|
KORAN
JAKARTA, 22 Juli 2013
Merawat
kebinekaan agama dengan segala potensinya adalah upaya menghalangi tindakan
yang melecehkan manusia dalam hubungan yang berdasar pada pembenaran untuk
memberangus satu sama lain Pertumbuhan penerimaan pajak sampai dengan semester
I-2013 mencapai 6,13 persen, yakni 23,8 triliun rupiah. Pada periode yang sama
tahun 2012, angka penerimaan pajak mencapai 387,7 triliun rupiah. Pertumbuhan
tersebut merupakan yang terendah dalam tiga tahun terakhir.
Hingga 28 Juni 2013, realisasi penerimaan pajak secara keseluruhan mencapai 411,5 triliun rupiah atau 41,3 persen dari target APBN-P 2013 yang 995,2 triliun rupiah. Item Pajak Penghasilan (PPh) masih mendominasi realisasi karena mencapai 240,2 triliun, disusul Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 168 triliun, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 0,9 triliun serta pajak lainnya 2,4 triliun rupiah.
Pemerintah kecewa melihat realisasi tersebut mengingat, dalam proyeksi awal, realisasi pajak seharusnya mencapai 45 persen dari target APBN-P 2013. Namun, apa boleh dikata, pelambatan ekonomi global yang masih berkelanjutan ternyata melemahkan sisi permintaan, khususnya untuk sektor-sektor perdagangan.
Pemerintah berharap ada perbaikan kinerja penerimaan perpajakan pada semester II-2013 demi mengejar target APBN-P 2013, mampu meraih 55 persen target APBN-P 2013 melalui perbaikan di beberapa sisi internal dan eksternal dengan berbagai upaya intensifikasi dan ekstensifikasi.
Setiap tahun, PPh memang mendominasi penerimaan perpajakan dalam APBN. Tahun 2006 saja mencapai 208,8 triliun, dari total 409 triliun rupiah. Tahun 2010, penerimaan tersebut sudah mencapai 357 triliun dan terus meningkat sampai 513,7 triliun dalam APBN-P 2012.
Pola yang sama terjadi dalam penerimaan PPN, PBB, dan pajak lainnya. Tahun 2006, realisasi PPN 123 triliun rupiah, meningkat menjadi 230,6 triliun rupiah tahun 2012 dan 336,1 triliun rupiah dalam APBN-P 2012. Berikutnya PBB tahun 2006 mencapai 20,9 triliun, meingkat menjadi 28,6 triliun rupiah tahun 2010 dan 29,7 triliun dalam APBN-P 2012. Sementara realisasi pajak lainnya tahun 2006 mencapai 2,3 triliun rupiah, meningkat menjadi 4 triliun rupiah tahun 2010 dan 5,6 triliun rupiah dalam APBN-P 2012.
Realisasi perpajakan tahun 2013 ini rendah karena hampir di seluruh sektor terjadi pelambatan. Yang menggembirakan, realisasi penerimaan bea dan masuk relatif bagus seiring dengan produksi hasil tembakau yang semakin besar. Hingga 28 Juni, realisasinya 14,4 triliun rupiah atau 46,8 persen target APBN-P 2013. Sementara bea keluar 6,9 triliun rupiah.
Kemudahan
Realisasi perpajakan yang rendah sudah diprediksi banyak pengamat. Namun, dalam beberapa kesempatan, pemerintah selalu menyatakan optimistis meskipun faktanya harus berkompromi juga dengan krisis yang berkepanjangan dalam penyesuaian dokumen APBN-P 2013. Maka, pemerintah dituntut ekstra-effort dalam mencari sumber-sumber perluasan basis pajak nonalamiah.
Beberapa langkah yang kemudian diambil di antaranya penyempurnaan regulasi bidang perpajakan untuk memperluas basis pajak dan penegakan hukum, penyempurnaan sistem online PPN, penggalian potensi berbasis sektoral yang didukung penggunaan iptek, serta penggunaan data eksternal. Pemerintah juga melakukan ekstensifikasi dengan memanfaatkan data hasil Sensus Pajak Nasional dan renegosiasi tax treaty.
Pemerintah juga mewacanakan perluasan basis pajak untuk beberapa objek baru seperti minuman berkarbonasi, bumbu penyedap, telepon seluler, dan limbah industri. Penetapan calon objek pajak ini tentu akan dilakukan secermat mungkin dengan mengedepankan aspek transparansi analisis manfaat dan biaya. Berbagai masukan dari pengusaha juga harus dipertimbangkan.
Salah satu bukti nyata tindakan pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh wajib Pajak (WP) yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Ini secara umum dikenal dengan nama pajak UMKM.
Hal ini sekaligus mengakhiri pembahasan pajak UMKM yang sudah lama. Dengan peraturan tersebut, WP yang akan terkena aturan termasuk orang pribadi atau badan dengan omzet kurang dari 4,8 miliar rupiah per tahun. Tarif pajak PPh finalnya 1persen.
Selesainya beleid tersebut diyakini akan menambah penerimaan negara sekitar 27,8 triliun rupiah sehingga pemerintah kembali optimistis mencapai target. Potensi tersebut juga diharapkan memperluas ruang fiskal untuk pembangunan infrastruktur secara nasional.
Dasar pertimbangan penerbitan pajak UMKM untuk mempermudah pemahaman WP terhadap administrasi perpajakan yang selama ini ditengarai menjadi penyebab utama rendahnya kepatuhan masyarakat. Contoh kasus penerimaan pajak di Pusat Grosir Tanah Abang. Berdasarkan keterangan Kantor Pajak, hingga kini, Pusat Grosir Tanah Abang hanya mampu menyetor pajak 1,49 miliar dari potensi 66,34 miliar rupiah berdasarkan Sensus Pajak Nasional (SPN) tahun 2012-2013. Berdasarkan SPN, ada sekitar 8.000 kios di blok A dan 3.821 kios di blok B.
Dari keseluruhan kios tersebut, hanya 3.151 pemilik yang terdaftar sebagai WP. Sayang, dari WP terdaftar, yang sudah membayar baru 262 pemilik. Secara terperinci, ada sekitar 200 pemilik kios di blok A yang membayar pajak per bulan rata-rata 500 ribu per kios. Sementara di blok B, hanya 62 WP yang rutin membayar pajak 400 ribu per bulan. Ini karena sebagian pedagang kesulitan memahami administrasi perpajakan. Untuk itulah PP Nomor 46 Tahun 2013 memudahkan WP membayar pajak karena PPh hanya akan dipungut dari omzet tanpa harus menghitung biaya usaha dan laba.
Demi mengoptimalkan penerimaan perpajakan, pemerintah wajib menyosialisasikan PP No 46 ini agar dipahami dengan baik bahwa pajak sangat penting bagi pembangunan. Penting sekali memudahkan administrasi perpajakan agar masyarakat sukarela membayar tanpa harus dipaksa. Hanya, jangan sampai pajak yang sudah berhasil dikumpulkan justru dikorupsi para pegawai dan dimanfaatkan secara tidak bijaksana. Pemerintah yang melayani menjadi prasyarat mendasar terciptanya birokrat yang kuat, sejahtera, dan berkelanjutan. ●
Hingga 28 Juni 2013, realisasi penerimaan pajak secara keseluruhan mencapai 411,5 triliun rupiah atau 41,3 persen dari target APBN-P 2013 yang 995,2 triliun rupiah. Item Pajak Penghasilan (PPh) masih mendominasi realisasi karena mencapai 240,2 triliun, disusul Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 168 triliun, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 0,9 triliun serta pajak lainnya 2,4 triliun rupiah.
Pemerintah kecewa melihat realisasi tersebut mengingat, dalam proyeksi awal, realisasi pajak seharusnya mencapai 45 persen dari target APBN-P 2013. Namun, apa boleh dikata, pelambatan ekonomi global yang masih berkelanjutan ternyata melemahkan sisi permintaan, khususnya untuk sektor-sektor perdagangan.
Pemerintah berharap ada perbaikan kinerja penerimaan perpajakan pada semester II-2013 demi mengejar target APBN-P 2013, mampu meraih 55 persen target APBN-P 2013 melalui perbaikan di beberapa sisi internal dan eksternal dengan berbagai upaya intensifikasi dan ekstensifikasi.
Setiap tahun, PPh memang mendominasi penerimaan perpajakan dalam APBN. Tahun 2006 saja mencapai 208,8 triliun, dari total 409 triliun rupiah. Tahun 2010, penerimaan tersebut sudah mencapai 357 triliun dan terus meningkat sampai 513,7 triliun dalam APBN-P 2012.
Pola yang sama terjadi dalam penerimaan PPN, PBB, dan pajak lainnya. Tahun 2006, realisasi PPN 123 triliun rupiah, meningkat menjadi 230,6 triliun rupiah tahun 2012 dan 336,1 triliun rupiah dalam APBN-P 2012. Berikutnya PBB tahun 2006 mencapai 20,9 triliun, meingkat menjadi 28,6 triliun rupiah tahun 2010 dan 29,7 triliun dalam APBN-P 2012. Sementara realisasi pajak lainnya tahun 2006 mencapai 2,3 triliun rupiah, meningkat menjadi 4 triliun rupiah tahun 2010 dan 5,6 triliun rupiah dalam APBN-P 2012.
Realisasi perpajakan tahun 2013 ini rendah karena hampir di seluruh sektor terjadi pelambatan. Yang menggembirakan, realisasi penerimaan bea dan masuk relatif bagus seiring dengan produksi hasil tembakau yang semakin besar. Hingga 28 Juni, realisasinya 14,4 triliun rupiah atau 46,8 persen target APBN-P 2013. Sementara bea keluar 6,9 triliun rupiah.
Kemudahan
Realisasi perpajakan yang rendah sudah diprediksi banyak pengamat. Namun, dalam beberapa kesempatan, pemerintah selalu menyatakan optimistis meskipun faktanya harus berkompromi juga dengan krisis yang berkepanjangan dalam penyesuaian dokumen APBN-P 2013. Maka, pemerintah dituntut ekstra-effort dalam mencari sumber-sumber perluasan basis pajak nonalamiah.
Beberapa langkah yang kemudian diambil di antaranya penyempurnaan regulasi bidang perpajakan untuk memperluas basis pajak dan penegakan hukum, penyempurnaan sistem online PPN, penggalian potensi berbasis sektoral yang didukung penggunaan iptek, serta penggunaan data eksternal. Pemerintah juga melakukan ekstensifikasi dengan memanfaatkan data hasil Sensus Pajak Nasional dan renegosiasi tax treaty.
Pemerintah juga mewacanakan perluasan basis pajak untuk beberapa objek baru seperti minuman berkarbonasi, bumbu penyedap, telepon seluler, dan limbah industri. Penetapan calon objek pajak ini tentu akan dilakukan secermat mungkin dengan mengedepankan aspek transparansi analisis manfaat dan biaya. Berbagai masukan dari pengusaha juga harus dipertimbangkan.
Salah satu bukti nyata tindakan pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh wajib Pajak (WP) yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Ini secara umum dikenal dengan nama pajak UMKM.
Hal ini sekaligus mengakhiri pembahasan pajak UMKM yang sudah lama. Dengan peraturan tersebut, WP yang akan terkena aturan termasuk orang pribadi atau badan dengan omzet kurang dari 4,8 miliar rupiah per tahun. Tarif pajak PPh finalnya 1persen.
Selesainya beleid tersebut diyakini akan menambah penerimaan negara sekitar 27,8 triliun rupiah sehingga pemerintah kembali optimistis mencapai target. Potensi tersebut juga diharapkan memperluas ruang fiskal untuk pembangunan infrastruktur secara nasional.
Dasar pertimbangan penerbitan pajak UMKM untuk mempermudah pemahaman WP terhadap administrasi perpajakan yang selama ini ditengarai menjadi penyebab utama rendahnya kepatuhan masyarakat. Contoh kasus penerimaan pajak di Pusat Grosir Tanah Abang. Berdasarkan keterangan Kantor Pajak, hingga kini, Pusat Grosir Tanah Abang hanya mampu menyetor pajak 1,49 miliar dari potensi 66,34 miliar rupiah berdasarkan Sensus Pajak Nasional (SPN) tahun 2012-2013. Berdasarkan SPN, ada sekitar 8.000 kios di blok A dan 3.821 kios di blok B.
Dari keseluruhan kios tersebut, hanya 3.151 pemilik yang terdaftar sebagai WP. Sayang, dari WP terdaftar, yang sudah membayar baru 262 pemilik. Secara terperinci, ada sekitar 200 pemilik kios di blok A yang membayar pajak per bulan rata-rata 500 ribu per kios. Sementara di blok B, hanya 62 WP yang rutin membayar pajak 400 ribu per bulan. Ini karena sebagian pedagang kesulitan memahami administrasi perpajakan. Untuk itulah PP Nomor 46 Tahun 2013 memudahkan WP membayar pajak karena PPh hanya akan dipungut dari omzet tanpa harus menghitung biaya usaha dan laba.
Demi mengoptimalkan penerimaan perpajakan, pemerintah wajib menyosialisasikan PP No 46 ini agar dipahami dengan baik bahwa pajak sangat penting bagi pembangunan. Penting sekali memudahkan administrasi perpajakan agar masyarakat sukarela membayar tanpa harus dipaksa. Hanya, jangan sampai pajak yang sudah berhasil dikumpulkan justru dikorupsi para pegawai dan dimanfaatkan secara tidak bijaksana. Pemerintah yang melayani menjadi prasyarat mendasar terciptanya birokrat yang kuat, sejahtera, dan berkelanjutan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar