Selasa, 02 Juli 2013

Bom Waktu RUU Ormas

Bom Waktu RUU Ormas
Tamrin Amal Tomagola ;  Sosiolog, Anggota AIPI Komisi Kebudayaan
MEDIA INDONESIA, 01 Juli 2013


BOM waktu pengebirian kebebasan berkumpul dan bersyarikat warga negara segera akan mulai berdetak di rahim demokrasi menjelang pengesahan RUU Ormas menjadi undang-undang pada Selasa, 2 Juli 2013, besok. Pada `D-Day' awal legalisasi pengeberian demokrasi, besok, seluruh kemampuan masyarakat madani harus dikerahkan untuk memastikan lahirnya keputusan pencabutan total, once and for all, baik Undang-Undang Ormas produk rezim otoriter Orba maupun RUU Ormas yang baru produk para wakil partai yang sudah lama melupakan rakyat dan hak-hak dasar warga negara.

Proses demokratisasi yang sedang berjalan terseok-seok menuju penegakan tradisi peradaban demokrasi-kontekstual yang berakar kuat harus diselamatkan dari ancaman bom waktu RUU Ormas godokan wakil partai yang kian tercerabut dari hakikat Pasal 28 UUD '45 (amendemen keempat) ataupun dari realitas aspirasi rakyat yang kian tersekat.

Harus dicabut

Secara prinsipiel, ada tiga alasan utama mengapa produk politisi Senayan itu harus dicabut seluruhnya dan bukan sekadar ditolak untuk dibenahi secara tambal-sulam. Pertama, RUU Ormas dibangun di atas dasar prasangka paranoid bahwa masyarakat ialah lumbung ancaman bagi ketertiban dan kenyamanan kehidupan bersama maupun keamanan dan kelangsungan eksistensi NKRI.

Berlandas prasangka sesat yang diteruskan dalam nalar sesatpikir yang mencengangkan, di benak pemerintah dan para wakil parpol di Senayan hadir dua hantu utama: maraknya anarkisme ormas-ormas preman, baik berjubah suku maupun agama; dan ancaman intervensi asing lewat lembaga-lembaga sosial masyarakat boneka yang mengusung agenda-agenda kepentingan asing. Itulah dua ketakutan utama yang merupakan alasan pamungkas kelahiran RUU Ormas yang sesungguhnya tidak perlu, tidak penting, dan tidak urgen.

Terhadap kedua hantu itu, pemerintah bersama politisi dan wakil parpol bukannya berupaya mencari sebab-musabab dari ancaman kedua hantu itu. Nalar dan pendalaman masalah mereka buntu serta majal untuk mengenali akar masalah untuk kemudian merumuskan alat penangkal efektif atas kedua hantu itu. Pemerintah dan DPR gagal, atau tidak mau mengakui, bahwa sebab utama maraknya tindak anarkisme sosial di ruang publik ialah negara absen, dan dengan itu, membiarkan pelanggaran hukum terjadi. Bila aparat kepolisian mampu terus waspada dan hadir tepat waktu saat anarkisme baru akan berkecamuk atau jauh-jauh hari sebelumnya, sesungguhnya gejolak anarkisme dapat ditekan dan dikendalikan secara tegas dan berwibawa.

Demikian juga dengan ancaman penunggangan LSM boneka oleh agen-agen kepentingan asing. Terhadap ancaman tersebut, sesungguhnya sudah tersedia seperangkat undang-undang antisubversi dan antiterorisme yang siap digunakan. Alih-alih membuat produk legislasi baru yang tidak dibutuhkan, dan karena itu mubazir segala biaya, seyogianya pemerintah dan DPR berupaya memaksimalkan penerapan penangkal-penangkal hukum yang ada terhadap ancaman kepentingan asing. Hal yang makin menggelikan ialah bahwa pemerintah dan DPR dalam lima tahun terakhir ini sangat bergairah menghasilkan produkproduk legislasi yang memudahkan penjarahan kekayaan alam negeri ini yang kian menipis. Nasib generasi mendatang sedang dipertaruhkan.

Kedua, secara tersamar, RUU Or mas yang menyasar ruang gerak kebebasan berkiprah pada hakikatnya inkonstitusional. Mengapa? Kelihatannya secara harfiah, seolah-olah RUU ini ingin menjabarkan secara operasional suatu `kebebasan yang tidak kebablasan', ingin mengerem suatu kebebasan liberal tanpa kendali. Begitu tebersit, apalagi terbaca adanya suatu niat `pengendalian' oleh suatu otoritas di luar atau di atas ormas tertentu, di situ kebebasan demokratis serta-merta kehilangan roh asasinya.

Kebebasan dalam alam demokratis itu terwujud dan berkembang dengan gereget yang sehat bila ada bukan hanya lewat kehadiran sistem dan mekanisme yang memfasilitasi dialog tulus (genuine dialogue) yang setara; melainkan pula atmosfer kesejawatan yang saling percaya dan saling menghargai. Dinamika dialog semacam itu lah yang seyogianya mengen dalikan kebebasan setiap warga yang sudah dibekali dengan apa yang disebut `civic competence' dalam ruang publik organisasi organisasi masyarakat mandiri sebagai pilarpilar utama masyarakat madani.

Keterampilan dan keandalan warga dalam berorganisasi tidak ujug-ujug muncul begitu saja. Keterampilan dan keandalan warga dibenihkan, ditempa, dan ditumbuhkembangkan dalam bera gam ormas sebagai `habitat-habitat awal', cikal bakal manusia-manusia demokrat sejati. Keterampilan dan ke andalan warga semacam itu mustahil disemayamkan lewat kendali otoritas dari luar dan dari atas dalam suatu relasi yang hierarkis. Itulah hakikat roh dari Pasal 28 UUD '45 itu.

Dengan adanya ketentuan hukum bahwa sebuah ormas yang berbadan hukum seyogianya mendaftar dan mendapatkan surat keterangan terdaftar (SKT), yang sewaktu-waktu bisa ditagih bila ingin berkiprah--atau malah dihentikan kegiatannya oleh suatu forum musyawarah otoritas daerah--jelas hakikat kebebasan konstitusional itu sudah dikebiri. Bila hal demikian terjadi, jelas dan gamblang RUU ini inkonstitusional adanya.

Kendala politik lokal

Selain itu, ada komplikasi dinamika aliansi politik lokal yang sangat potensial mencederai hakikat kebebasan konstitusional. Potensi komplikasi itu malah sudah terdeteksi dalam beratus-ratus pemilu kada yang sudah berlangsung sejauh ini. Para kandidat kepala daerah, selain membutuhkan dana dan mesin mobilisasi suara, juga imperatif membutuhkan aliansi-aliansi soial politik dengan cara merangkul berbagai ormas pendukung ke dalam barisan penyuksesan. Berbagai ormas pendukung jelas berharap mereka mendapatkan berbagai pengistemawaan, termasuk perlindungan dari ancaman penghentian kegiatan sementara bila kandidatnya memenangi pemilu kada. Proses dalam forum musyawarah pimpinan daerah jelas-jelas akan tersandera kepentingan-kepentingan melekat ini dalam rembuk mereka tentang ulah suatu ormas tertentu.

Tarik-ulur kepentingan dan dagang sapi politik dalam forum pimpinan daerah kala membahas dan memutuskan keberlangsungan nasib suatu organisasi masyarakat akan berlarut-larut akibat ketidakpastian yang akan sangat merugikan anggota-anggota suatu organisasi. Hak kebebasan berkumpul dan bersyarikat akhirnya akan jadi bulan-bulanan tawar-menawar yang sangat transaksional. Sudah lama terlacak, di belakang setiap unsur pimpinan daerah ada kepentingan ekonomi kelompok bisnis tertentu dan kelompok pemungut rente dengan ataupun tanpa intimidasi fisik dan keamanan. Hal itu akan membuat hakikat kebebasan demokratik warga negara kian kering kerontang.

Ketiga, RUU Ormas yang dijadwalkan akan disahkan besok, Selasa, 2 Juli 2013, juga bersifat ahistoris dalam sekurang-kurangnya dua butir berikut. Pertama, pengaturan sejenis ini biasanya marak dibuat rezim-rezim otoriter di masa masing-masing. Sesudah reformasi 1998, negara dan bangsa Indonesia sesungguhnya sudah mulai menapak ke alam peradaban demokratis. Karena itu, pengaturan semacam ini secara diametral berlawanan dengan jarum jam sejarah.

Kedua, dalam sejarah pergerakan kemerdekaan bangsa ini, para the founding fathers and mothers kita sesungguhnya ditempa bakat dan kemampuan berorganisasi mereka, sebagai anggota biasa dan apalagi sebagai pemimpin dalam pondok-pondok politik yang terwadahi dalam sejumlah organisasi masyarakat. 

Jadi, ormas ialah infrastruktur strategis dan vital bagi berbagai partai politik yang kemudian tumbuh menjamur. Berbagai ormas yang bebas berkiprah pasti akan mampu membebaskan berbagai parpol yang jadi pilar utama demokrasi dari kerja-kerja penyemaian signifikan yang sangat menguras pikiran, tenaga, dan sumber daya lainnya di periode-periode awal pemantapan infrastruktur demokrasi.

Jadi, bila ruang gerak ormasormas pembenih awal terhalang, kalau tidak malah terbonsai, oleh suatu otoritas dari luar dan dari atas organisasi itu sendiri, dapat dipastikan akan terjadi defisit demokrasi secara substansial. Bila berkelanjutan bom waktu RUU Ormas ini berdetak di jantung demokrasi, yang akan terjadi pada akhirnya bukan hanya kemarau demokrasi panjang, melainkan juga gagal panen demokrasi dalam membuahkan kesejahteraan bagi warga negara bangsa ini.

Bila masa pemerintahan Presiden Yudhoyono ingin mewariskan sesuatu (significant legacy) yang sangat mendasar, strategis, dan bernilai bagi penegakan peradaban demokrasi ke generasi-generasi mendatang, segera matikan detak bom waktu RUU Ormas sebelum meledak dalam pengesahannya menjadi undang-undang, besok, 2 Juli 2013. Ledakan-ledakan yang tidak diinginkan itu akan mengamblaskan infrastruktur terpokok bagi superstruktur partai politik di atasnya.


Semoga Tuhan menjernihkan dan membeningkan nurani dan pikiran para politikus Senayan untuk mencabut UU Ormas Orba dan sekaligus juga mengeluarkan RUU Ormas dari daftar agenda legislasi untuk selama-lamanya.

Amin. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar