|
TERTANGKAP tangannya Kepala SKK
Migas, yang diduga menerima uang suap dari Kernel
Oil Pte Limited (KOPL), oleh KPK merupakan bukti mutakhir bahwa sistem tata
kelola migas nasional saat ini merupakan salah satu sistem tata kelola migas
yang terburuk di dunia. Itu bahkan merupakan yang terburuk untuk kawasan Asia
Oceania seperti yang disebutkan Fraser Institute
Canada dalam laporannya berjudul Global
Petroleum Report berturut-turut untuk 2010, 2011, dan 2012.
Di samping sistem tata kelola migas di Indonesia lebih buruk
daripada negara tetangga seperti Timor Leste, Papua Nugini, Filipina, Malaysia,
Brunei, Australia, dan Selandia Baru, juga sistem tata kelola di bawah UU Migas
No 22/2001 itu sudah terbukti melanggar konstitusi dan merugikan negara secara
finansial. Pasalnya, potensi penerimaan negara dari sektor migas banyak
tersedot oleh para pemburu rente baik perorangan pejabat pemegang otoritas
berikut kelompoknya maupun oleh kerja sama/kongkalikong dari jaringan banyak
orang/perusahaan yang sering disebut sebagai `mafia migas'.
Sistem tata kelola saat ini melanggar konstitusi karena
Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mencabut 17 pasal dari UU Migas dan sekaligus
membubarkan BP Migas sebagai lembaga pengelola. Sama seperti BP Migas, lembaga
penggantinya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi (SKK Migas), hanya `ganti baju' dengan orang, cara kerja, dan logo yang
sama, ternyata tetap merupakan lembaga pemerintah nonbisnis (bukan perusahaan
migas negara) sehingga tidak bisa menjual sendiri migas bagian negara yang
berasal dari kontraktor dan harus menunjuk pihak ketiga.
Pengelolaan dengan model BP Migas/SKK Migas itu sangat tidak
efisien dan merugikan negara sehingga mustahil tujuan ayat 3 Pasal 33 UUD 1945
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bisa dicapai. Di samping tidak bisa
menjual sendiri migas bagian negara sehingga harus menunjuk pihak ketiga,
lembaga itu juga tidak bisa meneruskan pengoperasian lapangan/blok migas yang
sedang berproduksi yang akan selesai kontrak dengan pihak asing/ swasta.
Akibatnya pada lapangan/blok yang mestinya kembali ke negara 100% sehingga keuntungannya
tidak dibagi dengan pihak kontraktor/ dengan pihak kontraktor pemburu rente
akhirnya timbul ruang untuk `merekayasa' agar kontrak diperpanjang.
Persoalan kontrak
Contoh yang paling mutakhir ialah proses perpanjangan
kontrak Blok Mahakam yang akan selesai kontrak 2017 setelah dioperasikan
kontraktor asing selama 50 tahun. Kepala SKK Migas (sebelum tertangkap tangan
karena diduga menerima suap) selalu melontarkan `pembohongan publik' dengan
mengatakan Blok Mahakam kalau tidak diperpanjang ke kontraktor asing,
produksinya akan terhenti/terganggu sehingga negara akan rugi besar bila
kontrak tidak diperpanjang.
Argumentasi Kepala SKK Migas itu sulit diterima mengingat
sekitar 95% dari karyawan Blok Mahakam merupakan orang Indonesia yang sudah
terbiasa/terlatih mengoperasikan produksi Blok Mahakam. Kalau Blok Mahakam
kembali ke pangkuan RI (tidak diperpanjang), seluruh karyawan orang Indonesia
secara otomatis akan menjadi karyawan Pertamina. Itu yang akan menjamin bahwa
produksi Blok Mahakam akan terus berlanjut meskipun kontraknya diputus.
Terlebih Pertamina sejak lebih lima tahun yang lalu sudah
meminta kepada BP Migas/SKK Migas dan pemerintah agar Blok Mahakam diserahkan
mereka pasca-2017. Anehnya, meski Pertamina sudah terbukti mampu mengoperasikan
lapangan produksi lepas pantai (offshore
NW Java dan offshore West Madura),
tetap saja Kepala SKK Migas di ruang publik melontarkan argumentasi yang
melecehkan anak bangsa bahwa Pertamina tidak mampu secara teknologi dan
pendanaan menangani Blok Mahakam. Mengingat nilai aset/cadangan Blok Mahakam
sangat besar, lebih dari Rp1.500 triliun karena merupakan lapangan gas terbesar
di Indonesia saat ini, nilai `sogokan' yang mungkin timbul pasti jauh di atas
nilai sogokan Kernel Oil yang `hanya' US$700 ribu. Karena itu, seyogianya KPK
tidak hanya menangani perkara `sogokan tangkap tangan bernilai US$700 ribu',
tapi juga perlu segera aktif mengantisipasi kemungkinan adanya sogokan dalam
proses perpanjangan Blok Mahakam.
Tak ayal lagi, dengan l sistem saat ini, negara sas ngat
dirugikan. Meskipun prosedur penunjukan penjual l migas milik negara melewati t
proses `tender' atau proses perpanjangan/pergantian kontraktor juga lewat
`tender', para pemenang tender pasti akan mengambil/mengeruk keuntungan yang
berasal dari potensi penerimaan negara.
Itu sesuatu yang tidak perlu terjadi jika minyak milik
negara dijual sendiri oleh negara (melalui perusahaan negara) langsung ke
pemakai (end user) tanpa lewat trader/broker dan juga blok produksi
yang selesai kontrak langsung diambil alih oleh negara (perusahaan negara).
Dengan demikian, hasil penjualan/ekspor migas milik negara dan hasil produksi
migas dari lapangan/blok produksi yang sudah selesai kontrak bisa maksimal 100%
masuk ke kas negara tanpa harus dibagi dengan pihak lain/pemburu rente/'mafia
migas', sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945, pengelolaan migas bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Fakta bahwa Kernel Oil bersedia menggelontorkan fulus hingga
sekitar US$700 ribu agar bisa `ditunjuk' untuk menjual minyak milik negara ke
luar negeri menunjukkan keuntungan yang bisa diraup para trader/perantara dari
satu kali penunjukan pastilah jauh lebih besar daripada nilai sogokan. Semakin
besar volume minyak yang diekspor melalui pihak ketiga itu, makin besar pula
potensi penerimaan negara yang tersedot oleh para pemburu rente/'mafia migas'
itu.
Dari lifting minyak mentah sekitar 840 ribu barel per hari
(bph) saat ini, minyak mentah bagian negara sekitar 500 ribu bph. Apabila
seluruh minyak bagian negara ini diolah di kilang BBM Pertamina, yang bisa
diekspor praktis 0 (nol). Namun, karena tidak semua minyak tersebut sesuai l
persis dengan spesifikasi minyak mentah yang dibutuh kan kilang Pertamina, akan
terdapat sisa minyak mentah milik negara yang bisa diekspor. Di sini peluang terjadinya
permainan (korupsi/sogokan) timbul.
Peluang trader
Penentuan jumlah minyak mentah bagian negara yang bisa
diekspor itu juga rawan dimanipulasi jaringan `mafia migas' dengan dua tujuan
sekaligus, yakni pertama memperbesar jumlah minyak mentah bagian negara yang
bisa diekspor dengan alasan untuk memperoleh devisa. Dengan demikian, lahan
beroperasinya para trader yang bergerak di sisi ekspor menjadi lebih besar. Hal
itu berarti potensi tersedotnya uang negara (potensi penerimaan migas dalam
APBN) oleh `mafia migas' semakin besar.
Tujuan kedua dari manipulasi tersebut ialah sekaligus untuk
memperbesar volume impor minyak mentah untuk keperluan BBM dalam negeri yang
akan memperbesar lahan beroperasinya para trader yang bergerak di sisi impor.
Hal itu berarti potensi tersedotnya uang negara terjadi dengan semakin
membengkaknya biaya pokok/subsidi BBM.
Sebenarnya, `mafia migas' yang bergerak di sisi impor migas
jauh lebih dahsyat yang selama ini tidak/kurang tersentuh oleh BPK dan KPK
karena tempat kedudukan mereka umumnya di Singapura mes kipun pemilik mereka
orang Indonesia. Jumlah minyak mentah dan BBM yang diimpor saat ini sekitar 800
ribu bph dengan nilai impor sekitar US$45 miliar (termasuk impor elpiji). Mekanisme
impor migas yang dilakukan melalui pihak ketiga/trader itu, meskipun lewat
proses `tender', sangat tidak efisien dan merugikan negara karena para trader
itu bukanlah produsen.
Cara impor yang efisien dan bisa menutup peluang `mafia
migas' menyedot uang negara ialah dengan melakukan impor/beli langsung dari
produsen. Tidak ada alasan bagi produsen minyak mentah dan BBM untuk `memaksa'
Pertamina harus beli lewat pihak ketiga/trader, meskipun trader tersebut anak
perusahaan (trading arms) dari
produsen minyak. `Pemaksaan' beli minyak mentah dan BBM harus lewat trader
sejatinya bertentangan dengan WTO karena tujuan perdagangan dunia ialah
efisiensi ekonomi.
Peran KPK
Untuk mengurangi tersedotnya uang negara oleh para pemburu
rente/'mafia migas', KPK perlu didorong untuk membongkar semua praktik kotor
selama ini di sektor migas nasional, baik yang terkait dengan permainan dalam
penunjukan trader yang melakukan ekspor/penjualan migas bagian negara,
permainan dalam rangka persetujuan atas pembayaran cost recovery, dengan central
point di SKK Migas dan pemerintah. Juga KPK didorong untuk masuk ke sisi
impor migas dengan central point di Pertamina dan pemerintah.
Secara konsepsional, harus dilakukan perubahan dan restorasi
atas sistem tata kelola migas nasional yang saat ini didasarkan atas UU Migas
No 22/2001 yang sudah terbukti melanggar konstitusi dan merugikan negara secara
finansial. Itu bisa dilakukan pemerintahan saat ini misalnya dengan
mengeluarkan perppu mencabut UU Migas No 22/2001 dan memberlakukan kembali UU
No 8/1971 yang isempurnakan dan meli kuidasi SKK Migas ke Pertamina dan
melikuidasi BPH Migas ke Ditjen Migas agar konstitusional dan efisien/simpel.
Bila pemerintahan saat ini lebih memilih status quo dengan mempertahankan kondisi
`sementara' hingga adanya UU Migas baru, kesempatan terpulang kepada rakyat
untuk memilih pemimpin (dan legislator) dalam Pemilu 2014 yang memahami
industri migas dan punya keberanian untuk mengembalikan sistem tata kelola
sesuai Pasal 33 UUD 1945 sehingga terbuka peluang untuk mengoptimalkan kekayaan
migas (dan tambang) guna mempercepat terjadinya pertumbuhan ekonomi double digit. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar