Selasa, 20 Agustus 2013

Tiga Kesalahan RR

Tiga Kesalahan RR
Ichsanuddin Noorsy ;   Pakar Ekonomi dan Kebijakan Publik
MEDIA INDONESIA, 20 Agustus 2013

KONFERENSI pers KPK pada 14 Agustus lalu dengan pembicara utama Bambang Widjojanto (BW) menyampaikan bahwa OTT (operasi tangkap tangan) terhadap Rudi Rubiandini (RR) didasari informasi masyarakat. BW mengatakan, “Terima kasih kepada masyarakat yang telah memberikan informasi akurat.“ Pernyataan itu mengundang tanya saya, ada apa di balik penyampaian informasi itu kepada KPK. Sejak judicial review UU No 22/2001 tentang Migas yang berujung pada vonis MK yang membubarkan BP Migas sebagai akibat dinyatakan tidak berlakunya 17 pasal yang berkaitan dengan BP Migas dalam UU Migas itu, pihak eksekutif makin intens mencari jalan membuka dialog dengan saya.

Bahkan sebelum talk show yang disiarkan langsung Metro TV pada 14 Juni 2012, pihak eksekutif sangat ingin berjumpa dengan saya. Saya menahan diri dengan argumentasi, jelaskan lebih dulu kepada saya pembentukan biaya pokok produksi BBM yang diolah kilang sendiri dan pembentukan biaya pokok produksi untuk minyak olahan yang diimpor serta pengalokasian BBM dan migas yang diekspor atau yang dikonsumsi domestik.

Saat itu Prof Widjajono Partowidagdo masih menjabat wakil menteri (wamen) ESDM. Sayangnya permintaan saya yang `sederhana' itu tidak bisa dijawab dengan baik hingga saya membawanya ke MK sebagai salah satu argumentasi untuk membatalkan UU No 22/2001 disebabkan tekad pemerintah memberlakukan mekanisme harga pasar pada BBM dan energi lainnya. Sebelumnya saya sendiri acap kali satu forum diskusi dengan RR. Yang terakhir ialah pada 26 September 2012 saat Unas hendak dies natalis 2012 dan evaluasi akhir 2012 sektor migas di Metro TV. Dua pekan sebelum Ramadan kami masih bertukar informasi.

Masih hijau

Merujuk pengalaman berhubungan dengan RR dan posisi saya terhadap kebijakan energi pemerintah sejak di DPR dulu, pernyataan BW mengusik keingintahuan saya lebih dalam atas peristiwa OTT terhadap RR. Sejak RR masuk ke BP Migas melalui rekomendasi seorang menteri alumnus ITB, saya berpendapat RR merupakan teknokrat baru yang belum mengenal `rimba migas' secara baik. RR mungkin tahu tentang adanya mafia migas di kalangan swasta. Namun, saya meyakini RR belum mengenal jejaring mafia migas di kalangan swasta yang relasinya dengan kaum teknokrat dan birokrat di eksekutif. Karena itu, dalam berbagai forum diskusi dan seminar, RR tidak banyak membantah kajian yang saya sampaikan. Yang pasti, dunia teori dengan dunia praktik yang sarat dengan kepentingan berbasis kekuasaan memang berbeda.

Sebagai wamen ESDM, RR tentu risau dengan keputusan MK yang membubarkan BP Migas. Bagi `lawan' RR, kerisauan itu justru menunjukkan `masih hijau'-nya RR memahami mafia migas. Yang saya maksud sebagai mafia migas adalah mereka yang berada di perusahaan swasta (domestik/asing), BUMN, dan oknum di eksekutif dan legislatif yang bekerja sama untuk mendapat keuntungan dengan cara memburu rente. RR tahu bahwa persoalan cost recovery, persoalan penawaran tender atas kelebihan minyak mentah yang tidak diolah di kilang Indonesia, belum akuntabelnya pengelolaan keuangan di SKK Migas, pengalokasian gas, Migas, pengalokasian ga dan sebagainya selalu bermuatan KKN. Namun, pengetahuan dia berlingkup pada persoalan casing, context, and content.

RR belum mencapai kedalaman (comprehensive) pemahaman dan ketajaman analisis serta keluasan pandangan tentang bekerjanya para pemburu rente. Pada posisi yang demikian, para dewa mafia migas mencoba menempatkan posisi RR sebagai bagian bagian dari kelompoknya demi keuntungan kelompok mereka. Misalnya soal alokasi gas untuk kepentingan domestik atau untuk BUMN tertentu. Persoalan alokasi itu mencakup diambil dari mana, dengan harga berapa, dan bagaimana infrastrukturnya. Dalam soal rente, volume gas yang dialokasikan dikalikan dengan margin yang mereka raih (sebagai rente), apakah US$0,50 atau US$0,75 per mmbtu menjadi sangat menentukan kebijakan yang apa diambil.

Masuk perangkap

Di sini RR terlibat dengan pihak tertentu yang berkeinginan agar alokasi gas dari Madura disalurkan ke Bali demi mencukupi pasokan gas bagi beroperasinya pembangkit listrik tenaga gas. RR menyetujui bahwa pasokan gas untuk Gresik diambil dari Tiung Biru, sumur di Cepu. Sementara itu, pihak yang lain menyatakan hal yang berbeda. Terjadilah perbedaan yang tajam hingga dalam suatu kesempatan rapat RR sempat menggebrak meja. RR lupa siapa yang dihadapinya. Itulah kesalahan pertama.

Dari kesalahan ini, pihak lawan mencoba menyelisik kebijakan RR yang lain di SKK Migas. Menguak SKK Migas. Menguak juga info bagaimana RR menjalin `hubungan manis' dengan seseorang di lingkungan internal SK Migas. Saat yang sama RR lupa bahwa dia belum menguasai akar kelembagaan SKK Migas, yang dahulu bernama BP Migas, dan jauh sebelumnya bernama BKKA (Badan Koordinasi Kontraktor Asing) di Pertamina. RR berhadapan dengan budaya birokrasi yang tidak terlalu sehat, yang dalam menghadapi masalah nyaris mencari selamat diri sendiri. RR alpa bahwa dirinya dipantau lawan. Itulah kesalahan kedua.

Kesalahan ketiga ialah tidak jelasnya motif pertemuan RR di Singapura dengan oil trader. Menurut kalangan tertentu, dari pertemuan itulah soal uang US$700 ribu bermula. Padahal, RR sedang dipantau pihak lawan. Saat RR menerimanya baik karena alasan serakah, suruhan, atau kebutuhan lainnya, RR masuk perangkap.
Sementara itu, posisi Johanes Widjonarko yang menjadi Pelaksana Tugas Harian Kepala SKK Migas seperti memperoleh durian runtuh. Widjo, demikian panggilan Johanes Widjonarko, sebelumnya acap kali menjadi kambing hitam atas sejumlah kebijakan SKK Migas yang tidak memadai atau salah. Akhir Juli kemarin Widjo mengajukan secara lisan keinginannya untuk mengundurkan diri. Namun, oleh Jero Wacik itu ditolak. Sementara itu, Widjo sendiri dikenal sosok yang akrab dengan Raden Priyono, Kepala BP Migas, sebelum dibubarkan.

Itulah yang saya sebut tidak sehatnya budaya organisasi birokrasi, mencari selamat sendiri, menggantungkan diri pada ketentuan tertulis (legal positivism), tetapi selalu menyediakan celah untuk mengambil keuntungan dan manfaat untuk diri sendiri dan golongan disebabkan posisi informasi asimetri.


Selama hal itu tidak dibenahi, persoalan pengelolaan sektor migas menghadapi masalah struktural yang berbuah korupsi sistemis. Namun, bisa jadi sang petinggi bilang, jangan cepat-cepat dibenahi karena kita akan kesulitan ATM. Karena itu, berapa lama usia sementara SKK Migas menjadi tidak jelas. Itulah bukti rendahnya akuntabilitas publik, hal yang saya teriakkan sejak 1998 di DPR dulu. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar