Selasa, 23 Juli 2013

Pelajaran Penting dari Mesir : Kudeta Bukan Solusi

Pelajaran Penting dari Mesir : Kudeta Bukan Solusi
Toni Ervianto  ;  Alumnus Fisipol Universitas Jember dan Alumnus Pascasarjana Kajian Strategik Intelijen, Universitas Indonesia
OKEZONENEWS, 22 Juli 2013



Kerusuhan berdarah yang terjadi di provinsi Port Said, Suez dan Ismailiyah pada 23 Juni 2013, sedikit-dikitnya tujuh orang tewas dan lebih dari 630 lagi cedera dalam pemakaman korban bentrokan antara petugas keamanan dengan pengunjukrasa yang marah, sebelum dijatuhkan oleh pihak militer Mesir pada 4 Juli 2013. Setidaknya, selama 5 hari unjuk rasa anarkis mendongkel Morsi telah menyebabkan 50 orang tewas.

Sebelumnya, kecuali kelompok oposisi yang terdiri dari massa pendukung Hosni Mubarrak dan NSF, masih mendukung apapun kebijakan yang dilakukan oleh Morsi. Kabinet Mesir menyetujui rancangan undang-undang, yang memungkinkan Presiden Mohamed Morsi mengerahkan angkatan bersenjata untuk menyertai polisi menjaga keamanan dan melindungi bangunan penting. Undang-undang itu, yang harus disahkan majelis tinggi parlemen, yang dikuasai Persaudaraan Muslim akan berlaku hingga setelah pemilihan anggota legislatif mendatang dan dipakai setiap kali presiden anggap perlu, kata kantor berita negara MENA.

Setelah kudeta terhadap Morsi, situasi dan kondisi di Mesir masih diwarnai dengan aksi “balas dendam” dan perlawanan. Kelompok oposisi yang didukung militer termasuk Kejaksaan Mesir melalui Jaksa penuntut, Jenderal Abdel Mahmoud Maquid, mengeluarkan perintah mencegah Morsi dan 35 tokoh Ikwanul Muslimin keluar dari Mesir sementara penyelidikan berlangsung, seperti dilaporkan media setempat. Berita tersebut muncul ketika Ikhwanul Muslimin dan para pendukung Morsi menyerukan untuk turun ke jalan, melakukan demonstrasi pada Jumat ini, memprotes tindakan militer menggulingkan Morsi, sedangkan Ikhawanul Muslimin (IM) berencana menggelar demonstrasi pada 5 Juli 2013 setelah militer menggulingkan kekuasaan Mohammed Morsi. Disamping itu, Kejaksaan Mesir membuka investigasi terhadap Mohammed Morsi dan pemimpin tertinggi Ikhwanul Muslimin, atas penghasutan aksi kekerasan dan pembunuhan terhadap demonstran kubu oposisi, satu hari setelah militer menggulingkan presiden terpilih. 

Pemimpin gerakan pro Morsi, Mohammed Badie dilaporkan telah ditangkap di kota Marsa Matrouh. Ia adalah salah seorang pucuk pimpinan Ikhwanul Muslimin yang ditangkap setelah Morsi dilengserkan. Pihak berwenang telah mengeluarkan perintah penangkapan bagi lebih dari 200 anggota lainnya. Morsi sendiri menurut Juru Bicara Ikhwanul Muslimin, Gehad El-Haddad kepada CCN mengatakan, Morsi semula menjalankan tahanan rumah di kantor pusat Garda Republik di Kairo, kemudian dipindahkan ke Departemen Pertahanan. Otoritas militer belum memberi pernyataan terkait keberadaan Morsi saat ini.

Sementara juru bicara Ikhwanul Muslimin, Gehad el-Haddad mengatakan mereka menolak bekerja sama dengan pemerintahan yang baru. Ikhwanul Muslimin (IM) mengatakan tidak akan bekerja sama dengan hal yang disebut sebagai perampas kekuasaan. Namun organisasi itu menyerukan kepada para pendukungnya untuk tidak melakukan kekerasan bila mereka mengadakan protes. Morsi saat ini ditahan, demikian juga para pejabat senior di Ikhwanul Muslimin partai politik tempat Morsi berasal. Ratusan orang lainnya sedang berada dalam pencarian. Dalam sebuah konferensi pers, Haddad menyatakan "penolakan kami dan pembatalan kudeta militer" dan menuntut Morsi dan tahanan politik lain dibebaskan secepat mungkin. Dia menyatakan Ikhwanul Muslimin "sepenuhnya menolak kerja sama" dengan rezim baru.

Presiden interim yang baru dilantik, Adly Mahmud Mansour, telah berjanji untuk mengadakan pemilihan berdasarkan "kehendak rakyat sejati". Sementara dalam sebuah pernyataan di Facebook, pimpinan militer Mesir mengatakan tidak akan "bertindak sewenang-wenang terhadap suatu faksi atau arus politik" dan akan menjamin hak untuk protes, selama demonstrasi tidak mengancam keamanan nasional. Pergolakan di Mesir terjadi setelah hari aksi massa terhadap Morsi dan Ikhwanul Muslimin, yang dituduh mengejar agenda Islam dan gagal mengatasi masalah ekonomi di negara itu. Tentara mengatakan bahwa Morsi, pemimpin terpilih secara demokratis, telah "gagal memenuhi tuntutan rakyat". 

Presiden sementara Mesir Adly Mansour mengajak Ikhwanul Muslimin untuk turut berpartisipasi dalam kehidupan politik sehari setelah militer menggulingkan pendahulunya, Mohammed Morsi. Sejauh ini militer belum memberikan alasan di balik penahanan mantan Presiden Mohammed Morsi. Morsi menegaskan pelengserannya adalah kudeta militer.  Angkatan Bersenjata mengatakan Morsi "gagal memenuhi tuntutan rakyat". Pergantian kekuasaan di Mesir terjadi setelah unjuk rasa massal selama berhari-hari menentang Morsi dan Ikhwanul Muslimin. Angkatan Bersenjata menuduh Morsi mengusung agenda berhaluan Islam dan gagal mengatasi masalah ekonomi. 

Pemerintah Amerika Serikat (AS) dihadapkan dengan pertanyaan sulit terkait pergolakan politik di Mesir. Presiden Obama dan jajarannya harus segera menentukan apakah aksi penggulingan Mohammed Mursi oleh militer Mesir dapat dianggap aksi kudeta atau tidak. Pertanyaan ini menjadi penting karena AS melarang pemberian bantuan kepada pemerintah asing hasil kudeta terhadap pemimpin yang terpilih secara demokratis. Sementara di sisi lain, Mesir selama ini merupakan salah satu sekutu terkuat bagi negeri Paman Sam di wilayah jazirah Arab. Setiap tahunnya, AS memberikan bantuan sebesar USD 1,5 milliar kepada pemerintah Mesir. Pengamat politik Mesir dari Institut Kebijakan Timur Tengah Washington, Eric Trager menilai Obama seharusnya tidak perlu bingung, karena yang terjadi di Mesir memperlihatkan bahwa rakyat Mesir tidak menginginkan Morsi sebagai pemimpin mereka. 

Sementara itu para legislator AS baik dari Partai Republik maupun Partai Demokrat menyambut baik penggulingan Mursi. Mereka menilai hal ini sebagai sesuatu yang positif bagi perkembangan demokrasi Mesir. Pihak legislatif juga berharap hubungan baik AS dengan militer Mesir dapat tetap terjaga di masa yang akan datang. Pemerintah juga diingatkan bahwa penghentian bantuan bagi militer Mesir akan berdampak buruk terhadap kepentingan AS di Timur Tengah, " ujar legislator asal Partai Republik, Eric Cantor.

Banyak kalangan yang memprediksikan bahwa “political turbulence” yang terjadi di Mesir yang diwarnai dengan kudeta akan berlangsung lama, dan selalu “dilegacy”kan ke massa-massa berikutnya, sehingga pergantian kepemimpinan nasional melalui kudeta militer adalah sebuah blunder dan tidak demokratis. Pelajaran penting yang dapat dipetik dari gejolak politik di Mesir adalah militer melakukan kudeta setelah merasa disisihkan atau kepentingannya kurang diperhatikan oleh Mursi, disamping karena pilihan dan strategi yang diambil Mursi untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran tidak tepat. Militer Mesir juga tidak mau pemerintahannya dibawah pemerintahan yang menganut cara-cara Islam.

Pelajaran penting lainnya dari kudeta militer di Mesir agar tidak terjadi di Indonesia adalah peningkatan profesionalisme aparat keamanan hanya ditujukan untuk kepentingan nasional, militer tidak boleh terlibat secara langsung dalam politik, penguatan posisi politik kelompok civil society yang “terkendali” agar tidak terjadi perubahan pendulum yang juga kurang menguntungkan negara seperti kelompok civil society di satu sisi menguat, namun peranan negara dan militer di sisi lainnya melemah. Jika hal ini terjadi, maka kudeta akan mudah terjadi karena sejatinya kudeta di Mesir terjadi ketika ada “security gap” akibat ketidaksolidan dan ketidakprofesionalan kaum sipil di Mesir dalam mengelola kekuasaan secara baik dan bijaksana. Last but not least, kudeta bukanlah jalan terbaik untuk meraih kekuasaan, karena secara tidak langsung kekuasaan yang diperoleh melalui kudeta, akan dijatuhkan melalui kudeta dan itu akan berlangsung terus menerus. Langkah rakyat Indonesia yang menunggu pergantian kepemimpinan nasional secara demokratis melalui Pemilu itu sudah merupakan kearifan nasional yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar