Kamis, 22 Agustus 2013

RUU Perindustrian

RUU Perindustrian
Alex Retraubun ;   Wakil Menteri Perindustrian
KOMPAS, 22 Agustus 2013


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, yang diinisiasi 29 tahun lalu, kini dirasakan sudah tak relevan untuk menciptakan industri nasional kita yang lebih berdaya saing ke depan.
Walau pertumbuhan industri cukup menggembirakan selama pemerintahan SBY-Boediono, ada sejumlah isu global yang potensial menekan daya saing jika tak diantisipasi melalui dukungan kebijakan nasional yang reformatif. Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 (MEA 2015), industri hijau, standardisasi produk industri, serta implementasi sejumlah perjanjian perdagangan bebas adalah contoh-contoh penekan dimaksud.

Sadar akan fakta di atas, Kementerian Perindustrian mulai menginisiasi pembahasan RUU Perindustrian dengan Komisi VI DPR sebagai pengganti UU No 5/1984 via rapat kerja pada akhir Mei lalu. Apa sebenarnya yang mendasari urgensi kelahiran RUU ini dan apa yang ingin dicapai dari pemberlakuannya?

Negara industri tangguh

Kita bermimpi menjadi negara industri baru yang tangguh pada 2025, menyaingi negara-negara tetangga di Asia, seperti Jepang dan Korea Selatan. Keinginan ini tidaklah mustahil dicapai jika melihat realitas yang ada sekarang. Keragaman dan kuantitas sumber daya alam, kecenderungan investasi di Indonesia oleh investor internasional, pertumbuhan ekonomi yang konsisten sesuai dengan target, serta pertumbuhan industri di atas pertumbuhan ekonomi nasional adalah ukuran-ukuran yang saling berpengaruh untuk mewujudkan mimpi kita jika dikelola dengan baik.

Ada empat alasan RUU ini diusulkan. Pertama, pasca-reformasi (utamanya otonomi daerah), sebagian urusan diserahkan ke daerah, termasuk urusan di bidang industri. Akibatnya, banyak peraturan daerah yang ditetapkan, tetapi bermasalah bagi pengembangan industri.

Kedua, era globalisasi dan liberalisasi berdampak perubahan sangat cepat dan meluas bagi perekonomian nasional ataupun internasional. Persaingan ketat merupakan dampak menonjol di sektor industri seiring dengan tuntutan pelestarian fungsi lingkungan, HAM, perlindungan hak kekayaan intelektual, serta perlindungan konsumen via produk yang aman, sehat, dan berstandar.

Ketiga, perlu pengoptimalan pemanfaatan sumber daya alam berdaya saing oleh industri nasional guna penciptaan nilai tambah sebesar-besarnya di dalam negeri. Keempat, perlu peningkatan peran dan keterlibatan langsung pemerintah dalam pengembangan industri nasional.

Keempat alasan di atas memiliki keterkaitan erat sehingga jika diatur akan berdampak positif terhadap industri nasional. Dampak tersebut terutama pada penguatan struktur industri, pengoptimalan pendayagunaan sumber daya, serta dorongan pembangunan industri ke seluruh wilayah dengan mengutamakan kepentingan nasional, kemandirian, dan berorientasi kerakyatan. Solusi terhadap existing problems terbagi habis sebagai substansi RUU ini.

Isu baru

Substansi industri yang diatur dalam RUU ini mencakup tujuh hal utama: pembangunan sumber daya, pembangunan infrastruktur, pemberdayaan, perizinan, investasi dan fasilitas, rencana induk industri nasional, serta pemerintahan di bidang industri dan peran masyarakat beserta pengawasan dan pengendalian. Namun, karena keterbatasan ruang, pembahasan dibatasi pada isu-isu tertentu saja.

Pengelolaan peluang dan realitas kinerja ekonomi menjadi prasyarat pencapaian negara industri baru yang diinginkan. Ada beberapa isu strategis yang menjadi ukuran pengelolaan dalam konteks ini.
Pertama, perwilayahan industri. Isu ini bertujuan mendorong percepatan penyebaran dan pemerataan pembangunan industri ke seluruh wilayah NKRI yang memiliki posisi tawar pada sumber daya alam tertentu sekaligus untuk penguatan struktur industri nasional. Pelaksanaannya mencakup pengembangan wilayah pusat pertumbuhan industri, pengembangan kawasan peruntukan industri, pembangunan kawasan industri, serta pengembangan sentra industri kecil dan menengah. Semua dilakukan dengan pendekatan kluster berbasis komoditas tertentu.

Kebijakan ini dilatarbelakangi fakta bahwa 60 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia dikontribusikan dari Pulau Jawa karena memang 70 persen industri nasional tersebar di Jawa, 20 persen di Sumatera, dan sisanya di wilayah lain. Sementara wilayah dengan usaha industri minim juga jadi basis bahan baku tertentu. Contoh, pembangunan industri petrokimia di Teluk Bintuni, Papua Barat, patut mendapat dukungan nasional karena pembangunan industri ini berdampak terhadap substitusi nilai impor produk petrokimia sekitar 6,6 miliar dollar AS. Demikian halnya terhadap usaha industri garam di Nusa Tenggara Timur yang berdampak terhadap pencapaian swasembada garam.

Kedua, pengendalian sumber daya alam untuk industri. Untuk memperkuat industri nasional, sumber daya alam nasional, baik sebagai bahan baku, bahan penolong, energi, maupun air baku untuk industri, harus dikendalikan. Ini berarti eksportasi sumber daya alam ke depan tidak diperbolehkan, kecuali jika kebutuhan industri dalam negeri sudah terpenuhi.

Kebijakan ini bermuara pada penguatan program hilirisasi industri yang mengutamakan nilai tambah. Mengapa kebijakan ini diadakan? Fakta menunjukkan, walaupun kita memiliki sumber daya alam yang beragam dan berlimpah serta berkemampuan memperbarui dirinya dari sisi jumlah dan biomassa dalam konteks sumber daya alam hayati, kualitas dan kuantitas sumber daya tersebut menurun menurut waktu. Tentu sumber daya alam nonhayati seharusnya lebih ketat pengelolaannya karena sifat yang melekat pada dirinya sehingga kecepatan degradasi akibat eksploitasi relatif dapat diprediksi dengan pasti. Di sinilah esesensi hilirisasi industri demi penguatan pertumbuhan industri dan sekaligus pertumbuhan ekonomi ke depan.


Semoga kebijakan ini membawa manfaat untuk mewujudkan mimpi kita secara nasional ke depan dan mendapat dukungan positif dari anggota Dewan yang terhormat di Senayan dan diundangkan dalam waktu yang cepat. Amin. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar