Kamis, 04 Juli 2013

Ilusi Politik tentang Pemilu 2014

Ilusi Politik tentang Pemilu 2014
Thomas Koten ;   Direktur Social Development Center
SUARA KARYA, 03 Juli 2013


Pemilu 2014 yang tinggal satu tahun lagi bisa dipastikan melahirkan pemimpin baru, mengingat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meskipun dianggap mampu tetapi berdasarkan konstitusi tidak boleh mencalonkan diri lagi untuk ketiga kalinya. Berbagai harapan akan sebuah perubahan dan perbaikan masa depan bangsa, menggelayut terhadap pemimpin hasil pemilihan umum (pemilu) 2014 itu.

Pertanyaannya adalah, apakah bangsa ini pada pemilu 2014 akan memilih dan mampu melahirkan seorang pemimpin yang benar-benar sesuai dengan harapan-harapan masyarakat? Apakah realistis harapan-harapan tersebut?

Harapan akan perubahan dan perbaikan pada seorang pemimpin terpilih boleh dikatakan tidak berlebihan, mengingat para pemimpin sebelum menjalankan amanahnya, diwajibkan berikrar untuk menghambakan diri pada tujuan menyejahterakan atau membawa perbaikan nasib rakyat. Namun, kerap dikatakan harapan itu jauh panggang dari api. Masyarakat yang terpesona oleh sosok seorang pemimpin yang ideal, akhirnya menyaksikan kesenjangan antara kemuliaan politik dengan realitas sosial, ekonomi dan politik dalam keseharian. Pemimpin dinilai terus terlena dalam kenikmatan kekuasaan dan rakyat dibiarkan bergelut dengan kesulitannya.

Namun, apakah memang demikian? Apakah benar pemimpin atau pemerintah tidak memperjuangkan perbaikan nasib rakyat alias hanya terlena dalam kenikmatan kekuasaan yang menawarkan segala bentuk priviledse dan kehormatan atau kemuliaan diri? Atau, pemerintah memang sudah bekerja keras dan sudah berjuang maksimal, tetapi masyarakat tidak menyadarinya? Atau, karena masyarakat berharap terlalu banyak dari pemerintah sehingga apa pun usaha dan hasil kerja keras pemerintah selalu dianggap masih kurang?

Selama ini masyarakat seperti berada dalam dua posisi yang berbeda, alias masyarakat terbelah dalam pengharapan. Pertama, sebagian rakyat senantiasa menempatkan diri sebagai oposisi dengan memberi penilaian tentang pemerintah yang hanya gemar membangun citra politik, tidak berbuat maksimal untuk kesejahteraan rakyat. Keamanan masyarakat pun tidak diberi perhatian secara khusus dengan memberi perlindungan yang maksimal.

Artinya, masyarakat selalu menganggap pemerintah atau pemimpin sebagai makhluk superhero, manusia serba bisa dalam mengatasi segala persoalan masyarakat. Masyarakat seperti terus bermimpi tentang pemerintah yang hebat dengan kekuatan dan tanggung jawab besar. Lalu, dengan mendukung mimpi tentang pemerintah yang superhero itu, masyarakat menebarkan isu-isu populisme seperti rendahnya kesejahteraan, membuncahnya pengangguran, dan terus bercokolnya kemiskinan sebagai tragedi kegagalan pemerintah. Pemerintah atau pemimpin dinilai tidak berjuang maksimal untuk mengatasi semua itu. Atau, pemerintah dicap tidak sanggup memimpin bangsa ini.

Kedua, sebagian kecil masyarakat yang boleh dikatakan bersama pemerintah, tidak jarang membela diri dengan mengatakan pemerintah sudah bekerja keras dan berjuang maksimal, lagi pula pemerintah bukanlah sekelompok manusia superhero, serba bisa dalam menyelesaikan segala persoalan bangsa. Mereka balik bertanya, apakah kesejahteraan masyarakat, kemiskinan dan pengangguran semata-mata menjadi tanggung jawab pemerintah atau pemimpin? Bagi mereka, pemerintah atau pemimpin, sebagaimana Adam Smith, cukup memfokuskan pada tiga hal utama, perdamaian dan/atau keamaman, pajak yang ringkas, dan lembaga hukum atau peradilan atau penegakan hukum yang baik.

Bertolak hal ini, menyitir Tata Mustasya (2007), sejarah ekonomi modern menunjukkan, faktor terbesar kemajuan ekonomi suatu negara adalah kewirausahaan (enterpreneurship), bukan pemerintah atau pemimpin yang hebat. Outputnya adalah kreativitas, inovasi diikuti semangat yang tinggi berjuang secara bersama dan berkesinambungan menyejahterakan rakyat. Masalahnya, ekonomi hanya bisa bergerak untuk mendongkrak kesejahteraan rakyat, disebabkan oleh peningkatan produktivitas, kreativitas, dan inovasi serta motivasi yang terangkum dalam kewirausahaan. Variabel semua itu sebagian besar berada di luar jangkauan pemerintah, alias berada dalam kinerja masyarakat seluruhnya.

Artinya, pemerintah atau pemimpin bukanlah superhero, dan tugas pemerintah hanya memfasilitasi dan tidak merintangi tumbuhnya kewirausahaan. Hal itu dilakukan pemerintah dengan cara mengikuti pandangan jenial Adam Smith, yaitu menciptakan keamanan yang kondusif, pajak yang tidak berbelit-belit dan penegakan dan kepastian hukum. Dalam hal ini, segala bentuk premanisme dan pungutan liar, serta suap dan korupsi harus diberantas secara tegas, dan segala penyelewengan yang menyangkut pajak harus diselesaikan oleh pemerintah. Terutama segala bentuk penyimpangan dalam kehidupan masyarakat yang menghambat tumbuhnya kewirausahaan, serta segala bentuk pembunuhan terhadap kreativitas dan inovasi harus dicegah oleh pemerintah.

Perlu digarisbawahi, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tanggung jawab sesungguhnya menjadi tersebar pada semua orang. Masyarakat tidak bisa berilusi tentang pemimpin yang menjadi ratu adil atau manusia superhero atau makhluk dari planet lain yang dapat menyelesaikan segala persoalan kemasyarakatan dan keberbangsaan.

Namun, harus diakui, bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dibutuhkan pemimpin yang bisa membawa rakyat kepada kesejahteraan dan kemakmuran lewat semua kebijakan, terutama ekonomi dan politik berpihak pada rakyat. Pemimpin harus kuat, tegas, berintegritas, jangan lamban, dan hanya gemar tebar pesona alias hanya mengedepankan pencitraan. Tetapi, harus diyakini bahwa kesejahteraan dan masa depan negeri ini berada di pundak kita bersama, bukan hanya kepada pemimpin terpilih. Pemerintah atau pemimpin bersama rakyat harus bahu-membahu dalam merakit dan membangun masa depan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik sesuai dengan cita-cita Republik.

Yang paling mungkin lebih elegan, memulai dan terus belajar untuk hidup ibarat di areal tanpa negara atau tanpa pemerintah. Artinya, hidup yang tidak terlalu menggantungkan nasib dan hidupnya pada negara. Rakyat harus terus memupuk mentalitas mandiri tanpa bergantung penuh pada negara, dengan mengembangkan daya kreativitasnya, membentuk kemampuan invonasi, motivasi, dus mengaktualisasikan dan mengembangkan potensi diri masing-masing untuk maju meraih sukses di masa depan. Inilah catatan penting bagi publik dalam menyongsong pemilu 2014. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar