|
MEDIA
INDONESIA, 06 Juli 2013
KOMPENSASI
penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) 2013 diberikan oleh pemerintah kepada
masyarakat miskin. Salah satu program kompensasi itu ialah bantuan langsung
sementara masyarakat (BLSM) yang diberikan pemerintahan SBYBoediono kepada 15,5
juta rakyat miskin yang menelan anggaran Rp9 triliun lebih. BLSM diberikan
selama 4 bulan dengan besaran Rp150 ribu per bulan.
Persoalan kompensasi dalam bentuk
pemberian uang tunai secara langsung kepada masyarakat banyak dikritik oleh
berbagai kalangan karena dianggap tidak mendidik masyarakat, menumbuhkan mental
pengemis, dan mempunyai muatan politis. Sejak memerintah, SBY paling tidak
sudah 2 kali menggelontorkan pemberian uang tunai kepada masyarakat. Sebelumnya
kompensasi atas penaikan harga BBM yang diberikan ialah bantuan langsung tunai
(BLT). Sejak digulirkan, program itu mendapat kritikan karena sarat dengan
muatan politik menjelang Pemilu 2009.
Jelang
Pemilu 2014, SBY kembali memberikan kompensasi serupa dengan mengganti bungkus
(berganti nama) menjadi BLSM. Serupa dengan BLT, banyak pihak menuding muatan
politis dari program itu terlalu kentara untuk mendongkrak popularitas Partai
Demokrat yang merosot tajam versi beberapa lembaga survei.
Penulis merupakan salah satu yang
menyatakan bahwa BLSM merupakan instrumen politik penguasa untuk menarik
simpati publik jelang pemilu 2014. Penulis menengarai bahwa menteri-menteri
yang berasal dari partai politik (parpol) yang duduk di Kabinet Indonesia
Bersatu jilid II akan memanfaatkan BLSM sebagai instrumen politik bagi
partainya, seperti yang dilansir Metrotvnews.com (15/6).
Hasil survei yang dilakukan
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) beberapa waktu lalu menyebutkan mayoritas
publik atau 58,92% responden setuju program BLSM sebagai kompensasi penaikan
harga BBM bersubsidi, hanya 29,12% publik menyatakan tidak setuju, dan 11,96%
publik tidak tahu atas program BLSM.
Terkait dengan distribusi BLSM
publik setuju atas pemberian BLSM sebesar p Rp150 ribu per bulan, tapi R hanya
24,27% publik yang meyakini bahwa pembagian LSM akan tepat sasaran. Sebanyak
72,33% responden tidak yakin dan 3,40% responden tidak tahu.
Pesan politik
Realitas politik para menteri
yang menjadi calon anggota legislatif (caleg) untuk Pemilu 2014 membagikan
secara langsung kartu perlindungan sosial (KPS) di daerah pemilihan (dapil)
mereka makin memperkuat bahwa BLSM syarat muatan politis. Beberapa menteri
seperti Jero Wacik, yang juga Menteri ESDM, membagikan BLSM di Bali yang
merupakan dapilnya. Kemudian Roy Suryo, Menteri Pemuda dan Olahraga, melakukan
pemantauan pembagian BLSM di Yogyakarta yang juga merupakan dapilnya.
Bukan cuma Demokrat, terbukti
menteri-menteri yang berasal dari partai lain juga melakukan hal sama. Termasuk
menteri asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menentang keras penaikan
harga BBM dan menolak BLSM. Menkominfo Tiffatul Sembiring membagikan KPS di
Medan, Sumatra Utara, dan Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri turun di Makassar
yang merupakan dapilnya.
Dalam konteks ini apa yang
dilakukan para menteri tersebut merupakan kegiatan komunikasi politik. Mereka
menggunakan BLSM sebagai pesan politik untuk tujuan membangun simpati publik. Kegiatan
komunikasi politik yang dijalankan dalam panggung seremonial bagi-bagi BLSM
tersebut mempertemukan komunikator politik dan komunikan (khalayak) politik,
dengan menempatkan BLSM sebagai pesan politik.
Meadow dalam Nimmo mengatakan, “Political communication refers to any
exchange of symbol or messages that a significant extent have been shaped by or
have consequences for political system.” Bila mengacu dari pendapat Meadow
dapat dikatakan bahwa pesan politik yang ditampilkan dengan simbol BLSM
dibentuk sedemikian rupa dan akan memiliki konsekuensi bagi sistem politik. Konsekuensi
yang dimaksud ialah peningkatan citra politik dalam sistem politik jelang Pemilu
2014.
Melihat realitas politik yang
ada, akan sulit diterima akal sehat jika momentum distribusi BLSM kepada
masyarakat miskin tidak dimanfaatkan oleh partai penguasa dan partai-partai
yang menempatkan menterinya dalam kabinet.
Simbol
politik belas kasih
Tidak
dapat dimungkiri bahwa bentuk-bentuk perhatian dan belas kasihan merupakan cara
yang paling ampuh dapat meraih simpati. Penguasa dan elite tahu betul bagaimana
cara meraih simpati dan membangun pencitraan politik. Partai Demokrat merupakan
partai yang paling diuntungkan dengan kebijakan BLSM tersebut. Masyarakat
penerima BLSM akan menilai bahwa SBY ialah orang yang paling memperhatikan dan
mengasihi mereka dengan memberikan uang tunai
secara langsung. Persepsi itu tentu akan sangat menguntungkan bagi Demokrat
sebagai partai yang akan bertarung dalam Pemilu 2014.
Hasil survei Lingkaran Survei
Indonesia (LSI) menyatakan program BLSM yang direalisasikan pemerintah memiliki
efek elektoral atau naik turunnya dukungan publik terhadap Presiden SBY dan Partai
Demokrat. Survei itu menunjukkan 46,95% publik menyatakan SBY paling berjasa,
kemudian 11,47% untuk Menko Perekonomian Hatta Rajasa, dan Menko Kesra Agung
Laksono (10,75%). Selanjutnya, Menteri ESDM Jero Wacik (1,79%), menteri lainnya
(3,58%), dan responden yang tidak menjawab 25,45%.
Sementara itu, 49, 45 % publik
menyatakan Partai Demokrat sebagai partai yang paling berjasa terhadap
pemberian BLSM. Hanya 16,73% publik yang menilai parpol lain berjasa.
Kemudian juga ditemukan bahwa
mayoritas publik (49,45%) menilai Partai Demokrat paling berjasa dalam
mendorong penerapan BLSM. Adapun partai lainnya hanya 16,73% dan tidak menjawab
33,82%.
Dalam komunikasi politik, simbol
politik merupakan pengelolaan pesan yang dapat menjembatani antara komunikator
politik dan khalayak politik. Simbol politik belas kasih merupakan pengelolaan
pesan politik yang menjadikan masyarakat miskin sebagai komoditas politik untuk
meraih simpati publik.
Kalaulah program BLSM ini berniat
mengurangi beban masyarakat miskin dan bentuk kepedulian penguasa kepada
rakyatnya, hendaknya penguasa juga tulus memberikannya seperti rasa tulus yang
dimiliki oleh rakyat saat menerimanya. Rasa tulus tersebut tentu dengan tidak
memanfaatkan momen-momen BLSM sebagai jembatan politik untuk meraih kekuasaan
dengan cara meraih simpati publik.
Selain itu, agar tidak menimbulkan kecurigaan publik akan
kentalnya aroma politik dalam program-program pemberian uang tunai kepada
masyarakat, mestinya pemerintah meningkatkan alokasi anggaran program-program nyata
lain yang jauh lebih elegan, semisal sekolah gratis, peningkatan beasiswa,
bantuan modal usaha, dan program mendidik lainnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar