Senin, 08 Juli 2013

Pesan Politik di Balik BLSM

Pesan Politik di Balik BLSM
Heri Budianto  ;  Dosen Fikom Universitas Mercu Buana Jakarta,
Direktur Political Communication Institute
MEDIA INDONESIA, 06 Juli 2013


KOMPENSASI penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) 2013 diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat miskin. Salah satu program kompensasi itu ialah bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) yang diberikan pemerintahan SBYBoediono kepada 15,5 juta rakyat miskin yang menelan anggaran Rp9 triliun lebih. BLSM diberikan selama 4 bulan dengan besaran Rp150 ribu per bulan.

Persoalan kompensasi dalam bentuk pemberian uang tunai secara langsung kepada masyarakat banyak dikritik oleh berbagai kalangan karena dianggap tidak mendidik masyarakat, menumbuhkan mental pengemis, dan mempunyai muatan politis. Sejak memerintah, SBY paling tidak sudah 2 kali menggelontorkan pemberian uang tunai kepada masyarakat. Sebelumnya kompensasi atas penaikan harga BBM yang diberikan ialah bantuan langsung tunai (BLT). Sejak digulirkan, program itu mendapat kritikan karena sarat dengan muatan politik menjelang Pemilu 2009.

Jelang Pemilu 2014, SBY kembali memberikan kompensasi serupa dengan mengganti bungkus (berganti nama) menjadi BLSM. Serupa dengan BLT, banyak pihak menuding muatan politis dari program itu terlalu kentara untuk mendongkrak popularitas Partai Demokrat yang merosot tajam versi beberapa lembaga survei.

Penulis merupakan salah satu yang menyatakan bahwa BLSM merupakan instrumen politik penguasa untuk menarik simpati publik jelang pemilu 2014. Penulis menengarai bahwa menteri-menteri yang berasal dari partai politik (parpol) yang duduk di Kabinet Indonesia Bersatu jilid II akan memanfaatkan BLSM sebagai instrumen politik bagi partainya, seperti yang dilansir Metrotvnews.com (15/6).

Hasil survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) beberapa waktu lalu menyebutkan mayoritas publik atau 58,92% responden setuju program BLSM sebagai kompensasi penaikan harga BBM bersubsidi, hanya 29,12% publik menyatakan tidak setuju, dan 11,96% publik tidak tahu atas program BLSM.

Terkait dengan distribusi BLSM publik setuju atas pemberian BLSM sebesar p Rp150 ribu per bulan, tapi R hanya 24,27% publik yang meyakini bahwa pembagian LSM akan tepat sasaran. Sebanyak 72,33% responden tidak yakin dan 3,40% responden tidak tahu.

Pesan politik

Realitas politik para menteri yang menjadi calon anggota legislatif (caleg) untuk Pemilu 2014 membagikan secara langsung kartu perlindungan sosial (KPS) di daerah pemilihan (dapil) mereka makin memperkuat bahwa BLSM syarat muatan politis. Beberapa menteri seperti Jero Wacik, yang juga Menteri ESDM, membagikan BLSM di Bali yang merupakan dapilnya. Kemudian Roy Suryo, Menteri Pemuda dan Olahraga, melakukan pemantauan pembagian BLSM di Yogyakarta yang juga merupakan dapilnya.

Bukan cuma Demokrat, terbukti menteri-menteri yang berasal dari partai lain juga melakukan hal sama. Termasuk menteri asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menentang keras penaikan harga BBM dan menolak BLSM. Menkominfo Tiffatul Sembiring membagikan KPS di Medan, Sumatra Utara, dan Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri turun di Makassar yang merupakan dapilnya.

Dalam konteks ini apa yang dilakukan para menteri tersebut merupakan kegiatan komunikasi politik. Mereka menggunakan BLSM sebagai pesan politik untuk tujuan membangun simpati publik. Kegiatan komunikasi politik yang dijalankan dalam panggung seremonial bagi-bagi BLSM tersebut mempertemukan komunikator politik dan komunikan (khalayak) politik, dengan menempatkan BLSM sebagai pesan politik.

Meadow dalam Nimmo mengatakan, “Political communication refers to any exchange of symbol or messages that a significant extent have been shaped by or have consequences for political system.” Bila mengacu dari pendapat Meadow dapat dikatakan bahwa pesan politik yang ditampilkan dengan simbol BLSM dibentuk sedemikian rupa dan akan memiliki konsekuensi bagi sistem politik. Konsekuensi yang dimaksud ialah peningkatan citra politik dalam sistem politik jelang Pemilu 2014.

Melihat realitas politik yang ada, akan sulit diterima akal sehat jika momentum distribusi BLSM kepada masyarakat miskin tidak dimanfaatkan oleh partai penguasa dan partai-partai yang menempatkan menterinya dalam kabinet.

Simbol politik belas kasih

Tidak dapat dimungkiri bahwa bentuk-bentuk perhatian dan belas kasihan merupakan cara yang paling ampuh dapat meraih simpati. Penguasa dan elite tahu betul bagaimana cara meraih simpati dan membangun pencitraan politik. Partai Demokrat merupakan partai yang paling diuntungkan dengan kebijakan BLSM tersebut. Masyarakat penerima BLSM akan menilai bahwa SBY ialah orang yang paling memperhatikan dan mengasihi mereka dengan memberikan uang tunai secara langsung. Persepsi itu tentu akan sangat menguntungkan bagi Demokrat sebagai partai yang akan bertarung dalam Pemilu 2014.

Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyatakan program BLSM yang direalisasikan pemerintah memiliki efek elektoral atau naik turunnya dukungan publik terhadap Presiden SBY dan Partai Demokrat. Survei itu menunjukkan 46,95% publik menyatakan SBY paling berjasa, kemudian 11,47% untuk Menko Perekonomian Hatta Rajasa, dan Menko Kesra Agung Laksono (10,75%). Selanjutnya, Menteri ESDM Jero Wacik (1,79%), menteri lainnya (3,58%), dan responden yang tidak menjawab 25,45%.

Sementara itu, 49, 45 % publik menyatakan Partai Demokrat sebagai partai yang paling berjasa terhadap pemberian BLSM. Hanya 16,73% publik yang menilai parpol lain berjasa.

Kemudian juga ditemukan bahwa mayoritas publik (49,45%) menilai Partai Demokrat paling berjasa dalam mendorong penerapan BLSM. Adapun partai lainnya hanya 16,73% dan tidak menjawab 33,82%.

Dalam komunikasi politik, simbol politik merupakan pengelolaan pesan yang dapat menjembatani antara komunikator politik dan khalayak politik. Simbol politik belas kasih merupakan pengelolaan pesan politik yang menjadikan masyarakat miskin sebagai komoditas politik untuk meraih simpati publik.

Kalaulah program BLSM ini berniat mengurangi beban masyarakat miskin dan bentuk kepedulian penguasa kepada rakyatnya, hendaknya penguasa juga tulus memberikannya seperti rasa tulus yang dimiliki oleh rakyat saat menerimanya. Rasa tulus tersebut tentu dengan tidak memanfaatkan momen-momen BLSM sebagai jembatan politik untuk meraih kekuasaan dengan cara meraih simpati publik.

Selain itu, agar tidak menimbulkan kecurigaan publik akan kentalnya aroma politik dalam program-program pemberian uang tunai kepada masyarakat, mestinya pemerintah meningkatkan alokasi anggaran program-program nyata lain yang jauh lebih elegan, semisal sekolah gratis, peningkatan beasiswa, bantuan modal usaha, dan program mendidik lainnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar