|
”MASYARAKAT tanpa penjara adalah suatu
kondisi ideal yang sangat menguntungkan secara spiritual dan material.” Demikian
pernah diungkapkan Prof Hazairin, Menteri Dalam Negeri 1953-1955.
Gambaran ideal
yang terkesan utopis tersebut mengandaikan keadilan sosial dan kesejahteraan
telah terwujud, tetapi relevan kembali diketengahkan saat ini di tengah
hiruk-pikuk pengetatan remisi dan berbagai kerusuhan mulai dari Tanjung Gusta,
Medan; Lembaga Pemasyarakatan (LP) Batam; dan terakhir di LP Labuhan Ruku,
Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara.
Fenomena itu
bertali-temali dengan berbagai faktor yang selama ini boleh jadi terabaikan.
Pertama ada
kesan bahwa salah satu cara memerangi kejahatan adalah dengan penjara, artinya
seseorang yang bersalah harus dihukum penjara. Pandangan itu mendominasi hampir
seluruh ahli hukum kita terutama yang berpandangan positivistik.
Pidana penjara
adalah ketentuan hukum formal yang secara legalistik diatur dalam
undang-undang.
Dengan
demikian, tugas kita sekarang adalah melaksanakan undang-undang, dan tidak
melaksanakannya berarti melanggar undang-undang. Pandangan ini merupakan
warisan kolonial tanpa ada upaya mengkritisinya.
Dunia
internasional melalui PBB sebenarnya telah memberikan perhatian serius soal
pidana penjara ini. Banyak pula negara yang telah memperbarui
sistem penitensier-nya masing-masing, tidak terkecuali Indonesia. Reglement Kepenjaraan yang
menyertai KUHP, setelah melalui perdebatan panjang, berbuah Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1995.
Apakah konsep
tentang penjara berubah total? Secara letterlijk,
sistem penjara telah diganti dengan sistem pemasyarakatan. Namun, perlakuan
terhadap narapidana (treatment of
prisoners) hampir tidak berubah.
Pemegang
kebijaksanaan belum melihat LP sebagai tempat mencetak manusia yang berguna.
Bahkan, LP menjadi sarang berkembangnya berbagai kejahatan termasuk produksi
dan perdagangan narkoba. Ironisnya baik oknum sipir maupun pejabat ikut
terlibat.
Individualisasi pidana
Kriminolog
seperti Bernes dan Teeters memandang bahwa penjara sesungguhnya merupakan
tempat pencemaran (a place of
contamination) karena bercampurnya penjahat kebiasaan (habitual criminal) dengan pendatang baru di dunia kejahatan (novices in crime) sehingga orang-orang
baik pun ketika masuk penjara akan tertular menjadi penjahat pula. Maka gerakan
untuk memanusiawikan rumah-rumah penjara terus diupayakan.
Clemmer
menyatakan bahwa di dalam lingkungan penjara telah berkembang subkultur
narapidana (inmate subculture), yang
dalam skala makro berkembang menjadi budaya penjara (prisonisasi) dan stigmatisasi.
Melalui
prisonisasi, individu-individu lewat pergaulan yang intens akan mempelajari
modus-modus kejahatan dan nilai-nilai yang dipertahankan oleh kelompok itu. Ini
yang berpotensi menjadikan orang baik menjadi jahat dan yang jahat menjadi
lebih jahat lagi.
Aliran
Neo-Klasik yang memandang pidana bukan merupakan pembalasan melainkan bersifat
reformatif, rehabilitatif, dan perlindungan masyarakat telah menyimpulkan bahwa
”different criminal have different need”
sehingga prinsip individualisasi pidana merupakan suatu keniscayaan.
KUHP pun kini
masih didominasi oleh kepercayaan tentang pidana ”yang menjerakan”. Maka yang
terjadi adalah ”let punishment fit the
crime”, pidana yang hanya berorientasi kepada perbuatan.
Hukum pidana
kemudian mendapat julukan bloedwark:
Utang darah dibayar darah, utang mata dibayar mata, dan seterusnya, yang
mencerminkan kebiadaban hukum pidana kala itu (daad strafrecht).
Aliran modern (dader strafrecht) ataupun neo-klasik (daad-daderstrafrecht) telah meninggalkan
asumsi aliran klasik dan menggantinya dengan konsep individualisasi pidana.
Hukuman tidak
hanya berorientasi kepada perbuatan, tetapi juga kepada pelaku dan bahkan
kedua-duanya, yang kemudian dipadatkan dengan kalimat pemasyarakatan.
Tugas negara
adalah membimbing pelaku kejahatan agar menyadari kesalahan dan kembali
mengindahkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Fungsi LP adalah
memulihkan kepercayaan pelanggar hukum akan nilai-nilai sosial yang pernah ia
langgar.
Perubahan radikal
Untuk
merealisasikan tujuan ideal pembinaan narapidana dibutuhkan suatu kultur hukum
yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan/humanisme. Artinya tugas
tersebut tidak cukup hanya dikembalikan pada teks peraturan saja.
Kontroversi
seputar PP 99 tentang pengetatan pemberian remisi terhadap terpidana korupsi,
terorisme, dan narkoba harus dikembalikan kepada sikap kita tentang penilaian
seberapa jauh kejahatan tersebut dipandang sebagai kejahatan serius.
Bukan kejahatan
yang dilakukan oleh orang-orang yang secara politik dan finansial mempunyai
kekuasaan. Wajar kalau terhadap mereka harus diperlakukan selektif.
Perubahan
radikal tersebut salah satunya untuk memaknai konsep individualisasi pidana
dan treatment of offenders sesuai
dengan paham neo-klasik. Perubahan radikal itu bukan dengan memperbanyak
penjara, tetapi bagaimana social hygiene terbangun secara merata dan
berkeadilan.
Negara
kesejahteraan bukan sekadar wacana, tetapi harus direalisasikan. Fungsi
pengayoman hukum harus dikedepankan, bukan pemidanaan belaka. Dan, semua itu
adalah tugas pemerintah dan seluruh bangsa ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar