|
JAWA
POS, 06 Juli 2013
Perkara dugaan korupsi atas nama terdakwa Indar Atmanto,
mantan Dirut PT Indosat Mega Media (IM2), banyak mendapat perhatian pengamat
hukum pidana. Isu pertama yang menarik perhatian adalah mengenai obyek peristiwa
ini. Obyek inilah yang oleh Kejaksaan dijadikan dasar untuk menyatakan
perbuatan korupsi. Para pengamat mempertanyakan: apakah tindakan PT Indosat
bekerja sama dengan PT IM2 dalam penggunaan jaringan 3G/High Speed Downlink
Packet Access merupakan tindakan korupsi? Apakah tindakan PT Indosat tersebut
bisa digolongkan merugikan negara?
Senin (8 Juli) nanti, hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi Jakarta akan membacakan vonis terhadap terdakwa. Namun masih tersisa
berbagai kontroversi dalam kasus ini. Misalnya, perubahan isi dakwaan oleh
jaksa penuntut umum (JPU) di dalam surat tuntutan (requisitoir). Perubahan itu
adalah dasar hukum yang dijadikan tuntutan oleh jaksa tapi tidak sesuai dengan
surat dakwaan. Apakah tindakan jaksa ini dibenarkan hukum? Apakah ini
mencerminkan keadilan?
Perubahan dakwaan itu terungkap saat proses persidangan.
Dalam perkara ini, jaksa menganggap bahwa perjanjian kerja sama antara PT IM2
dan induk usahanya, PT Indosat, mengenai akses Internet broadband melalui
jaringan 3G/HSDPA Indosat dapat diartikan bahwa PT IM2 telah ikut
"menggunakan" frekuensi milik PT Indosat. Menurut jaksa, setiap
entitas yang menggunakan frekuensi harus ikut membayar up front fee dan Biaya
Hak Penggunaan (BHP) Spektrum Frekuensi kepada negara. Maka jaksa menuduh
perjanjian itu hanya "akal-akalan" PT IM2 untuk dapat menggunakan
frekuensi milik PT Indosat tanpa membayar kewajibannya.
Namun belakangan dakwaan berubah. Isu pokok yang
dipersoalkan kemudian adalah penggunaan bersama frekuensi menjadi penggunaan
frekuensi tanpa izin menteri saja. Dalam dakwaannya, jaksa semula menyatakan
perbuatan Indar Atmanto menandatangani perjanjian kerja sama tersebut adalah
perbuatan korupsi. Jaksa kemudian menjerat dengan dakwaan subsidiaritas Pasal 2
dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam dakwaannya, jaksa menyebutkan bahwa anasir
"melawan hukum" di dalam pasal tersebut melanggar Pasal 25 ayat (1)
PP 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.
Kemudian Pasal 4 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 7 Tahun
2006 tentang Penggunaan Pita Frekuensi Radio 2,1 GHz untuk Penyelenggaraan
Jaringan Bergerak Seluler serta Pasal 14 jo Pasal 15 jo Pasal 30 Peraturan
Pemerintah 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Bersama Frekuensi.
Masalahnya, jaksa kesulitan membuktikan fakta bahwa PT IM2
"menggunakan" frekuensi milik PT Indosat. Ini karena terminologi
"menggunakan" frekuensi dengan PT IM2 ternyata tidak seperti yang
tergambar dalam dakwaan. Maka, ketika sidang memasuki tahap pembacaan tuntutan,
jaksa kemudian mengubah dakwaan. Jaksa menyatakan perbuatan terdakwa Indar yang
mengakibatkan negara rugi sekitar Rp 1,3 triliun adalah dengan memberikan akses
kepada PT IM2 untuk dapat menggunakan spektrum 2,1 GHz milik PT Indosat. Dakwaan
tidak lagi berupa penggunaan frekuensi secara bersama seperti yang dinyatakan
sebelumnya.
Surat dakwaan
Dalam konstruksi hukum acara pidana di Indonesia, surat
dakwaan sangatlah esensial. Ada adagium: tidak ada tuntutan hukum tanpa surat
dakwaan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan penuntut
umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera
mengadili perkara tersebut disertai surat dakwaan. Jelaslah, surat dakwaan
merupakan syarat bagi penuntut umum untuk melimpahkan suatu perkara pidana ke
pengadilan negeri.
Secara teoretis, suatu surat dakwaan mempunyai aspek formil
dan materiil. Syarat formil sesuai dengan Pasal 143 ayat (2) huruf a antara
lain (1) diberi tanggal dan ditandatangani penuntut umum; (2) berisi identitas
terdakwa; (3) meliputi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir,
jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa. Dan
(4) identitas tersebut dimaksudkan agar orang yang didakwa adalah yang
sebenarnya, bukan orang lain (error in
persona). Bila syarat formil ini tidak dipenuhi, surat dakwaan dapat
dibatalkan oleh hakim (vernietigbaar), dan bukan batal demi hukum. Adapun
syarat materiil surat dakwaan meliputi: (1) menyebutkan waktu dan tempat tindak
pidana serta (2) memuat uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai
tindak pidana yang didakwakan.
Surat dakwaan juga penting bagi terdakwa untuk membela
diri. Itu sebabnya, terdakwa harus tahu persis isi dari surat dakwaan. Hak
terdakwa mempersiapkan pembelaan adalah hak asasi yang dilindungi konstitusi.
Karena itu, menurut KUHAP, secara implisit surat dakwaan tidak boleh
berubah-ubah. Perubahan, selain akan merugikan terdakwa, akan membingungkan
hakim.
Tentu saja jaksa boleh mengubah surat dakwaan. Tapi undang-undang
memberi syarat perubahan itu harus sebelum pengadilan menetapkan hari sidang.
Perubahan surat dakwaan pun hanya boleh satu kali, dan selambat-lambatnya tujuh
hari sebelum sidang dimulai (Pasal 144 ayat 2 KUHAP). Bila jaksa melanggar
ketentuan tersebut, hakim harus menolak surat dakwaan dan membebaskan terdakwa
(putusan vrij spraak).
Dalam kasus terdakwa Indar Atmanto ini, jaksa secara
substansial telah mengubah isi dakwaan. Jelas ini tidak sesuai dengan Pasal 144
KUHAP. Dan bila hakim membiarkan, berarti hakim telah melanggar hak asasi
terdakwa yang dijamin oleh konstitusi.
Hakim pun akan melanggar konstitusi bila membenarkan
tindakan jaksa mengubah surat dakwaan secara tidak sah, karena hakim tidak
melaksanakan isi ketentuan perundang-undangan. Tentunya sikap hakim itu akan
bertentangan dengan Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 (Perubahan Ketiga) yang
menugaskan hakim untuk melaksanakan isi ketentuan perundang-undangan demi
kepastian hukum dan keadilan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar