Jumat, 23 Agustus 2013

Jaminan Kesehatan Terancam

Jaminan Kesehatan Terancam
Hasbullah Tabrany ;   Guru Besar Universitas Indonesia
KOMPAS, 23 Agustus 2013


Kebekuan sikap penentu anggaran di Indonesia dapat menggagalkan jaminan sosial dan pada akhirnya menghancurkan negara karena sebagai bangsa tidak dapat hidup sehat dan produktif.
Kesehatan dan produktivitas tidak diberikan Tuhan secara gratis. Negara-negara yang telah berbudaya dan mempunyai ekonomi menengah ke atas menghabiskan 6-18 persen dari produk domestik bruto (PDB) untuk kesehatan.
Negara paling boros adalah Amerika Serikat yang sistem kesehatannya didominasi asuransi komersial sehingga menghabiskan 18 persen PDB untuk kesehatan. Negara-negara Eropa Barat menghabiskan 8-10 persen PDB dengan kinerja yang lebih baik dari Amerika dengan mekanisme pendanaan asuransi sosial.
Belanja kesehatan negara besar yang baru tumbuh (emerging countries), seperti China dan India, mencapai 5 persen PDB. Adapun Indonesia dalam 40 tahun terakhir hanya membelanjakan 2-3 persen PDB. Pemerintah Indonesia sampai saat ini masih ”omdo” alias omong doang untuk mengutamakan kesehatan karena proporsi belanja pemerintah untuk kesehatan dalam 40 tahun terakhir masih sekitar 1 persen PDB.
Ketertinggalan Indonesia bertambah parah dengan salah urusnya sistem jaminan kesehatan yang tahun depan mulai dikoreksi. Indonesia telah menerapkan sistem asuransi sosial untuk memobilisasi dana jaminan kesehatan pegawai negeri sejak 45 tahun lalu. Jadi, Indonesia perlu waktu 50 tahun jika mampu menjamin seluruh penduduk tahun 2018, bandingkan dengan Korea Selatan yang hanya memerlukan 12 tahun.
Kesalahan masa lalu adalah menyerahkan penyelenggaraan asuransi sosial kepada PT (Persero). Kekeliruan itu dikoreksi dengan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Dalam UU SJSN diatur program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tahun 2004 yang baru akan dilaksanakan tahun 2014, tertunda 10 tahun.
UU SJSN mengatur JKN dan UU BPJS mengatur badan pengelolanya, tidak lagi PT Persero tetapi Badan Hukum Publik, sama dengan badan hukum pemerintahan dan badan hukum Bank Indonesia.
Mekanisme asuransi
Dalam mengatasi ketertinggalan, Indonesia memilih mekanisme asuransi sosial dalam pengumpulan dana, pilihan paling tepat untuk Indonesia saat ini. Sayang sebagian pihak, termasuk sebagian kecil akademisi, tidak utuh memahami konsep asuransi sosial. Mekanisme pajak seperti yang diterapkan di Inggris, Italia, Spanyol, Malaysia, dan Hongkong belum layak di Indonesia karena pembayar pajak baru sekitar 20 juta orang dari sekitar 110 juta angkatan kerja.
Mekanisme asuransi sosial mengharuskan jaminan dihitung secara benar untuk menghasilkan program. Hitungan para ahli menyimpulkan besaran iuran Rp 25.500 per orang per bulan untuk penduduk miskin dan tidak mampu. Namun, yang bayar pemerintah, bukan mereka. Besaran iuran tersebut untuk layanan di puskesmas dan rumah sakit pemerintah.
Iuran yang berbasis harga keekonomian dan diselenggarakan fasilitas kesehatan swasta sekitar Rp 50.000 per orang per bulan. Para ahli telah menghitung dan mengonversi iuran tersebut dengan upah pekerja Indonesia dan menghasilkan kecukupan iuran minimal 5 persen upah sebulan dengan batas upah perhitungan tiga kali Penghasilan Tidak Kena Pajak. Besaran iuran belum memperhitungkan koreksi rendahnya kualitas layanan kesehatan di Indonesia. Besaran tersebut harus terus ditingkatkan untuk mengoreksi ketertinggalan, karena Pemerintah Thailand misalnya, membayar iuran per orang per bulan Rp 80.000.
Apabila iuran ke BPJS sudah sampai harga keekonomian, dengan sendirinya maldistribusi dokter dan fasilitas kesehatan akan terkoreksi. Banyak pejabat dan tokoh bersikap naif dengan menyatakan bahwa ancaman JKN adalah maldistribusi fasilitas kesehatan. Maldistribusi fasilitas kesehatan memang kita alami sekarang akibat sistem kesehatan yang berbasis mekanisme pasar.
JKN akan mengoreksi hal itu dengan mewajibkan pemerintah membayar iuran ke BPJS berbasis hitungan per orang per bulan. Maka pembayaran iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI) oleh pemerintah ke BPJS merupakan suatu mekanisme aliran dana dari pusat ke daerah yang paling efektif. Penduduk yang dijamin ada di daerah, hak mereka dibayar pemerintah pusat. Jika sakit, mereka akan berobat di daerah. Maka pemda dan investor swasta bisa memanfaatkan peluang ini untuk membangun fasilitas kesehatan di daerah sehingga terjadi redistribusi tenaga dan fasilitas kesehatan.
Sayang konsep JKN belum banyak dipahami. Pemerintah di luar Kementerian Kesehatan masih terjebak pada belenggu dan paranoia fiskal. Bahkan dalam pertemuan di Komisi IX DPR, Wakil Menteri Keuangan dengan jelas menyatakan bahwa mengalokasikan 5 persen APBN untuk kesehatan sesuai perintah UU Kesehatan tidak mungkin. Jika perilaku ini masih terus dipertahankan, bangsa ini akan terus menjadi bangsa kuli.
Kondisi fiskal
Ruang fiskal Indonesia masih sangat besar. Rasio penerimaan pajak kita baru 13 persen PDB, negara menengah lain sudah 18-20 persen. Setelah menyediakan jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat, rasio pajak Thailand naik dari 13 persen menjadi 18 persen. Rakyat menyadari bahwa pemerintah peduli.
Jika pemerintah konsisten menggunakan penerimaan cukai rokok yang tahun 2012 mencapai Rp 77 triliun untuk iuran jaminan kesehatan, sesungguhnya tidak ada masalah fiskal. Namun, pemerintah hanya mengalokasikan Rp 20 triliun untuk 86,4 juta penduduk, dengan iuran sebesar Rp 19.225 per orang per bulan. Inggris, Taiwan, dan Australia melakukan hal itu. Konsep cukai rokok adalah konsep denda bagi orang yang mengonsumsi rokok yang membahayakan kesehatan. Maka seharusnya, penerimaan cukai rokok untuk mendanai kesehatan.
Sangat disayangkan bahwa pemerintah masih sangat pelit untuk rakyat kecil, padahal mereka penyumbang cukai rokok. Hasil penelitian Abdullah Ahsan dari Lembaga Demografi UI menunjukkan bahwa kelas menengah ke bawah mengutamakan belanja rokok setelah belanja beras. Bukan daging yang mencerdaskan atau pendidikan yang menambah pengetahuan.
Pelitnya pemerintah disambut oleh liciknya sebagian pengusaha yang meminta iuran JKN cukup 3 persen saja sampai batas maksimum upah Rp 2 juta. Sebagian tokoh pekerja juga merendahkan martabat dirinya dengan meminta agar pekerja tidak ikut mengiur. Iuran JKN yang dibayar pekerja, baik pegawai negeri maupun pegawai swasta, adalah untuk dirinya, istri atau suaminya, sampai tiga anak.
Di seluruh dunia, umumnya iuran jaminan sosial dibayar bersama separuh-separuh antara pekerja dan pemberi kerja. Itulah wujud solidaritas sosial, wujud tanggung jawab bersama, dan wujud kepedulian keluarga. Di Singapura, iuran untuk jaminan kesehatan yang besarnya 6-8 persen ditanggung 50:50 antara pekerja dan pemberi kerja. Di Korea Selatan juga demikian, dengan iuran maksimum dalam undang-undang 8 persen upah.
Kekeliruan penetapan iuran menjadi ancaman terbesar gagalnya JKN. Jika iuran dinegosiasikan dengan melobi menteri terkait atau mengikuti saja tuntutan pemberi kerja dan pekerja, JKN akan menjadi produk inferior. Pekerja akan sangat dirugikan karena jika iuran tidak memadai, tidak ada dokter dan rumah sakit swasta yang mau melayani peserta.
Banyak perusahaan yang selama ini mengalokasikan satu bulan gaji untuk belanja kesehatan karyawannya. Satu bulan gaji sama dengan 1/12 atau sekitar 8 persen gaji setahun. Jadi, bagi mereka iuran 6 persen pun sesungguhnya menguntungkan. Soal pembagian porsi pekerja dan pemberi kerja silakan dirundingkan oleh lembaga bipartit atau tripartit. Namun, besarnya iuran bukan untuk dirundingkan, melainkan dihitung kecukupannya.
Sejarah akan mencatat pejabat-pejabat yang memperjuangkan kualitas JKN dan pejabat-pejabat yang tidak peduli masa depan JKN dan bangsa. Jika kita sepakat tujuan menjamin seluruh penduduk untuk mencegah pemiskinan karena sakit dan meningkatkan produktivitas—sebagaimana dilakukan Malaysia, Thailand, Taiwan, Korea Selatan, dan negara maju lainnya sejak puluhan tahun lalu—anggaran harus dicari. Mekanismenya sudah diatur dalam UU SJSN, yaitu mekanisme asuransi sosial, bukan dari APBN. Sekali lagi, dana APBN hanya untuk membatu iuran penduduk yang miskin dan tidak mampu.
Pemerintah akan ditantang untuk mengurangi kemiskinan dan memperbanyak lapangan kerja di sektor formal. Semakin sedikit yang miskin dan semakin banyak lapangan kerja formal, semakin sedikit kewajiban pemerintah membayar.
Sistem jaminan sosial adalah darah segar pembangunan, tetapi ditelantarkan selama 10 tahun dan sampai kini pun belum tampak gempitanya. Ini karena jaminan sosial yang berbasis iuran wajib (SJSN) yang di negara lain diperlakukan sebagai berlian 100 karat (sangat berharga), di Indonesia diperlakukan sebagai barang karatan.
Tengok saja sosialisasi SJSN. Berapa dana yang dikucurkan pemerintah dan calon BPJS (PT Askes dan PT Jamsostek)? Nyaris tak terdengar. Padahal, sosialisasi besar-besaran (pemasaran sosial) adalah investasi yang sangat efektif dan efisien.

Apabila pemerintah menganggarkan
Rp 1 triliun untuk sosialisasi SJSN, sehingga SJSN dipahami lebih dari Keluarga Berencana pada zaman Pak Harto, tiap tahun Dana Amanat (dana jaminan sosial) yang terkumpul dapat mencapai Rp 100 triliun. Suatu nilai yang cukup besar untuk membuka lapangan pekerjaan baru. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar