|
Di
hari mulia mengenang Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2013, berembus berita Jokowi
menyambut gagasan untuk mengganti Jalan Merdeka Utara menjadi Jalan Soekarno
dan Jalan Mohammad Hatta sebagai ganti Jalan Merdeka Selatan.
Sebelumnya usulan penggantian nama jalan itu dilemparkan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan beberapa tokoh lain. Setelah Presiden memberi gelar pahlawan nasional kepada Soekarno dan Hatta pada November 2012, apakah tindakan Gubernur Jakarta ini juga bagian dari proyek simbolisme politik? Soekarno adalah tokoh yang sangat penting dalam sejarah Jakarta.
Tiada tokoh lain yang mengambil peran luar biasa penting dalam mengonsepkan sekaligus mewujudkan Jakarta modern seperti Soekarno. Proyek pembangunan kota modern Jakarta gagasan Soekarno memang dihentikan oleh peristiwa G30S 1965, tetapi konsepnya dilanjutkan oleh Ali Sadikin. ”Ali Sadikin adalah kado terbaik perpisahan dari Soekarno,” tulis sejarawan kota Jakarta yang paling serius, Susan Blackburn dalam bukunya Jakarta: A History.
Pernyataan ini menegaskan betapa Jakarta-Soekarno-Ali Sadikin adalah satu kesatuan. Bukankah di dalam bagian akhir biografinya yang ditulis Ramadhan KH dinyatakan oleh Ali Sadikin, ”kata-kata Bung Karno pada pelantikan saya mengiang di telinga, dit heft Ali Sadikin gedaan (ini yang telah dilakukan Ali Sadikin) itu memang telah memacu saya.”
Dalam pidato pelantikan Ali Sadikin sebagai gubernur Jakarta, 28 April 1966, Soekarno berucap, ”Cita-citaku mengenai kota Jakarta akan saya supplant kepadamu, supplant sebagian daripada aku punya kalbu ini, seperti saya iris, saya masukkan dalam kalbumu, Ali Sadikin.” Kata-kata ini menjelaskan betapa Soekarno memang punya mimpi terhadap Jakarta. Seperti dinyatakan oleh penulis biografi Soekarno yang paling ambisius, Bob Hering, Putra Sang Fajar itu memang bukan saja ”arsitek bangsa Indonesia” tetapi juga seorang ”arsitek Ibu Kota Jakarta”.
Kegemilangan peran Soekarno sebagai nasionalis, liberator, proklamator adalah hitungan untuk menempatkannya sebagai ”arsitek bangsa Indonesia”. Ia gemilang bukan saja karena yang paling banyak menelurkan warisan intelektual yang menjadi klasik untuk memahami raison d’etre atau alasan menjadi Indonesia. Lebih jauh lagi dirinya telah menjadi aktor politik gerakan kebangsaan sejak sekolah menengah dan tumbuh sebagai simpul sejarah pemikiran serta gerakan kebangsaan.
Sampai di sini mungkin berlebihan, tetapi rasanya juga tepat jika antropolog terkemuka Clifford Geertz menyatakan ”Soekarno adalah Indonesia”. Sedangkan kegemilangan Soekarno sebagai ”arsitek Ibu Kota Jakarta” dapatlah dilihat dari bagaimana Soekarno, begitu Indonesia merdeka, imajinasinya langsung terbang tinggi untuk bertindak sebagai seorang arsitek sekaligus—pinjam ungkapan Angus McIntyre—as an artist.
Secara serius mulai akhir 1950-an dia yang lulusan Technische Hoogheschool di Bandung (ITB) telah membentuk ruang kota Jakarta. Ia menggebrak Jakarta dengan konsep dan bahasa arsitektur modernis—a radical break with tradition—untuk menciptakan monumentalis Jakarta sebagai simbol era baru kemerdekaan, nasionalisme dan revolusi. Tepat jika Roosseno Soerjohadikoesoemo menyatakan dalam pidatonya di hadapan Senat ITB ketika memberi gelar doctor honoris causa kepada Soekarno, ”pembangunan gedung-gedung yang monumental, pembuatan jembatan yang efisien dan artistik, bangunan-bangunan lain yang vital mendapat perhatian istimewa. Bukan perhatian dari seorang kepala negara semata-mata, melainkan perhatian dari seorang ahli yang mahir dengan daya cipta dan imagination yang besar sebagai arsitek bangsa.” Soekarno memanifestasikan semangat kebangsaan itu dalam banyak monumen, patung sebagai seni di ruang publik sekaligus penanda yang penting bagi kota Jakarta.
Tetapi, setelah kejatuhannya pada 1965 sebagaimana pemikirannya dianggap sebagai ”ayat-ayat setan” dan proyek arsitektur ruang kotanya di Jakarta diejek sebagai ”proyek mercusuar”, maka ia dalam masa yang panjang Orde Baru telah dianggap ”pengkhianat bangsa”. Ia didekati dalam suatu politik ”de-Soekarnoisasi”, semacam siasat mengerdilkan jasa dan peran historisnya. Apalagi beralasan konsepsi dwitunggal proklamator, Soeharto melakukan pelecehan dengan menyeretnyeret Hatta sebagai koproklamator, padahal hanya dijadikan bemper ketakutannya pada ”tak mati-matinya” Soekarno.
Sejak Soekarno meninggal, 21 Juni 1970, terus saja Soeharto merasa dihantui roh Soekarno yang kian kuat dan membahayakan kekuasaanya. Soeharto telah mencoba segala macam jalan. Tapi, seperti dinyatakan Karen Brook, ”Soekarno tetap menghantui” bahkan sampai Soeharto meninggal. Lebih jauh lagi hal ini juga dilakukan terhadap tokoh-tokoh pendiri bangsa yang secara historis diidentifikasi sebagai komunis, seperti Tan Malaka, Semaun, HM Misbach.
Setelah reformasi tetap melanjut sikap yang antikomunis yang serampangan dan salah kaprah Orde Baru, sehingga melahirkan kekacauan dalam memahami tempat historis kelompok nasionalis dan komunis dalam proses mejadi Indonesia. Cerminan dari sikap ini bukan saja mencuat dari diajukannya Soeharto sebagai pahlawan nasional berkali-kali, tetapi juga ruang simbolik Kota Jakarta tetap dipenuhi oleh cermin pemikiran Orde Baru.
Sejak 1965, para jenderal yang disebut dengan menterang sebagai ”Pahlawan Revolusi” yang sebenarnya peran historisnya kurang signifikan mendapatkan satu tempat di antara nama-nama jalan di hampir semua kota di Indonesia. Sebagai rezim militer, nama-nama jenderal di luar ”Pahlawan Revolusi” itu pun sangat diistimewakan. Namanama mereka menempati satu hirarki tertentu ruas jalan yang lebih penting daripada jalan yang lain. Nama-nama para jenderal: S Parman, A. Yani, Sudirman, Gatot Subroto mengambil tempat Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dst.
Nama-nama jalan di kota buatan Orde Baru adalah bagian dari politik sejarah untuk mengganti ingatan kolektif nasional bahwa Indonesia adalah karya para tentara. Mereka memaksakan masa lalu yang bertolak belakang dengan ingatan kolektif, kenangan historis yang sejatinya, yang punya arti penting dalam sejarah nasional dan internasional serta penuh hikmah untuk diperingati.
Sebab itu, pemberian nama jalan Soekarno dan jalan Hatta adalah bagian dari politik ekologi simbolik suatu kota untuk mencari hikmah sejarah. Soekarno dan Hatta serta angkatannya adalah manusia-manusia pertama yang membayangkan diri jadi ”orang Indonesia”. Di sini ia tak pernah merasa dan minta dihargai lebih tinggi, sebab sadar betul menjadi ”orang Indonesia” bukan alamiah, tapi kerja bersama saling belajar, gembleng-mengembleng di dalam sejarah modern yang menuntut tekad, solidaritas, kerelaan berkorban serta harapan.
Begitulah Soekarno harus dimengerti sebagai simpul sejarah tokoh-tokoh bangsa, bayangan dan harapan mereka tentang ”orang Indonesia” yang berdiri tegak, tidak membongkok, tidak menginjak, terbuka, dinamis, bernyali dan berperikemanusiaan. Inilah amal tiada akhir dan terpenting serta segar Soekarno, tapi lama digelapkan oleh rupa-rupa kejahatan sejarah sehingga negara-bangsa yang diwariskannya tinggal seperti monyet dalam gelap.
Tak ayal, yang diperlukan bukan saja memberi Soekarno dan Hatta nama jalan, tetapi juga tokoh-tokoh seangkatannya, seperti Tan Malaka, Semaun, HM Misbach, Marco Kartodikromo, Tirto Adisuryo, dst. Tanpa meniatkan melakukan hal ini politik ekologi simbolik Kota Jakarta yang sohor sebagai ”Kota Juang” akan timpang.
Di Jalan Soekarno, di Jalan Hatta kelak masyarakat Jakarta merayakan Soekarno dan Hatta dan kawan-kawan segenarasinya, mengikuti jejak mereka, meneladani tindakan mereka sebagai inspirasi.
Di Jakarta—tempat mereka menelurkan pemikiran terbaik yang merangkum segala pemikirannya juga pendiri bangsa yang lain, yaitu Pancasila, dan tempat dimana ia bersama Hatta memproklamasikan kemerdekaan, sekaligus kota yang dirancangnya—sudah sepatutnya membuat sebuah penghormatan, sebuah tanda yang dengan begitu dapat membuat Soekarno dan Hatta serta kawan-kawan segenerasinya hadir sebagai ”orang Indonesia pertama”, dirasakan ada di tengah kesibukan lalu lalang anak bangsa membangun Indonesia, berpikir bekerja memenuhi impian-impian kemerdekaan yang diproklamasikan Soekarno-Hatta. ●
Sebelumnya usulan penggantian nama jalan itu dilemparkan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan beberapa tokoh lain. Setelah Presiden memberi gelar pahlawan nasional kepada Soekarno dan Hatta pada November 2012, apakah tindakan Gubernur Jakarta ini juga bagian dari proyek simbolisme politik? Soekarno adalah tokoh yang sangat penting dalam sejarah Jakarta.
Tiada tokoh lain yang mengambil peran luar biasa penting dalam mengonsepkan sekaligus mewujudkan Jakarta modern seperti Soekarno. Proyek pembangunan kota modern Jakarta gagasan Soekarno memang dihentikan oleh peristiwa G30S 1965, tetapi konsepnya dilanjutkan oleh Ali Sadikin. ”Ali Sadikin adalah kado terbaik perpisahan dari Soekarno,” tulis sejarawan kota Jakarta yang paling serius, Susan Blackburn dalam bukunya Jakarta: A History.
Pernyataan ini menegaskan betapa Jakarta-Soekarno-Ali Sadikin adalah satu kesatuan. Bukankah di dalam bagian akhir biografinya yang ditulis Ramadhan KH dinyatakan oleh Ali Sadikin, ”kata-kata Bung Karno pada pelantikan saya mengiang di telinga, dit heft Ali Sadikin gedaan (ini yang telah dilakukan Ali Sadikin) itu memang telah memacu saya.”
Dalam pidato pelantikan Ali Sadikin sebagai gubernur Jakarta, 28 April 1966, Soekarno berucap, ”Cita-citaku mengenai kota Jakarta akan saya supplant kepadamu, supplant sebagian daripada aku punya kalbu ini, seperti saya iris, saya masukkan dalam kalbumu, Ali Sadikin.” Kata-kata ini menjelaskan betapa Soekarno memang punya mimpi terhadap Jakarta. Seperti dinyatakan oleh penulis biografi Soekarno yang paling ambisius, Bob Hering, Putra Sang Fajar itu memang bukan saja ”arsitek bangsa Indonesia” tetapi juga seorang ”arsitek Ibu Kota Jakarta”.
Kegemilangan peran Soekarno sebagai nasionalis, liberator, proklamator adalah hitungan untuk menempatkannya sebagai ”arsitek bangsa Indonesia”. Ia gemilang bukan saja karena yang paling banyak menelurkan warisan intelektual yang menjadi klasik untuk memahami raison d’etre atau alasan menjadi Indonesia. Lebih jauh lagi dirinya telah menjadi aktor politik gerakan kebangsaan sejak sekolah menengah dan tumbuh sebagai simpul sejarah pemikiran serta gerakan kebangsaan.
Sampai di sini mungkin berlebihan, tetapi rasanya juga tepat jika antropolog terkemuka Clifford Geertz menyatakan ”Soekarno adalah Indonesia”. Sedangkan kegemilangan Soekarno sebagai ”arsitek Ibu Kota Jakarta” dapatlah dilihat dari bagaimana Soekarno, begitu Indonesia merdeka, imajinasinya langsung terbang tinggi untuk bertindak sebagai seorang arsitek sekaligus—pinjam ungkapan Angus McIntyre—as an artist.
Secara serius mulai akhir 1950-an dia yang lulusan Technische Hoogheschool di Bandung (ITB) telah membentuk ruang kota Jakarta. Ia menggebrak Jakarta dengan konsep dan bahasa arsitektur modernis—a radical break with tradition—untuk menciptakan monumentalis Jakarta sebagai simbol era baru kemerdekaan, nasionalisme dan revolusi. Tepat jika Roosseno Soerjohadikoesoemo menyatakan dalam pidatonya di hadapan Senat ITB ketika memberi gelar doctor honoris causa kepada Soekarno, ”pembangunan gedung-gedung yang monumental, pembuatan jembatan yang efisien dan artistik, bangunan-bangunan lain yang vital mendapat perhatian istimewa. Bukan perhatian dari seorang kepala negara semata-mata, melainkan perhatian dari seorang ahli yang mahir dengan daya cipta dan imagination yang besar sebagai arsitek bangsa.” Soekarno memanifestasikan semangat kebangsaan itu dalam banyak monumen, patung sebagai seni di ruang publik sekaligus penanda yang penting bagi kota Jakarta.
Tetapi, setelah kejatuhannya pada 1965 sebagaimana pemikirannya dianggap sebagai ”ayat-ayat setan” dan proyek arsitektur ruang kotanya di Jakarta diejek sebagai ”proyek mercusuar”, maka ia dalam masa yang panjang Orde Baru telah dianggap ”pengkhianat bangsa”. Ia didekati dalam suatu politik ”de-Soekarnoisasi”, semacam siasat mengerdilkan jasa dan peran historisnya. Apalagi beralasan konsepsi dwitunggal proklamator, Soeharto melakukan pelecehan dengan menyeretnyeret Hatta sebagai koproklamator, padahal hanya dijadikan bemper ketakutannya pada ”tak mati-matinya” Soekarno.
Sejak Soekarno meninggal, 21 Juni 1970, terus saja Soeharto merasa dihantui roh Soekarno yang kian kuat dan membahayakan kekuasaanya. Soeharto telah mencoba segala macam jalan. Tapi, seperti dinyatakan Karen Brook, ”Soekarno tetap menghantui” bahkan sampai Soeharto meninggal. Lebih jauh lagi hal ini juga dilakukan terhadap tokoh-tokoh pendiri bangsa yang secara historis diidentifikasi sebagai komunis, seperti Tan Malaka, Semaun, HM Misbach.
Setelah reformasi tetap melanjut sikap yang antikomunis yang serampangan dan salah kaprah Orde Baru, sehingga melahirkan kekacauan dalam memahami tempat historis kelompok nasionalis dan komunis dalam proses mejadi Indonesia. Cerminan dari sikap ini bukan saja mencuat dari diajukannya Soeharto sebagai pahlawan nasional berkali-kali, tetapi juga ruang simbolik Kota Jakarta tetap dipenuhi oleh cermin pemikiran Orde Baru.
Sejak 1965, para jenderal yang disebut dengan menterang sebagai ”Pahlawan Revolusi” yang sebenarnya peran historisnya kurang signifikan mendapatkan satu tempat di antara nama-nama jalan di hampir semua kota di Indonesia. Sebagai rezim militer, nama-nama jenderal di luar ”Pahlawan Revolusi” itu pun sangat diistimewakan. Namanama mereka menempati satu hirarki tertentu ruas jalan yang lebih penting daripada jalan yang lain. Nama-nama para jenderal: S Parman, A. Yani, Sudirman, Gatot Subroto mengambil tempat Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dst.
Nama-nama jalan di kota buatan Orde Baru adalah bagian dari politik sejarah untuk mengganti ingatan kolektif nasional bahwa Indonesia adalah karya para tentara. Mereka memaksakan masa lalu yang bertolak belakang dengan ingatan kolektif, kenangan historis yang sejatinya, yang punya arti penting dalam sejarah nasional dan internasional serta penuh hikmah untuk diperingati.
Sebab itu, pemberian nama jalan Soekarno dan jalan Hatta adalah bagian dari politik ekologi simbolik suatu kota untuk mencari hikmah sejarah. Soekarno dan Hatta serta angkatannya adalah manusia-manusia pertama yang membayangkan diri jadi ”orang Indonesia”. Di sini ia tak pernah merasa dan minta dihargai lebih tinggi, sebab sadar betul menjadi ”orang Indonesia” bukan alamiah, tapi kerja bersama saling belajar, gembleng-mengembleng di dalam sejarah modern yang menuntut tekad, solidaritas, kerelaan berkorban serta harapan.
Begitulah Soekarno harus dimengerti sebagai simpul sejarah tokoh-tokoh bangsa, bayangan dan harapan mereka tentang ”orang Indonesia” yang berdiri tegak, tidak membongkok, tidak menginjak, terbuka, dinamis, bernyali dan berperikemanusiaan. Inilah amal tiada akhir dan terpenting serta segar Soekarno, tapi lama digelapkan oleh rupa-rupa kejahatan sejarah sehingga negara-bangsa yang diwariskannya tinggal seperti monyet dalam gelap.
Tak ayal, yang diperlukan bukan saja memberi Soekarno dan Hatta nama jalan, tetapi juga tokoh-tokoh seangkatannya, seperti Tan Malaka, Semaun, HM Misbach, Marco Kartodikromo, Tirto Adisuryo, dst. Tanpa meniatkan melakukan hal ini politik ekologi simbolik Kota Jakarta yang sohor sebagai ”Kota Juang” akan timpang.
Di Jalan Soekarno, di Jalan Hatta kelak masyarakat Jakarta merayakan Soekarno dan Hatta dan kawan-kawan segenarasinya, mengikuti jejak mereka, meneladani tindakan mereka sebagai inspirasi.
Di Jakarta—tempat mereka menelurkan pemikiran terbaik yang merangkum segala pemikirannya juga pendiri bangsa yang lain, yaitu Pancasila, dan tempat dimana ia bersama Hatta memproklamasikan kemerdekaan, sekaligus kota yang dirancangnya—sudah sepatutnya membuat sebuah penghormatan, sebuah tanda yang dengan begitu dapat membuat Soekarno dan Hatta serta kawan-kawan segenerasinya hadir sebagai ”orang Indonesia pertama”, dirasakan ada di tengah kesibukan lalu lalang anak bangsa membangun Indonesia, berpikir bekerja memenuhi impian-impian kemerdekaan yang diproklamasikan Soekarno-Hatta. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar