Minggu, 18 Agustus 2013

Mimpi Menjadi Negeri Berdikari

Mimpi Menjadi Negeri Berdikari
Benny Susetyo ;   Pemerhati Sosial, Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI
KORAN SINDO, 17 Agustus 2013


Hampir 68 tahun kita merdeka namun bangsa selalu terpuruk tidak mampu mengolah sumber daya alamnya. Ini membuat bangsa tergantung dalam hal penyediaan pangan dan energi. 

Negeri yang kaya raya namun miskin dalam ide dan gagasan untuk kemakmuran rakyat. Cita-cita memiliki negara yang punya visi untuk sungguh-sungguh memperjuangkan kesejahteraan rakyat masih jauh panggang dari api. Kebijakan-kebijakan strategis belum dapat dilihat sepenuhnya berorientasi pada kepentingan rakyat. Misalnya kebijakan energi dan pangan selama ini masih belum berpihak kepada kesejahteraan umum, dan dapat dilihat masih cenderung mementingkan pertimbangan pasar. Tanpa disadari, sesungguhnya kita telah menyalahi amanat konstitusi. 

Kedaulatan pangan hanyalah angan-angan belaka, apalagi selama ini elite politik hanya memikirkan keuntungannya sendiri. Kepentingan kesejahteraan umum lebih banyak hanya dijadikan celoteh untuk menutup-nutupi keserakahan mereka daripada menjadi sebuah landasan berbangsa dan bernegara. Maka ketika ancaman krisis datang, semua terbelalak dan saling menyalahkan. Di sisi lain bahkan ada pula yang tidak peduli dan memandang bahwa krisis pangan dan energi hanyalah isapan jempol. Kesadaran untuk memikirkan masa depan generasi mendatang begitu rendah. 

Pokok yang dipikirkan hanyalah diri dan golongannya, masa kini dan sebanyak apa keuntungan yang bisa diraih. Ancaman krisis pangan dan energi atas negeri ini merupakan rentetan masalah yang tidak bisa dilepaskan dari berbagai permasalahan sebelumnya. Kebijakan yang tidak akurat, visi penguasa yang berorientasi masa kini (jangka pendek) daripada masa depan (jangka panjang) serta berbagai kesalahan lain, pada akhirnya menjadikan rakyat sebagai korbannya. 

Apa yang telah dilakukan di masa kini sekadar untuk memenuhi kepentingan masa kini juga. Kepentingan generasi mendatang diabaikan dengan pertimbangan bahwa generasi mendatang bukan urusannya. Itu juga kini yang dialami oleh penguasa masa kini. Upaya keluar dari krisis masih didominasi oleh pemikiran-pemikiran jangka pendek. Sejak dahulu sudah diperingatkan bahwa sikap seperti ini berbahaya, sebab hanya akan mendidik pemikiran generasi mendatang juga hanya berpikir untuk kepentingan generasinya. Sikap hidup untuk menang sendiri sepertinya sudah menjadi kultur bangsa ini. Kita sering mendengar ungkapan emang gue pikirin. 

Kita sulit membayangkan atau diajak membayangkan apa yang terjadi pada generasi mendatang jika perilaku hidup orang-orang berkecukupan masa kini jauh dari perilaku yang bijaksana memanfaatkan sumber alam. Eksploitasi terhadapnya masih melalaikan kepentingan generasi mendatang. 

Revolusi Berpikir 

Begitu pula dengan kebijakan energi dan pangan. Pemikiran kebijakan yang ada selama ini tidak pernah menyentuh hal mendasar yang diamanatkan konstitusi. Pemikiran para elit masih bertumpu pada bagaimana melayani kepentingan pasar bebas daripada sungguh-sungguh berpikir untuk membantu dan melindungi rakyat yang tersisih. Dalam argumen para pejabat tidak jarang kita pahami, betapa mereka seolah tak punya kekuatan untuk mengatasi pasar. 

Dalam pada itu kita pahami, pasar hanyalah berpihak kepada mereka yang berkecukupan, mereka yang miskin adalah sasaran empuk untuk ditindas. Kreativitas untuk menyelamatkan nasib rakyat di masa mendatang sirna. Kita seolah menjadi negeri yang malas dalam melahirkan kebijakan alternatif untuk menumbuhkan kekuatan rakyat dalam berdiri di kakinya sendiri. 

Negeri yang melimpah sumber daya tapi miskin dan terus terinjak-injak. Ilmu pengetahuan dan teknologi belum sepenuhnya dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Kenyataannya selama ini teknologi selalu seperti pedang bermata dua. Di satu sisi membantu manusia mempermudah mencapai tujuantujuannya, di sisi lain justru tidak jarang merendahkan martabat manusia sendiri. Teknologi dan kebijakan alternatif dibutuhkan sebagai bentuk lompatan berpikir untuk mengatasi kemandekan. 

Dengan syarat mempelajari semua kelemahan di masa lalu, dan diperbaiki di masa yang akan datang. Kita butuh revolusi pemikiran sebagai upaya menghindari keterjebakan pada ketergantungan yang sering berimplikasi pada kolonialisme. Kini pemerintah seharusnya mempunyai kesadaran baru untuk memaksimalkan teknologi tepat guna, dengan membangun cara berpikir yang baru bahwa alam diolah dengan penuh tanggung jawab. Ilmuwan bisa melahirkan formula energi yang sederhana yang dapat memberi jawaban kebutuhan masyarakat kecil. 

Tanggung jawab ilmuwan, bagaimanapun harus kembali kepada masyarakat, bukan untuk kepentingan dirinya sendiri. Upaya menemukan energi alternatif dapat menjadi alternatif bangsa ini untuk melepaskan diri dari kebergantungan. Negara seharusnya memfasilitasi usaha-usaha ilmiah melalui penelitian dan percobaan terusmenerus, asalkan dilakukan secara terbuka, transparan, dan bertanggung jawab. Ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya dipergunakan untuk kemaslahatan manusia. 

Kenyataan selama ini teknologi selalu seperti pedang bermata dua. Di satu sisi membantu manusia mempermudah mencapai tujuan-tujuannya, di sisi lain justru tidak jarang merendahkan martabat manusia sendiri. Teknologi justru membuat manusia terasing. Ketergantungan mutlak kepadanya membuat manusia kehilangan proses kreatif berpikir. Teknologi alternatif dibutuhkan sebagai bentuk lompatan berpikir untuk mengatasi kemandekan. 

Dengan syarat mempelajari semua kelemahan di masa lalu, dan diperbaiki di masa yang akan datang. Teknologi alternatif merupakan upaya untuk menghindari keterjebakan pada ketergantungan yang sering berimplikasi pada kolonialisme. Mental ini membuat bangsa tidak merdeka dari ketergantungan selama elite politiknya masih mentalnya priyayi.  

Mimpi Menjadi Negeri Berdikari 

Hampir 68 tahun kita merdeka namun bangsa selalu terpuruk tidak mampu mengolah sumber daya alamnya. Ini membuat bangsa tergantung dalam hal penyediaan pangan dan energi. 

Negeri yang kaya raya namun miskin dalam ide dan gagasan untuk kemakmuran rakyat. Cita-cita memiliki negara yang punya visi untuk sungguh-sungguh memperjuangkan kesejahteraan rakyat masih jauh panggang dari api. Kebijakan-kebijakan strategis belum dapat dilihat sepenuhnya berorientasi pada kepentingan rakyat. Misalnya kebijakan energi dan pangan selama ini masih belum berpihak kepada kesejahteraan umum, dan dapat dilihat masih cenderung mementingkan pertimbangan pasar. Tanpa disadari, sesungguhnya kita telah menyalahi amanat konstitusi. 

Kedaulatan pangan hanyalah angan-angan belaka, apalagi selama ini elite politik hanya memikirkan keuntungannya sendiri. Kepentingan kesejahteraan umum lebih banyak hanya dijadikan celoteh untuk menutup-nutupi keserakahan mereka daripada menjadi sebuah landasan berbangsa dan bernegara. Maka ketika ancaman krisis datang, semua terbelalak dan saling menyalahkan. Di sisi lain bahkan ada pula yang tidak peduli dan memandang bahwa krisis pangan dan energi hanyalah isapan jempol. Kesadaran untuk memikirkan masa depan generasi mendatang begitu rendah. 

Pokok yang dipikirkan hanyalah diri dan golongannya, masa kini dan sebanyak apa keuntungan yang bisa diraih. Ancaman krisis pangan dan energi atas negeri ini merupakan rentetan masalah yang tidak bisa dilepaskan dari berbagai permasalahan sebelumnya. Kebijakan yang tidak akurat, visi penguasa yang berorientasi masa kini (jangka pendek) daripada masa depan (jangka panjang) serta berbagai kesalahan lain, pada akhirnya menjadikan rakyat sebagai korbannya. 

Apa yang telah dilakukan di masa kini sekadar untuk memenuhi kepentingan masa kini juga. Kepentingan generasi mendatang diabaikan dengan pertimbangan bahwa generasi mendatang bukan urusannya. Itu juga kini yang dialami oleh penguasa masa kini. Upaya keluar dari krisis masih didominasi oleh pemikiran-pemikiran jangka pendek. Sejak dahulu sudah diperingatkan bahwa sikap seperti ini berbahaya, sebab hanya akan mendidik pemikiran generasi mendatang juga hanya berpikir untuk kepentingan generasinya. Sikap hidup untuk menang sendiri sepertinya sudah menjadi kultur bangsa ini. Kita sering mendengar ungkapan emang gue pikirin. 

Kita sulit membayangkan atau diajak membayangkan apa yang terjadi pada generasi mendatang jika perilaku hidup orang-orang berkecukupan masa kini jauh dari perilaku yang bijaksana memanfaatkan sumber alam. Eksploitasi terhadapnya masih melalaikan kepentingan generasi mendatang. 

Revolusi Berpikir 

Begitu pula dengan kebijakan energi dan pangan. Pemikiran kebijakan yang ada selama ini tidak pernah menyentuh hal mendasar yang diamanatkan konstitusi. Pemikiran para elit masih bertumpu pada bagaimana melayani kepentingan pasar bebas daripada sungguh-sungguh berpikir untuk membantu dan melindungi rakyat yang tersisih. Dalam argumen para pejabat tidak jarang kita pahami, betapa mereka seolah tak punya kekuatan untuk mengatasi pasar. 

Dalam pada itu kita pahami, pasar hanyalah berpihak kepada mereka yang berkecukupan, mereka yang miskin adalah sasaran empuk untuk ditindas. Kreativitas untuk menyelamatkan nasib rakyat di masa mendatang sirna. Kita seolah menjadi negeri yang malas dalam melahirkan kebijakan alternatif untuk menumbuhkan kekuatan rakyat dalam berdiri di kakinya sendiri. 

Negeri yang melimpah sumber daya tapi miskin dan terus terinjak-injak. Ilmu pengetahuan dan teknologi belum sepenuhnya dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Kenyataannya selama ini teknologi selalu seperti pedang bermata dua. Di satu sisi membantu manusia mempermudah mencapai tujuantujuannya, di sisi lain justru tidak jarang merendahkan martabat manusia sendiri. Teknologi dan kebijakan alternatif dibutuhkan sebagai bentuk lompatan berpikir untuk mengatasi kemandekan. 

Dengan syarat mempelajari semua kelemahan di masa lalu, dan diperbaiki di masa yang akan datang. Kita butuh revolusi pemikiran sebagai upaya menghindari keterjebakan pada ketergantungan yang sering berimplikasi pada kolonialisme. Kini pemerintah seharusnya mempunyai kesadaran baru untuk memaksimalkan teknologi tepat guna, dengan membangun cara berpikir yang baru bahwa alam diolah dengan penuh tanggung jawab. Ilmuwan bisa melahirkan formula energi yang sederhana yang dapat memberi jawaban kebutuhan masyarakat kecil. 

Tanggung jawab ilmuwan, bagaimanapun harus kembali kepada masyarakat, bukan untuk kepentingan dirinya sendiri. Upaya menemukan energi alternatif dapat menjadi alternatif bangsa ini untuk melepaskan diri dari kebergantungan. Negara seharusnya memfasilitasi usaha-usaha ilmiah melalui penelitian dan percobaan terusmenerus, asalkan dilakukan secara terbuka, transparan, dan bertanggung jawab. Ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya dipergunakan untuk kemaslahatan manusia. 

Kenyataan selama ini teknologi selalu seperti pedang bermata dua. Di satu sisi membantu manusia mempermudah mencapai tujuan-tujuannya, di sisi lain justru tidak jarang merendahkan martabat manusia sendiri. Teknologi justru membuat manusia terasing. Ketergantungan mutlak kepadanya membuat manusia kehilangan proses kreatif berpikir. Teknologi alternatif dibutuhkan sebagai bentuk lompatan berpikir untuk mengatasi kemandekan. 

Dengan syarat mempelajari semua kelemahan di masa lalu, dan diperbaiki di masa yang akan datang. Teknologi alternatif merupakan upaya untuk menghindari keterjebakan pada ketergantungan yang sering berimplikasi pada kolonialisme. Mental ini membuat bangsa tidak merdeka dari ketergantungan selama elite politiknya masih mentalnya priyayi. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar