhkan biaya untuk menghidupi parpol.
Persoalannya, kohesivitas hubungan
di antara dua kelompok elite tersebut cenderung mengabaikan lapisan– lapisan
lain di bawahnya, seperti aktivis parpol yang memiliki kontribusi besar
terhadap kelangsungan hidup parpol.
Aktivis sebagai lapisan ketiga
pada stratifikasi politik Putnam memiliki pengalaman panjang menghadapi
hambatan dan tantangan menjalankan roda organisasi. Merekalah sesungguhnya yang
paling berhak mengisi jabatan-jabatan di partai politik dan memiliki kesempatan
pertama menduduki posisi dalam DCT.
Jika aktivis pegiat partai saja
tidak dihiraukan proximate decession
maker dan infl uential, kelompok lain di bawah aktivis jauh lebih tidak
dihiraukan lagi. Kelompok pengamat (attentive
public) sebagai kumpulan orang kritis, voters yang bertindak sebagai
pemberi suara dalam pemilihan umum, dan nonpartisipan yang sama sekali tidak
berpartisipasi dalam politik adalah kelompok–kelompok dalam stratifi kasi
politik yang memiliki jarak kekuasaan dengan elite parpol.
Padahal berkat mesin politik yang
digerakkan aktivis, juga suara kritis pengamat dan dukungan pemilih, para elite
parpol bisa mendapat kekuasaan yang memberikan berbagai fasilitas dan
keistimewaan posisi di masyarakat. Namun, karena jerat nafsu memburu kekuasaan,
elite parpol tetap berpihak kepada para pemilik modal yang lebih nyata bisa
mendukung perhelatan partai politik untuk membangun pencitraan.
Namun, harapan pejabat parpol yang
memberikan kesempatan besar terhadap politisi tanpa reputasi politik memadai
itu bisa saja berbalik merugikan kredibilitas dan elektabilitas partai politik.
Sebab, mencermati berbagai penyelewengan keuangan negara ataupun dugaan
korupsi, bukan mustahil rakyat antipati mengingat politisi kader instan itu
yang berupaya memperoleh sumber dana lebih besar lagi jika dibandingkan yang
sudah dikeluarkan untuk mengongkosi partai politik demi pengembangan bisnis
yang dimiliki. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar