Kamis, 22 Agustus 2013

Senjata dan Ornamen Kekuasaan

Senjata dan Ornamen Kekuasaan
Tb Ronny Rachman Nitibaskara ;   Guru Besar Kriminologi;
Ketua Program Pengkajian Ketahanan Nasional Pascasarjana UI
KOMPAS, 22 Agustus 2013


Beredarnya senjata secara luas di masyarakat, baik senjata api, rakitan, maupun airsoft gun, sungguh memprihatinkan.

Selama Juli-Agustus, setidaknya terjadi 16 kasus penembakan di sejumlah daerah: Cirendeu (Tangerang Selatan), Ogan Komering Ulu (Sumatera Selatan), Ciputat (Tangerang Selatan), dan Yogyakarta. Tak ada lagi penghormatan terhadap institusi dan aparatur negara. Penembakan terhadap petugas Rutan Kelas IIA Baturaja, Sumsel, dan anggota Polri menunjukkan siapa pun bisa jadi sasaran. Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar menyebutkan, motif penembakan dapat berupa balas dendam maupun ”peringatan” kepada Polri. Penembakan terhadap Rutan dan Petugas LP Wirogunan Yogyakarta mengindikasikan motif serupa.

Terlepas dari beragamnya motif, tindakan arogan dengan menembaki fasilitas umum, petugas hukum, dan masyarakat umum adalah perilaku yang sangat tidak dapat dicerna akal sehat. Penggunaan senjata jadi bagian dari tindakan arogan ini. Peredaran senjata di Indonesia seharusnya sangat terbatas. Sejatinya, senjata api merupakan sarana paksa yang dipakai negara untuk menjalankan kekuasaan melalui instansi militer dan kepolisian. Penggunaan senjata api pada prinsipnya merupakan monopoli negara.

Kendali negara

Austin T Turk menguraikan kendali negara terhadap bidang-bidang yang menjadi bagian kehidupan publik, yakni mengendalikan kekerasan fisik, perang, ataupun kekuatan polisi, serta mengendalikan produksi, alokasi, serta penggunaan sumber daya dan kekuatan ekonomi.

Mengingat pentingnya senjata api sebagai bagian dari wibawa negara, harus diperhatikan, pemberian izin penggunaan senjata api kepada siapa pun, mengandung nilai pemberian atribut kekuasaan. Menyandang senjata identik dengan bangkitnya kepercayaan diri dan ”status tersendiri” yang sewaktu-waktu dapat berubah jadi arogansi. Perlu mekanisme kontrol yang dinamis terhadap semua jenis senjata itu. Salah satu negara yang memiliki aturan ketat mengenai senjata api adalah Jepang. Kebijakan tersebut dapat menekan kejahatan. Menurut data 1988, dari 51.000 tindak pidana kekerasan, hanya 250 yang melibatkan senjata api. Tahun 1991, korban pembunuhan dengan pistol 69 orang, tahun 1992 turun jadi 60 orang. Kenyataan ini berbanding terbalik dengan AS yang mengizinkan kepemilikan senjata api.

Seseorang yang memiliki senjata api cenderung berperilaku arogan, agresif, karena memiliki atribut kekuasaan. Kenyataan itu makin parah jika yang bersangkutan tak takut terhadap sanksi apa pun. Dalam masyarakat memang terdapat sejumlah orang yang tak takut sanksi apa pun, baik sosial maupun hukum. Tak jarang, penggunaan kekerasan dan perbuatan melanggar hukum justru merupakan budaya dan nilai yang tertanam erat sehingga jadi jalan keluar dalam menyelesaikan segala permasalahan.

Teori Freud menjelaskan, pada dasarnya manusia punya insting agresif atau insting kematian (death instinct). Insting agresif mendorong manusia menghancurkan manusia lain. Insting itu terbagi jadi laku agresif yang mengandung kebencian (hostile) dan yang memberikan kepuasan tertentu. Tingkah laku hostile ditandai kepuasan yang diperoleh karena lawan menderita, luka, atau sakit. Tingkah laku yang memberi kepuasan ditandai kepuasan akibat lawan gagal mencapai obyek yang diinginkan.

Pemicu perilaku

Selain adanya faktor pencetus berupa hak untuk memiliki dan menggunakan senjata, terutama senjata api, perilaku agresif juga dapat diakibatkan beberapa hal yang memiliki keterkaitan secara psikologis dan emosional. Secara normal, sebagaimana halnya polisi dan tentara, masyarakat umum yang punya senjata biasanya berani menggunakan karena alasan seperti merasa dilukai kehormatannya, diancam keselamatan jiwanya, dan dirampas haknya. Pada prinsipnya, orang berbeda-beda dalam melihat ancaman. Dalam hal ini Abraham Maslow menyatakan perasaan terancam menjadi stimulus dinamis reaksi lain (Maslow: 1970). Maka, insting agresif yang timbul merupakan naluri alamiah yang terdapat pada semua manusia. Pembedanya adalah reaksi tiap insan terhadap setiap tindakan negatif yang ditujukan kepada dirinya. Inilah yang dapat memicu penyimpangan apabila terdapat kesempatan dan kewenangan memiliki senjata api.


Sebenarnya, jika angka kejahatan begitu tinggi dan sulit dikontrol, izin penggunaan senjata api patut dipertimbangkan. Akan tetapi, apabila angka kejahatan relatif dalam ambang toleransi, izin penggunaan senjata api belum diperlukan. Dengan demikian, becermin pada pendapat Maslow bahwa reaksi individu terhadap tindakan negatif bersifat dinamis, apa pun alasan yang melatarbelakangi penembakan, ia tetap harus dapat sanksi sesuai hukum berlaku. Ke depan, pemberian izin senjata api sebaiknya diperketat dengan melarang kepemilikan senjata oleh warga sipil seperti di Jepang. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar