Kamis, 18 Juli 2013

Ramadhan dan Kebersahajaan

Ramadhan dan Kebersahajaan
Donny Syofyan  ;   Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
REPUBLIKA, 08 Juli 2013


Ramadhan, bulan puasa yang suci bagi umat Islam bakal menyapa kita.Umat Islam seantero dunia merayakan datangnya Ramadhan yang mulia dengan suka cita dan kebahagiaan. Sepanjang Ramadhan, umat Islam berpuasa dari fajar hingga Maghrib, sehingga ikut merasakan rasa sakit dan payah tanpa makan dan minum.

Puasa sejatinya perlu meneguhkan rasa empati umat Islam terhadap kaum miskin, terutama dengan menerapkan moderasi dalam makan dan minum. Diharapkan, prilaku moderat ini tetap ber lanjut pada bulan-bulan berikutnya.
Namun, esensi Ramadhan kerapkali terabaikan dan berada dalam keadaan menyedihkan bagi sebagian umat Islam. Hal ini jelas terlihat pada prilaku belanja sebagian besar umat Islam selama Ramadhan.
Banyak pihak yang justru habis- habisan memanfaatkan Ramadhan guna meraup keuntungan sebesar-besarnya. Pelbagai taktik dan strategi penjualan muncul untuk memengaruhi para konsumen Muslim. Siapa pun yang tak tak mampu mengendalikan diri bakal menjadi mangsa para pedagang atau penjual yang tak peduli lagi dengan daya beli yang sudah kembang kempis.

Ketika keuangan mulai menipis, banyak yang beralih kepada kartu kredit untuk memenuhi kebutuhan belanja. Tren ini terus berulang dari Ramadhan ke Ramadhan, tiap tahun. Ramadhan telah berubah menjadi bulan komoditas.
Bila dicermati, perilaku konsumtif di kalangan umat Islam selama Ramadhan terkait erat dengan kegagalan mereka untuk membatasi hasrat. Pengeluaran selama Ramadhan jauh lebih besar daripada bulan-bulan lainnya.

Kelompok "gila belanja" ini kerap tidak memikirkan kemampuan keuangan mereka dan konsekuensi dari pengeluaran yang mereka lakukan. Beberapa di antara mereka juga menyatroni aneka bazar Ramadhan untuk membeli berbagai hidangan lebih dari yang diperlukan. Meskipun Ramadhan mengajarkan Muslim bersikap moderat dalam setiap aspek kehidupan, pemborosan telah menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan.

Menyongsong kedatangan Ramadhan, ada sejumlah pedagang yang menggelar gimmick iklan dan penjualan. Bermacam kegiatan promosi makin meningkat selama Ramadhan lewat slogan-slogan yang kian banyak untuk menarik perhatian konsumen yang sudah terobsesi dengan tawaran diskon atau hadiah. Para pebisnis tetap bersemangat menyelenggarakan bazar murah dan megasale lantaran kecenderungan dan sifat boros para konsumen.

Belajar dari Ramadhan sebelumnya, banyak taktik digunakan untuk menarik konsumen selama Ramadhan. Tetapi, pada bulan yang sama konsumen juga mengeluhkan praktik-praktik tidak etis terhadap bazar murah disebabkan tidak ada perbedaan harga sebelum atau selama bazar murah atau penjualan yang menawarkan diskon. Persoalannya terletak pada tindakan para pedagang yang terlebih dahulu menaikkan harga, lalu memberikan diskon. Pemahaman yang keliru pada Ramadhan telah merusak dakwah dengan tabiat komersialisme sebagian umat Islam.

Perilaku belanja berlebihan perlu segera dihentikan dengan mengejawantahkan sikap hidup sederhana secara berkelanjutan. Uang yang ada dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan biaya Lebaran, seperti untuk menutupi biaya BBM mudik ke kampung halaman. Ritus puasa seyogianya memberikan pelajaran moral, terutama berkaitan dengan nilai-nilai moderasi, kesederhanaan, dan pengendalian diri. Tapi, pada kenyataannya, konsumerisme menjadi napas suasana Ramadhan. Hasrat telah mengalahkan kontrol diri.

Merujuk pada kearifan bapak bangsa, para pemimpin, dan intelektual, Indonesia di awal abad ke-20 sering mengkritik kapitalisme yang dianggap telah meneguhkan dasar-dasar kolonialisme. Tidaklah mengherankan bahwa tulisan-tulisan HOS Tjokroaminoto, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, dan Mohammad Hatta membahas benih-benih Marxisme dan sosialisme. Tjokroaminoto sangat percaya bahwa Islam datang ke dunia ini untuk mengungkapkan pesan-pesan keadilan sosial, kesetaraan, dan keadilan.

Islam bertujuan untuk meningkatkan kelas bawah dalam masyarakat. Dalam karya-karya intelektual 
Muslim Indonesia kontemporer, semisal, Moeslim Abdurrahman, Abdul Munir Mulkhan, Mansur Faqih, dan Kuntowidjoyo, semangat sosialisme masih bisa dirasakan. Kaum intelektual ini mengusulkan bahwa teologi Islam harus dirumuskan dengan cara-cara yang mampu memberdayakan kelompok marginal dan masyarakat miskin guna memperoleh hak yang sama dalam ekonomi, pendidikan, dan pelayanan publik.

Sayangnya, para pemimpin agama belakangan jarang menyuarakan semangat di atas. Sebaliknya, para dai dan politikus atas nama Islam justru menikmati dan mendukung tren pasar karena jauh lebih bermanfaat bagi mereka. Agama dan spiritualisme berjalan beriring langkah dengan etos kapitalisme. Ini terasa sekali selama Ramadhan.

Ini bukan berarti pasar adalah jahat. Tapi, tindakan dan tren yang meninggalkan kelompok lemah dan tak terlindungi dari tekanan pasar, adalah sesuatu yang sepenuhnya salah. Pesan puasa jelas, menahan haus dan lapar, tidak berbelanja untuk kemewahan, serta tidak berlebih-lebihan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar