Minggu, 21 Juli 2013

Seabad Driyarkara : Pemikiran Sahih, Jernih Nalar

Seabad Driyarkara : Pemikiran Sahih, Jernih Nalar
Marselli Sumarno  ;   Pengajar di Institut Kesenian Jakarta
KOMPAS, 09 Juli 2013


Awal Juni lalu berlangsung peresmian patung Driyarkara di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
Peresmian patung itu merupakan rangkaian peringatan seabad Drijarkoro, nama aslinya, yang kemudian ”di Indonesiakan” menjadi Driyarkara.
Patung Driyarkara ini bukanlah yang pertama, ada dua yang dibuat sebelumnya. Satu patung bisa kita temui di desa kelahirannya di kaki pegunungan Menoreh, di Desa Kedunggubah, Purworejo, 60 kilometer arah barat Yogyakarta. Patung berbahan semen itu didirikan tahun 2009 di depan sebuah kapel atau gereja kecil. Patung satunya lagi, yang didedikasikan bagi pengabdian beliau pada pendidikan, dapat kita temui di Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta.
Universitas itu pada 1955 bernama Perguruan Tinggi Pendidikan Guru, lalu sempat berganti nama beberapa kali menjadi FKIP dan IKIP, tempat Driyarkara SJ mendedikasikan diri sebagai pengajar sekaligus sebagai pimpinan (rektor) sampai akhir hayatnya pada 1967 dalam usia 53.
Driyarkara SJ mungkin memang bukan tokoh yang sangat dikenal. Tak banyak masyarakat Indonesia yang mengetahui jasanya untuk bangsa ini kendati karyanya, sering tanpa kita sadari, sangatlah dibutuhkan hingga sekarang.
Pada 1935, ia menjadi novis (calon imam) di pendidikan Novisiat Serikat Jesus di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah. Ia ditahbiskan menjadi pastor Katolik pada 1947 di Semarang oleh Mgr Soegijopranoto SJ. Selanjutnya, Driyarkara meneruskan studi teologinya di Belanda dan mendapat gelar doktor filsafat Universitas Gregoriana Roma.
Riwayat hidup dan pemikiran Driyarkara tertuang dalam buku terbitan PT Gramedia Pustaka Utama berjudul Karya Lengkap Driyarkara: Esei-esei Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Buku ini disunting A Sudiarja SJ, G Budi Subanar SJ, ST Sunardi, T Sarkim.
Membumi
Sebagai seorang filsuf sekaligus pelayan umat, kehidupan Driyarkara jauh dari sekadar ritual sakral yang ketat dan tertutup. Sepak terjang beliau justru selalu berusaha ”membumi”, seakan ingin bersentuhan langsung dengan kehidupan keseharian.
Hal ini dibuktikannya lewat langkah-langkah yang ia pilih sebagai medium penyampai pesannya. Ia menjadi penyiar radio serta menulis buku dan tulisan pendek yang sebagian besar merupakan usaha memperkenalkan pentingnya pemikiran filosofis kepada khalayak, dengan cara yang lebih mudah dicerna dan diresapi. Di sinilah peran terbesar Driyarkara, ia mampu memperkenalkan dasar-dasar pemikiran filsafat dengan bahasa yang membumi.
Keunggulan filsafat bagi dia adalah kemampuan untuk memandang secara jernih kemudian memproses setiap perkara dan akhirnya memutuskan sikap paling tepat yang harus diambil. Ia sangat mendambakan setiap individu di Indonesia mampu secara mandiri menggunakan kejernihan akal pikirannya dalam mencerna segala persoalan. Dengan demikian, setiap orang akan membuka diri bagi setiap perbedaan, bukan dengan mengedepankan kepentingan, melainkan justru kemanusiaan sebagai yang utama, sebagaimana tertulis dalam sila kedua Pancasila: kemanusiaan yang adil dan beradab.
Manusia (semestinya) adalah sahabat bagi sesamanya (Homo Homini Socius) dan proses menjadi manusia itu akan terus-menerus tumbuh untuk senantiasa menyempurnakan diri. Maka, setiap manusia akan mampu berpikir secara logis dan jernih terkait dengan setiap perkara yang dihadapinya dan akhirnya memilih keputusan yang paling bijaksana dengan berpedoman pada kemanusiaannya sebagai asas utama.
Driyarkara telah merintis studi filsafat di Indonesia, tetapi bagaimanakah masa depannya? Dalam situasi di Indonesia yang karut-marut seperti sekarang ini, bangsa ini menjadi bangsa pemarah, cemas, selalu berkompetisi dalam setiap kepentingan pribadi dan golongan, saling menerkam satu sama lain (Homo Homini Lupus), seperti yang digambarkan Thomas Hobbes. Apabila terus dibiarkan, bangsa ini akan hancur dengan sendirinya.
Dalam situasi inilah tawaran pemikiran Driyarkara menjadi penting untuk kita renungkan dalam-dalam. Setidaknya, STF Driyarkara terus berusaha meneruskan cita-citanya dalam pengembangan filsafat di negeri ini. Boleh jadi Driyarkara belumlah seorang filsuf besar, tetapi pasti ia seorang filsuf. Mungkin pula ia tidak melahirkan mazhab atau aliran baru dalam dunia filsafat, tetapi ia jelas perintis studi filsafat di Indonesia.
Maka, pertanyaan yang layak diajukan dalam memperingati seabad Driyarkara adalah: mengapa berfilsafat? Filsafat memperdalam dan menjernihkan pemahaman kita dengan merefleksikan apa-apa yang telah kita kenali. Immanuel Kant menyampaikan refleksinya tentang tiga dimensi dalam filsafat, yakni: 1) dimensi Ada yang terkait dengan apa yang bisa kita percaya, yaitu hal-hal terlihat dan tak terlihat atau ontologi dan metafisika. 2) dimensi Pengetahuan tentang apa yang dapat kita ketahui. 3) dimensi Nilai yang terkait dengan apa yang harus kita lakukan, yaitu lewat etika dan estetika.
Meminjam refleksi Kant, lewat dimensi Ada, bangsa Indonesia sebenarnya tidak asing mengenai perkara yang kasatmata dan tidak ini. Masalah-masalah yang sering menyita perhatian, antara lain, adalah soal keberagaman masyarakat, kebhinekaan, dan kerukunan beragama. Lewat dimensi Nilai, secara estetis bangsa ini misalnya harus berjuang keras untuk membangun industri ekonomi kreatif agar menjadi nilai tambah dalam pertumbuhan ekonomi. Dari segi etis, terjadi kemerosotan moral yang ekstrem, terutama maraknya korupsi yang membelit negara.
Sementara persoalan paling serius adalah di dimensi Pengetahuan, yang sangat mendasar pada logika. Logika adalah ilmu pengetahuan untuk menganalisis argumen-argumen serta membangun prinsip-prinsip dan dasar-dasar untuk menciptakan penalaran yang tepat dan sahih. Maka, segala karut-marut dalam hidup berbangsa ini adalah pengabaian terhadap logika, yang dalam bahasa keseharian berupa pemikiran yang sahih, jernih, nalar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar