Senin, 19 Agustus 2013

Mafia Migas dan Sistem Perminyakan Nasional

Mafia Migas dan Sistem Perminyakan Nasional
Kurtubi ;   Pengajar Pascasarjana FEUI dan Paramadina,
 Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES)
MEDIA INDONESIA, 19 Agustus 2013

TERTANGKAP tangannya Kepala SKK Migas, yang diduga menerima uang suap dari Kernel Oil Pte Limited (KOPL), oleh KPK merupakan bukti mutakhir bahwa sistem tata kelola migas nasional saat ini merupakan salah satu sistem tata kelola migas yang terburuk di dunia. Itu bahkan merupakan yang terburuk untuk kawasan Asia Oceania seperti yang disebutkan Fraser Institute Canada dalam laporannya berjudul Global Petroleum Report berturut-turut untuk 2010, 2011, dan 2012.

Di samping sistem tata kelola migas di Indonesia lebih buruk daripada negara tetangga seperti Timor Leste, Papua Nugini, Filipina, Malaysia, Brunei, Australia, dan Selandia Baru, juga sistem tata kelola di bawah UU Migas No 22/2001 itu sudah terbukti melanggar konstitusi dan merugikan negara secara finansial. Pasalnya, potensi penerimaan negara dari sektor migas banyak tersedot oleh para pemburu rente baik perorangan pejabat pemegang otoritas berikut kelompoknya maupun oleh kerja sama/kongkalikong dari jaringan banyak orang/perusahaan yang sering disebut sebagai `mafia migas'.

Sistem tata kelola saat ini melanggar konstitusi karena Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mencabut 17 pasal dari UU Migas dan sekaligus membubarkan BP Migas sebagai lembaga pengelola. Sama seperti BP Migas, lembaga penggantinya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), hanya `ganti baju' dengan orang, cara kerja, dan logo yang sama, ternyata tetap merupakan lembaga pemerintah nonbisnis (bukan perusahaan migas negara) sehingga tidak bisa menjual sendiri migas bagian negara yang berasal dari kontraktor dan harus menunjuk pihak ketiga.

Pengelolaan dengan model BP Migas/SKK Migas itu sangat tidak efisien dan merugikan negara sehingga mustahil tujuan ayat 3 Pasal 33 UUD 1945 untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bisa dicapai. Di samping tidak bisa menjual sendiri migas bagian negara sehingga harus menunjuk pihak ketiga, lembaga itu juga tidak bisa meneruskan pengoperasian lapangan/blok migas yang sedang berproduksi yang akan selesai kontrak dengan pihak asing/ swasta. Akibatnya pada lapangan/blok yang mestinya kembali ke negara 100% sehingga keuntungannya tidak dibagi dengan pihak kontraktor/ dengan pihak kontraktor pemburu rente akhirnya timbul ruang untuk `merekayasa' agar kontrak diperpanjang.

Persoalan kontrak

Contoh yang paling mutakhir ialah proses perpanjangan kontrak Blok Mahakam yang akan selesai kontrak 2017 setelah dioperasikan kontraktor asing selama 50 tahun. Kepala SKK Migas (sebelum tertangkap tangan karena diduga menerima suap) selalu melontarkan `pembohongan publik' dengan mengatakan Blok Mahakam kalau tidak diperpanjang ke kontraktor asing, produksinya akan terhenti/terganggu sehingga negara akan rugi besar bila kontrak tidak diperpanjang.

Argumentasi Kepala SKK Migas itu sulit diterima mengingat sekitar 95% dari karyawan Blok Mahakam merupakan orang Indonesia yang sudah terbiasa/terlatih mengoperasikan produksi Blok Mahakam. Kalau Blok Mahakam kembali ke pangkuan RI (tidak diperpanjang), seluruh karyawan orang Indonesia secara otomatis akan menjadi karyawan Pertamina. Itu yang akan menjamin bahwa produksi Blok Mahakam akan terus berlanjut meskipun kontraknya diputus.

Terlebih Pertamina sejak lebih lima tahun yang lalu sudah meminta kepada BP Migas/SKK Migas dan pemerintah agar Blok Mahakam diserahkan mereka pasca-2017. Anehnya, meski Pertamina sudah terbukti mampu mengoperasikan lapangan produksi lepas pantai (offshore NW Java dan offshore West Madura), tetap saja Kepala SKK Migas di ruang publik melontarkan argumentasi yang melecehkan anak bangsa bahwa Pertamina tidak mampu secara teknologi dan pendanaan menangani Blok Mahakam. Mengingat nilai aset/cadangan Blok Mahakam sangat besar, lebih dari Rp1.500 triliun karena merupakan lapangan gas terbesar di Indonesia saat ini, nilai `sogokan' yang mungkin timbul pasti jauh di atas nilai sogokan Kernel Oil yang `hanya' US$700 ribu. Karena itu, seyogianya KPK tidak hanya menangani perkara `sogokan tangkap tangan bernilai US$700 ribu', tapi juga perlu segera aktif mengantisipasi kemungkinan adanya sogokan dalam proses perpanjangan Blok Mahakam.

Tak ayal lagi, dengan l sistem saat ini, negara sas ngat dirugikan. Meskipun prosedur penunjukan penjual l migas milik negara melewati t proses `tender' atau proses perpanjangan/pergantian kontraktor juga lewat `tender', para pemenang tender pasti akan mengambil/mengeruk keuntungan yang berasal dari potensi penerimaan negara.

Itu sesuatu yang tidak perlu terjadi jika minyak milik negara dijual sendiri oleh negara (melalui perusahaan negara) langsung ke pemakai (end user) tanpa lewat trader/broker dan juga blok produksi yang selesai kontrak langsung diambil alih oleh negara (perusahaan negara). Dengan demikian, hasil penjualan/ekspor migas milik negara dan hasil produksi migas dari lapangan/blok produksi yang sudah selesai kontrak bisa maksimal 100% masuk ke kas negara tanpa harus dibagi dengan pihak lain/pemburu rente/'mafia migas', sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945, pengelolaan migas bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Fakta bahwa Kernel Oil bersedia menggelontorkan fulus hingga sekitar US$700 ribu agar bisa `ditunjuk' untuk menjual minyak milik negara ke luar negeri menunjukkan keuntungan yang bisa diraup para trader/perantara dari satu kali penunjukan pastilah jauh lebih besar daripada nilai sogokan. Semakin besar volume minyak yang diekspor melalui pihak ketiga itu, makin besar pula potensi penerimaan negara yang tersedot oleh para pemburu rente/'mafia migas' itu.

Dari lifting minyak mentah sekitar 840 ribu barel per hari (bph) saat ini, minyak mentah bagian negara sekitar 500 ribu bph. Apabila seluruh minyak bagian negara ini diolah di kilang BBM Pertamina, yang bisa diekspor praktis 0 (nol). Namun, karena tidak semua minyak tersebut sesuai l persis dengan spesifikasi minyak mentah yang dibutuh kan kilang Pertamina, akan terdapat sisa minyak mentah milik negara yang bisa diekspor. Di sini peluang terjadinya permainan (korupsi/sogokan) timbul.

Peluang trader

Penentuan jumlah minyak mentah bagian negara yang bisa diekspor itu juga rawan dimanipulasi jaringan `mafia migas' dengan dua tujuan sekaligus, yakni pertama memperbesar jumlah minyak mentah bagian negara yang bisa diekspor dengan alasan untuk memperoleh devisa. Dengan demikian, lahan beroperasinya para trader yang bergerak di sisi ekspor menjadi lebih besar. Hal itu berarti potensi tersedotnya uang negara (potensi penerimaan migas dalam APBN) oleh `mafia migas' semakin besar.

Tujuan kedua dari manipulasi tersebut ialah sekaligus untuk memperbesar volume impor minyak mentah untuk keperluan BBM dalam negeri yang akan memperbesar lahan beroperasinya para trader yang bergerak di sisi impor. Hal itu berarti potensi tersedotnya uang negara terjadi dengan semakin membengkaknya biaya pokok/subsidi BBM.

Sebenarnya, `mafia migas' yang bergerak di sisi impor migas jauh lebih dahsyat yang selama ini tidak/kurang tersentuh oleh BPK dan KPK karena tempat kedudukan mereka umumnya di Singapura mes kipun pemilik mereka orang Indonesia. Jumlah minyak mentah dan BBM yang diimpor saat ini sekitar 800 ribu bph dengan nilai impor sekitar US$45 miliar (termasuk impor elpiji). Mekanisme impor migas yang dilakukan melalui pihak ketiga/trader itu, meskipun lewat proses `tender', sangat tidak efisien dan merugikan negara karena para trader itu bukanlah produsen.

Cara impor yang efisien dan bisa menutup peluang `mafia migas' menyedot uang negara ialah dengan melakukan impor/beli langsung dari produsen. Tidak ada alasan bagi produsen minyak mentah dan BBM untuk `memaksa' Pertamina harus beli lewat pihak ketiga/trader, meskipun trader tersebut anak perusahaan (trading arms) dari produsen minyak. `Pemaksaan' beli minyak mentah dan BBM harus lewat trader sejatinya bertentangan dengan WTO karena tujuan perdagangan dunia ialah efisiensi ekonomi.

Peran KPK

Untuk mengurangi tersedotnya uang negara oleh para pemburu rente/'mafia migas', KPK perlu didorong untuk membongkar semua praktik kotor selama ini di sektor migas nasional, baik yang terkait dengan permainan dalam penunjukan trader yang melakukan ekspor/penjualan migas bagian negara, permainan dalam rangka persetujuan atas pembayaran cost recovery, dengan central point di SKK Migas dan pemerintah. Juga KPK didorong untuk masuk ke sisi impor migas dengan central point di Pertamina dan pemerintah.

Secara konsepsional, harus dilakukan perubahan dan restorasi atas sistem tata kelola migas nasional yang saat ini didasarkan atas UU Migas No 22/2001 yang sudah terbukti melanggar konstitusi dan merugikan negara secara finansial. Itu bisa dilakukan pemerintahan saat ini misalnya dengan mengeluarkan perppu mencabut UU Migas No 22/2001 dan memberlakukan kembali UU No 8/1971 yang isempurnakan dan meli kuidasi SKK Migas ke Pertamina dan melikuidasi BPH Migas ke Ditjen Migas agar konstitusional dan efisien/simpel.


Bila pemerintahan saat ini lebih memilih status quo dengan mempertahankan kondisi `sementara' hingga adanya UU Migas baru, kesempatan terpulang kepada rakyat untuk memilih pemimpin (dan legislator) dalam Pemilu 2014 yang memahami industri migas dan punya keberanian untuk mengembalikan sistem tata kelola sesuai Pasal 33 UUD 1945 sehingga terbuka peluang untuk mengoptimalkan kekayaan migas (dan tambang) guna mempercepat terjadinya pertumbuhan ekonomi double digit. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar