|
PADA 2007,
Don Tapscott, pakar siber terkemuka dunia, melakukan penelitian yang bertajuk
The Net Generation: a Strategic Investigation dengan biaya US$4 juta.
Penelitian itu berupaya secara sangat serius untuk mengungkap perilaku generasi
internet (net generation atau net gener) di berbagai negara (Amerika,
Eropa, dan Asia) dan pengaruhnya--baik secara paradigmatik ataupun
perilaku--yang mulai mendominasi peradaban dunia dalam berbagai elemen, dari
pendidikan, enterpreneurship, politik (demokrasi), media hingga pola asuh (parenting). Dari penelitian itu,
Tapscott kemudian menulis karya berjudul Grown
Up Digital (2009). Sebuah karya yang oleh Michael S Dell (Chairman dan CEO
Dell) disebut sebagai buku panduan menarik untuk bertahan, berjuang, dan sukses
di era digital.
Ketika mengupas tentang Demokrasi
2.0--istilah yang dipakai Tapscott untuk corak demokrasi di era digital dan ia memulai
dengan kisah Chris Hughes--kawan sekamar Mark Zuckerberg di Harvard telah
berjasa dalam menyarankan diberinya tombol poke di Facebook. Pada 2007, Hughes
menandatangani kontrak kerja dengan Barack Obama untuk membangun dan
menjalankan konsep kampanye digital Obama guna meraih kemenangan atas Hillary
Clinton di internal Partai Demokrat dan selanjutnya meraih kursi presiden
Amerika Serikat (AS).
Hughes lalu membangun komunitas
dan jaringan kampanye (juga penjaringan dana) digital-online melalui My Bo (my.barackobama.com). My Bo kemudian
menjadi salah satu konsep kampanye terpenting dan paling berpengaruh dalam
pemenangan Obama, sekaligus menjadi penyumbang suara terbanyak bagi Presiden AS
kulit hitam pertama itu.
Hughes pun menegaskan kemenangan
Obama merupakan kemenangan net gener dengan kampanye digitalnya atas kampanye
konvensional berbasis keterampilan memanipulasi media lama. Padahal, seperti
kita tahu, kampanye gaya lama Hillary saat itu merupakan kampanye dengan dana
begitu mahal, dilakukan tim dan konsultan yang sangat berpengalaman dan dengan
berbagai keterampilan serta kreativitas yang memukau. Namun, tetap saja, kata
Hughes, saat itu, net gener telah relatif dominan dan zaman telah
‘bermetamorfosis’ menjadi era digital (digital
age).
Menurut penulis, kemenangan Obama
dengan Kampanye 2.0--istilah penulis untuk model kampanye
digitalonline--merupakan sebuah tesis tersendiri di ranah politik, khususnya
demokrasi. Pertama, tesis yang menggusur dugaan dan pendapat seperti yang
dikemukakan oleh Mark Bauerlein dalam karyanya yang berjudul The Dumbest Generation bahwa net gener tak memiliki ketertarikan
dalam dunia politik serta memiliki angka keikutsertaan dalam pemilu yang
memalukan. Justru, seperti diungkap dalam Cone
2006 Millenial Cause Study, 63% net gener merasa bertanggung jawab untuk
menghasilkan perubahan di dunia. Sebab, menurut penelitian Tapscott,
sebelumnya, net gener cenderung berjarak dengan politik bukan karena mereka tak
berminat dengan politik. Namun, karena sistem politik telah gagal merangkul
mereka dengan cara yang sesuai cara mereka dibesarkan yang tumbuh pada zaman
digital (growing up digital).
Kedua, tesis yang menyapu habis
model politik broadcast konvensional
dengan basis paradigma dan gaya kerja `kalian memilih, kami memerintah'. Dalam
sistem lama ini, warga mendengarkan pidato-pidato, acara debat, dan iklan-iklan
kampanye, lalu menyumbangkan uang dan suara mereka. Akan tetapi, ketika tiba
saatnya mereka memberikan saran, masukan, atau bahkan kritik ke dalam kiprah
politik dan pengambilan keputusan atau kebijakan nyata, mereka dan suaranya
cenderung disisihkan. Dalam konteks ini, misalnya, Hillary menggunakan Twitter
sebagai medium informasi searah (broadcast)
yang oleh Tapscott disebut sebagai `demokrasi media satu arah' (broadcast democracy).
Adapun Obama menggunakannya sebagai media untuk berhubungan dengan para pendukungnya di tingkat individu sejak ia berkampanye, memimpin, bahkan hingga ia tak lagi menjadi siapa-siapa dalam struktur pemerintahan AS nantinya.
Adapun Obama menggunakannya sebagai media untuk berhubungan dengan para pendukungnya di tingkat individu sejak ia berkampanye, memimpin, bahkan hingga ia tak lagi menjadi siapa-siapa dalam struktur pemerintahan AS nantinya.
Ketiga, mengutip Frank Rich
(kolumnis New York Times), Kampanye 2.0 menjadi tesis yang membalikkan struktur
kampanye konvensional yang berbasis `dari atas ke bawah' menjadi struktur `dari
bawah ke atas'. Dalam arti, Kampanye 2.0 bersifat sangat kolaboratif dan
partisipatif.
Para pendukung di ranah digital-online didorong untuk beraksi
dalam berkampanye ke sesama teman online mereka, menggalang dana,
menyelenggarakan pertemuan-pertemuan (gathering,
alias kopi darat) hingga membuat berbagai inovasi berbasis digital (aplikasi,
game, atau video kreatif semacam video YouTube berjudul Yes We Can yang sangat berpengaruh bagi kemenangan Obama) untuk
mengampanyekan tokoh mereka.
Mereka juga didorong untuk
bereaksi, yakni saling mengklarifi kasi segala isu negatif yang bersifat
manipulatif yang dimunculkan oleh rival politik atau media massa kepada tokoh
mereka, seperti yang menimpa Obama terkait dengan isu ras.
Keempat, Kampanye 2.0 merupakan
tesis yang membawa demokrasi pada arti sejatinya, yakni kekuatan rakyat (people power) di atas segalanya. Net
gener pemilih Obama adalah mereka yang benar-benar kenal secara
pribadi--melalui perangkat digital--dengan Obama, bukan mereka yang mengenal
tokohnya dari desas-desus atau media massa yang dalam suasana kampanye sangat
besar berpeluang dimanipulasi.
Seperti diungkap Tapscott, Obama
bahkan memberi tahu suasana hatinya pada semua rakyat yang terkoneksi secara
digital dengannya, baik melalui Twitter, Facebook, atau jejaring digital-online
lainnya. Begitu juga sebaliknya, melalui jaringan berbasis digitalonline, net
gener bisa kapan saja mengancam pemerintah, seperti yang pernah terjadi pada
Presiden Korea Selatan, Lee Myung-bak, pada April 2008, terkait dengan isu
impor sapi gila dari AS, yang terancam oleh gerakan berbasis Demonstrasi Web
2.0.
Dalam konteks Indonesia, jumlah net gener sebenarnya begitu besar dan
pertumbuhannya pun begitu pesat. Bersama China, AS, India dan Rusia, Indonesia
termasuk dalam 10 negara dengan pengguna internet terbesar di dunia. Dalam
ranah media sosial, Indonesia berada di urutan keempat pengguna Facebook
terbesar di dunia dan urutan kelima terbesar di dunia untuk Twitter. Kemenangan
Ridwan Kamil dan Oded M Danial dalam pemilu kada Bandung juga disebut sebagai
kemenangan yang berbasis pada kampanye digital.
Karena itu, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pun begitu bersemangat dalam membangun jaringan di media
sosial (Facebook, YouTube dan khususnya Twitter). Bahkan, Jusuf Kalla (mantan
Wakil Presiden Indonesia) menjadi tokoh Indonesia pertama yang memiliki
biografi digital (digital biography)
di iOS (Apple) dan Android.
Maka, menurut penulis, arus
digitalisasi tampaknya telah merambah dunia politik kita. Kita telah memasuki
era Demokrasi 2.0. Dan, Pemilu 2014 tampaknya akan menjadi pertarungan Kampanye
2.0 pertama di negeri ini, seperti yang terjadi di AS pertama kali pada Pemilu
Presiden 2008. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar