|
Dalam puisi yang heroik, yang
setiap tahun mewarnai malam-malam perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus 1945,
puisi yang dimainkan sebagai drama, dan di sekolah-sekolah para murid merasa
bangga mementaskan puisi itu sebagai lakon peperangan melawan Belanda di atas
panggung, lalu ada yang roboh, darah mengalir dari perutnya yang terluka, dan
sambil meregang nyawa “pahlawan” kita itu masih bisa memperlihatkan pada kita
deritanya yang parah, seolah kita ikut menanggung rasa sakit sang pejuang yang
suaranya terdengar samar, dan patah-patah:
“Kami, yang kini… terbaring… antara Karawang… dan Bekasi… tak bisa berteriak.. merdeka… lagi…” Kemudian layar ditutup. Guru kesenian naik panggung, menyampaikan pujian pada anak-anak. Sesudah itu disusul guru bimbingan konseling, wali kelas, kepala sekolah, dan semua berduyun-duyun ke atas panggung yang terbatas.
Seksi dokumentasi yang sudah berjuang keras meminta dana untuk membeli film, sibuk mengatur posisi agar posisi di atas panggung tampak manis, dan kemudian :jepret”, “jepret”, “jepret”, dan seminggu kemudian kita mendengar kabar tentang film yang terbakar, dan foto yang tak sebiji pun jadi, dan kejengkelan para pemain yang merasa berhak diabadikan dalam kostum yang mengesankan sikap pejuang sejati itu. Tumpah dalam kata-kata dan sumpah serapah. Tapi anak-anak tetap anak-anak. Sesudah itu mereka bermain dan lupa akan foto yang tak jadi.
Di perpustakaan sekolah, ketika aroma kekaguman terhadap permainan bagus malam-malam yang lalu belum reda sepenuhnya, masih ada anak yang bergumam sendirian, sambil milang-miling mencari buku: “Kenang…, kenanglah kami”, Dan dia ingat guru bahasa Indonesia, dan nama penyair besar kita, Chairil Anwar, yang disebut aktif di medan tempur di zaman revolusi. Dia yang menggalakkan semangat para pejuang, dengan satu kalimat pendek lainnya: “Bung, ayoo Bung…” yang menjadi begitu terkenal.
Kini sekolah-sekolah sepi. Tak ada guru bahasa yang masih memiliki waktu mengajarkan puisi perjuangan itu sekadar buat mengingatkan bocah-bocah bahwa dulu itu ada yang namanya revolusi, yang mempertaruhkan apa saja, juga nyawa kita sendiri, demi kemerdekaan bangsa. Tak ada lagi guru bahasa atau guru kesenian yang masih punya waktu sedikit untuk mengajarkan cara bermain drama, dan mengajak murid-murid memainkan lakon revolusioner itu menjelang perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Tapi guru ekonomi masih bisa meneriakkan—meniru para pejabat dan menteri keuangan— bahwa ekonomi tumbuh, dan menjadi omong kosong paling menggelikan karena apa artinya ekonomi tumbuh bila kemiskinan berkembang biak dengan kecepatan pesawat angkasa luar, dan ketidakadilan merajalela, pengangguran melimpah ruah. Kita selalu tak tahu jawabnya, tapi kita anehnya bisa bangga mendengar pertumbuhan ekonomi yang hanya kata-kata itu. Di kampung-kampung, perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus 1945 tak lagi disertai gambar-gambar para pejuang berambut gondrong, dan bambu runcing yang merah darah di ujungnya.
Gardu-gardu sepi. Tidak ada lagi gapura di ganggang, yang dibangun khusus buat perayaan hari kemerdekaan. Bendera-bendera kertas, merah putih yang berkibar-kibar tidak kelihatan. Apa yang dulu disebut perayaan tingkat kampung, warga berjalan mengelilingi kampung, atau kelurahan, memamerkan hasil panen, dan menandakan rakyat berpartisipasi secara sukarela di dalam hari bersejarah itu, kini sudah tidak tampak lagi. Kampung sudah menjadi begitu sunyi.
Mungkin bahkan kosong. Penghuninya pergi jauh, ke rantau orang, di seberang laut, mencari rezeki, yang di negerinya tak ada lagi. Mereka menjadi TKI/TKW, yang disia-siakan di tanah yang tak mereka kenal. Di sana, bangsa kita itu dihina, dilecehkan dan diperlakukan bukan sebagai manusia merdeka, yang punya harkat dan jiwa merdeka. Katanya kita sudah merdeka? Mengapa mencari sandang pangan susahnya bukan main di negeri merdeka itu?
Mengapa bangsa dari suatu negeri merdeka, tak mampu berbuat baik untuk melindungi harkat kemerdekaannya di negeri asing? Mengapa pemerintah negara merdeka tak mampu melindungi warganya yang tersia-sia, dan dibikin seperti bukan manusia, di negeri orang? Bagaimana kita bisa mengakui arti kemerdekaan bangsa, jika pemerintahnya lebih mengabdi negara asing, bangsa asing dan segenap kepentingan asing, daripada mengabdi bangsa kita sendiri, dan kepentingan di dalam negeri sendiri?
Di hari yang disebut perayaan atas kemerdekaan kita, saya mengingatkan kembali watak pemerintah yang tak peduli pada kita. Presiden bicara mengenai pertumbuhan ekonomi. Apa artinya ekonomi tumbuh bila rakyat tak menikmatinya? Pidato boleh dibacakan, tapi suara itu akan lenyap ditiup angin ke seberang laun, dan tak mengganggu pendengaran kita. Apa artinya ekonomi tumbuh bila ketenteraman tidak tumbuh di dalam jiwa rakyat yang berhak memperoleh bagian dari pertumbuhan itu? Bagaimana arti ekonomi tumbuh bila kesejahteraan rakyat masih berupa kata-kata.
Rakyat sudah lama tahu, katakata tak enak dimakan. Kata-kata tak bisa membikin jiwa kita merasa nyaman. Katanya kita sudah merdeka. Di mana kemerdekaan itu? Mengapa petani garam tidak merdeka? Mengapa hasil kerja mereka tak diakui di negeri sendiri? Apa sebabnya, sejak zaman Mari Pangestu, yang lebih mengabdi bangsa asing itu, kita mengimpor garam Australia, memakmurkan bangsa Australia dan menyengsarakan bangsanya sendiri? Apa orang seperti Mari Pangestu bukan bangsa Indonesia?
Dan mengapa kebijakan memakmurkan bangsa asing, dan menyengsarakan bangsa sendiri tak dihentikan? Katanya kita sudah merdeka? Mengapa jiwa begitu banyak pejabat dan begitu banyak kebijakan, terjajah habis, dan mereka mengabdi bangsa asing? Apakah pejabat juga sudah merdeka? Katanya negeri kita ini sudah merdeka?
Kenapa pejabatnya belum? Kenapa kebijakannya masih merupakan kebijakan Negara terjajah? Lebih dari 21 peraturan perundang-undangan di negeri yang katanya sudah merdeka ini, isi, semangat dan tujuan utamanya memakmurkan bangsa asing dan mencekik leher bangsa kita sendiri. Apa arti kemerdekaan bangsa dan negara di sini? Yang terbaring antara Karawang dan Bekasi, yang bertaruh nyawa buat kemerdekaan, siapa kini yang masih bisa mengenang mereka? Katanya kita sudah merdeka.
Tapi pejabat-pejabat kita belum. Kebijakan mereka masih tetap kebijakan Negara yang berada di bawah kolonisasi bangsa asing. Kita terjajah. Kita masih bertaraf budak. Mungkin karena pejabat kita yang begitu sifatnya. Mungkin karena kebijakan masih menghamba, seolah kita hamba bagi bangsa-bangsa di negeri mana. Padahal, katanya kita sudah merdeka. ●
“Kami, yang kini… terbaring… antara Karawang… dan Bekasi… tak bisa berteriak.. merdeka… lagi…” Kemudian layar ditutup. Guru kesenian naik panggung, menyampaikan pujian pada anak-anak. Sesudah itu disusul guru bimbingan konseling, wali kelas, kepala sekolah, dan semua berduyun-duyun ke atas panggung yang terbatas.
Seksi dokumentasi yang sudah berjuang keras meminta dana untuk membeli film, sibuk mengatur posisi agar posisi di atas panggung tampak manis, dan kemudian :jepret”, “jepret”, “jepret”, dan seminggu kemudian kita mendengar kabar tentang film yang terbakar, dan foto yang tak sebiji pun jadi, dan kejengkelan para pemain yang merasa berhak diabadikan dalam kostum yang mengesankan sikap pejuang sejati itu. Tumpah dalam kata-kata dan sumpah serapah. Tapi anak-anak tetap anak-anak. Sesudah itu mereka bermain dan lupa akan foto yang tak jadi.
Di perpustakaan sekolah, ketika aroma kekaguman terhadap permainan bagus malam-malam yang lalu belum reda sepenuhnya, masih ada anak yang bergumam sendirian, sambil milang-miling mencari buku: “Kenang…, kenanglah kami”, Dan dia ingat guru bahasa Indonesia, dan nama penyair besar kita, Chairil Anwar, yang disebut aktif di medan tempur di zaman revolusi. Dia yang menggalakkan semangat para pejuang, dengan satu kalimat pendek lainnya: “Bung, ayoo Bung…” yang menjadi begitu terkenal.
Kini sekolah-sekolah sepi. Tak ada guru bahasa yang masih memiliki waktu mengajarkan puisi perjuangan itu sekadar buat mengingatkan bocah-bocah bahwa dulu itu ada yang namanya revolusi, yang mempertaruhkan apa saja, juga nyawa kita sendiri, demi kemerdekaan bangsa. Tak ada lagi guru bahasa atau guru kesenian yang masih punya waktu sedikit untuk mengajarkan cara bermain drama, dan mengajak murid-murid memainkan lakon revolusioner itu menjelang perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Tapi guru ekonomi masih bisa meneriakkan—meniru para pejabat dan menteri keuangan— bahwa ekonomi tumbuh, dan menjadi omong kosong paling menggelikan karena apa artinya ekonomi tumbuh bila kemiskinan berkembang biak dengan kecepatan pesawat angkasa luar, dan ketidakadilan merajalela, pengangguran melimpah ruah. Kita selalu tak tahu jawabnya, tapi kita anehnya bisa bangga mendengar pertumbuhan ekonomi yang hanya kata-kata itu. Di kampung-kampung, perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus 1945 tak lagi disertai gambar-gambar para pejuang berambut gondrong, dan bambu runcing yang merah darah di ujungnya.
Gardu-gardu sepi. Tidak ada lagi gapura di ganggang, yang dibangun khusus buat perayaan hari kemerdekaan. Bendera-bendera kertas, merah putih yang berkibar-kibar tidak kelihatan. Apa yang dulu disebut perayaan tingkat kampung, warga berjalan mengelilingi kampung, atau kelurahan, memamerkan hasil panen, dan menandakan rakyat berpartisipasi secara sukarela di dalam hari bersejarah itu, kini sudah tidak tampak lagi. Kampung sudah menjadi begitu sunyi.
Mungkin bahkan kosong. Penghuninya pergi jauh, ke rantau orang, di seberang laut, mencari rezeki, yang di negerinya tak ada lagi. Mereka menjadi TKI/TKW, yang disia-siakan di tanah yang tak mereka kenal. Di sana, bangsa kita itu dihina, dilecehkan dan diperlakukan bukan sebagai manusia merdeka, yang punya harkat dan jiwa merdeka. Katanya kita sudah merdeka? Mengapa mencari sandang pangan susahnya bukan main di negeri merdeka itu?
Mengapa bangsa dari suatu negeri merdeka, tak mampu berbuat baik untuk melindungi harkat kemerdekaannya di negeri asing? Mengapa pemerintah negara merdeka tak mampu melindungi warganya yang tersia-sia, dan dibikin seperti bukan manusia, di negeri orang? Bagaimana kita bisa mengakui arti kemerdekaan bangsa, jika pemerintahnya lebih mengabdi negara asing, bangsa asing dan segenap kepentingan asing, daripada mengabdi bangsa kita sendiri, dan kepentingan di dalam negeri sendiri?
Di hari yang disebut perayaan atas kemerdekaan kita, saya mengingatkan kembali watak pemerintah yang tak peduli pada kita. Presiden bicara mengenai pertumbuhan ekonomi. Apa artinya ekonomi tumbuh bila rakyat tak menikmatinya? Pidato boleh dibacakan, tapi suara itu akan lenyap ditiup angin ke seberang laun, dan tak mengganggu pendengaran kita. Apa artinya ekonomi tumbuh bila ketenteraman tidak tumbuh di dalam jiwa rakyat yang berhak memperoleh bagian dari pertumbuhan itu? Bagaimana arti ekonomi tumbuh bila kesejahteraan rakyat masih berupa kata-kata.
Rakyat sudah lama tahu, katakata tak enak dimakan. Kata-kata tak bisa membikin jiwa kita merasa nyaman. Katanya kita sudah merdeka. Di mana kemerdekaan itu? Mengapa petani garam tidak merdeka? Mengapa hasil kerja mereka tak diakui di negeri sendiri? Apa sebabnya, sejak zaman Mari Pangestu, yang lebih mengabdi bangsa asing itu, kita mengimpor garam Australia, memakmurkan bangsa Australia dan menyengsarakan bangsanya sendiri? Apa orang seperti Mari Pangestu bukan bangsa Indonesia?
Dan mengapa kebijakan memakmurkan bangsa asing, dan menyengsarakan bangsa sendiri tak dihentikan? Katanya kita sudah merdeka? Mengapa jiwa begitu banyak pejabat dan begitu banyak kebijakan, terjajah habis, dan mereka mengabdi bangsa asing? Apakah pejabat juga sudah merdeka? Katanya negeri kita ini sudah merdeka?
Kenapa pejabatnya belum? Kenapa kebijakannya masih merupakan kebijakan Negara terjajah? Lebih dari 21 peraturan perundang-undangan di negeri yang katanya sudah merdeka ini, isi, semangat dan tujuan utamanya memakmurkan bangsa asing dan mencekik leher bangsa kita sendiri. Apa arti kemerdekaan bangsa dan negara di sini? Yang terbaring antara Karawang dan Bekasi, yang bertaruh nyawa buat kemerdekaan, siapa kini yang masih bisa mengenang mereka? Katanya kita sudah merdeka.
Tapi pejabat-pejabat kita belum. Kebijakan mereka masih tetap kebijakan Negara yang berada di bawah kolonisasi bangsa asing. Kita terjajah. Kita masih bertaraf budak. Mungkin karena pejabat kita yang begitu sifatnya. Mungkin karena kebijakan masih menghamba, seolah kita hamba bagi bangsa-bangsa di negeri mana. Padahal, katanya kita sudah merdeka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar