|
KONFERENSI pers KPK pada 14 Agustus
lalu dengan pembicara utama Bambang Widjojanto (BW) menyampaikan bahwa OTT
(operasi tangkap tangan) terhadap Rudi Rubiandini (RR) didasari informasi
masyarakat. BW mengatakan, “Terima kasih
kepada masyarakat yang telah memberikan informasi akurat.“ Pernyataan itu mengundang tanya saya, ada apa di balik
penyampaian informasi itu kepada KPK. Sejak judicial review UU No 22/2001 tentang
Migas yang berujung pada vonis MK yang membubarkan BP Migas sebagai akibat
dinyatakan tidak berlakunya 17 pasal yang berkaitan dengan BP Migas dalam UU
Migas itu, pihak eksekutif makin intens mencari jalan membuka dialog dengan
saya.
Bahkan sebelum talk show yang disiarkan langsung Metro
TV pada 14 Juni 2012, pihak eksekutif sangat ingin berjumpa dengan saya. Saya
menahan diri dengan argumentasi, jelaskan lebih dulu kepada saya pembentukan
biaya pokok produksi BBM yang diolah kilang sendiri dan pembentukan biaya pokok
produksi untuk minyak olahan yang diimpor serta pengalokasian BBM dan migas
yang diekspor atau yang dikonsumsi domestik.
Saat itu Prof Widjajono Partowidagdo
masih menjabat wakil menteri (wamen) ESDM. Sayangnya permintaan saya yang
`sederhana' itu tidak bisa dijawab dengan baik hingga saya membawanya ke MK
sebagai salah satu argumentasi untuk membatalkan UU No 22/2001 disebabkan tekad
pemerintah memberlakukan mekanisme harga pasar pada BBM dan energi lainnya.
Sebelumnya saya sendiri acap kali satu forum diskusi dengan RR. Yang terakhir
ialah pada 26 September 2012 saat Unas hendak dies natalis 2012 dan evaluasi
akhir 2012 sektor migas di Metro TV. Dua pekan sebelum Ramadan kami masih
bertukar informasi.
Masih hijau
Merujuk pengalaman berhubungan
dengan RR dan posisi saya terhadap kebijakan energi pemerintah sejak di DPR
dulu, pernyataan BW mengusik keingintahuan saya lebih dalam atas peristiwa OTT
terhadap RR. Sejak RR masuk ke BP Migas melalui rekomendasi seorang menteri
alumnus ITB, saya berpendapat RR merupakan teknokrat baru yang belum mengenal
`rimba migas' secara baik. RR mungkin tahu tentang adanya mafia migas di
kalangan swasta. Namun, saya meyakini RR belum mengenal jejaring mafia migas di
kalangan swasta yang relasinya dengan kaum teknokrat dan birokrat di eksekutif.
Karena itu, dalam berbagai forum diskusi dan seminar, RR tidak banyak membantah
kajian yang saya sampaikan. Yang pasti, dunia teori dengan dunia praktik yang
sarat dengan kepentingan berbasis kekuasaan memang berbeda.
Sebagai wamen ESDM, RR tentu risau
dengan keputusan MK yang membubarkan BP Migas. Bagi `lawan' RR, kerisauan itu
justru menunjukkan `masih hijau'-nya RR memahami mafia migas. Yang saya maksud
sebagai mafia migas adalah mereka yang berada di perusahaan swasta
(domestik/asing), BUMN, dan oknum di eksekutif dan legislatif yang bekerja sama
untuk mendapat keuntungan dengan cara memburu rente. RR tahu bahwa persoalan cost recovery, persoalan penawaran
tender atas kelebihan minyak mentah yang tidak diolah di kilang Indonesia,
belum akuntabelnya pengelolaan keuangan di SKK Migas, pengalokasian gas, Migas,
pengalokasian ga dan sebagainya selalu bermuatan KKN. Namun, pengetahuan dia
berlingkup pada persoalan casing,
context, and content.
RR belum mencapai kedalaman (comprehensive) pemahaman dan ketajaman
analisis serta keluasan pandangan tentang bekerjanya para pemburu rente. Pada
posisi yang demikian, para dewa mafia migas mencoba menempatkan posisi RR
sebagai bagian bagian dari kelompoknya demi keuntungan kelompok mereka.
Misalnya soal alokasi gas untuk kepentingan domestik atau untuk BUMN tertentu.
Persoalan alokasi itu mencakup diambil dari mana, dengan harga berapa, dan bagaimana
infrastrukturnya. Dalam soal rente, volume gas yang dialokasikan dikalikan
dengan margin yang mereka raih (sebagai rente), apakah US$0,50 atau US$0,75 per
mmbtu menjadi sangat menentukan kebijakan yang apa diambil.
Masuk perangkap
Di sini RR terlibat dengan pihak
tertentu yang berkeinginan agar alokasi gas dari Madura disalurkan ke Bali demi
mencukupi pasokan gas bagi beroperasinya pembangkit listrik tenaga gas. RR
menyetujui bahwa pasokan gas untuk Gresik diambil dari Tiung Biru, sumur di
Cepu. Sementara itu, pihak yang lain menyatakan hal yang berbeda. Terjadilah
perbedaan yang tajam hingga dalam suatu kesempatan rapat RR sempat menggebrak
meja. RR lupa siapa yang dihadapinya. Itulah kesalahan pertama.
Dari kesalahan ini, pihak lawan
mencoba menyelisik kebijakan RR yang lain di SKK Migas. Menguak SKK Migas.
Menguak juga info bagaimana RR menjalin `hubungan manis' dengan seseorang di
lingkungan internal SK Migas. Saat yang sama RR lupa bahwa dia belum menguasai
akar kelembagaan SKK Migas, yang dahulu bernama BP Migas, dan jauh sebelumnya
bernama BKKA (Badan Koordinasi Kontraktor Asing) di Pertamina. RR berhadapan
dengan budaya birokrasi yang tidak terlalu sehat, yang dalam menghadapi masalah
nyaris mencari selamat diri sendiri. RR alpa bahwa dirinya dipantau lawan.
Itulah kesalahan kedua.
Kesalahan ketiga ialah tidak
jelasnya motif pertemuan RR di Singapura dengan oil trader. Menurut kalangan tertentu, dari pertemuan itulah soal
uang US$700 ribu bermula. Padahal, RR sedang dipantau pihak lawan. Saat RR
menerimanya baik karena alasan serakah, suruhan, atau kebutuhan lainnya, RR
masuk perangkap.
Sementara itu, posisi Johanes
Widjonarko yang menjadi Pelaksana Tugas Harian Kepala SKK Migas seperti
memperoleh durian runtuh. Widjo, demikian panggilan Johanes Widjonarko,
sebelumnya acap kali menjadi kambing hitam atas sejumlah kebijakan SKK Migas
yang tidak memadai atau salah. Akhir Juli kemarin Widjo mengajukan secara lisan
keinginannya untuk mengundurkan diri. Namun, oleh Jero Wacik itu ditolak.
Sementara itu, Widjo sendiri dikenal sosok yang akrab dengan Raden Priyono,
Kepala BP Migas, sebelum dibubarkan.
Itulah yang saya sebut tidak
sehatnya budaya organisasi birokrasi, mencari selamat sendiri, menggantungkan
diri pada ketentuan tertulis (legal
positivism), tetapi selalu menyediakan celah untuk mengambil keuntungan dan
manfaat untuk diri sendiri dan golongan disebabkan posisi informasi asimetri.
Selama hal itu tidak dibenahi,
persoalan pengelolaan sektor migas menghadapi masalah struktural yang berbuah korupsi
sistemis. Namun, bisa jadi sang petinggi bilang, jangan cepat-cepat dibenahi
karena kita akan kesulitan ATM. Karena itu, berapa lama usia sementara SKK
Migas menjadi tidak jelas. Itulah bukti rendahnya akuntabilitas publik, hal
yang saya teriakkan sejak 1998 di DPR dulu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar