|
SUARA
KARYA, 03 Juli 2013
Pemilu 2014 yang tinggal satu
tahun lagi bisa dipastikan melahirkan pemimpin baru, mengingat Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono meskipun dianggap mampu tetapi berdasarkan konstitusi tidak
boleh mencalonkan diri lagi untuk ketiga kalinya. Berbagai harapan akan sebuah
perubahan dan perbaikan masa depan bangsa, menggelayut terhadap pemimpin hasil
pemilihan umum (pemilu) 2014 itu.
Pertanyaannya adalah, apakah
bangsa ini pada pemilu 2014 akan memilih dan mampu melahirkan seorang pemimpin
yang benar-benar sesuai dengan harapan-harapan masyarakat? Apakah realistis
harapan-harapan tersebut?
Harapan akan perubahan dan
perbaikan pada seorang pemimpin terpilih boleh dikatakan tidak berlebihan,
mengingat para pemimpin sebelum menjalankan amanahnya, diwajibkan berikrar
untuk menghambakan diri pada tujuan menyejahterakan atau membawa perbaikan
nasib rakyat. Namun, kerap dikatakan harapan itu jauh panggang dari api.
Masyarakat yang terpesona oleh sosok seorang pemimpin yang ideal, akhirnya
menyaksikan kesenjangan antara kemuliaan politik dengan realitas sosial,
ekonomi dan politik dalam keseharian. Pemimpin dinilai terus terlena dalam
kenikmatan kekuasaan dan rakyat dibiarkan bergelut dengan kesulitannya.
Namun, apakah memang demikian?
Apakah benar pemimpin atau pemerintah tidak memperjuangkan perbaikan nasib
rakyat alias hanya terlena dalam kenikmatan kekuasaan yang menawarkan segala
bentuk priviledse dan kehormatan atau kemuliaan diri? Atau, pemerintah memang
sudah bekerja keras dan sudah berjuang maksimal, tetapi masyarakat tidak
menyadarinya? Atau, karena masyarakat berharap terlalu banyak dari pemerintah
sehingga apa pun usaha dan hasil kerja keras pemerintah selalu dianggap masih
kurang?
Selama ini masyarakat seperti
berada dalam dua posisi yang berbeda, alias masyarakat terbelah dalam
pengharapan. Pertama, sebagian rakyat senantiasa menempatkan diri sebagai
oposisi dengan memberi penilaian tentang pemerintah yang hanya gemar membangun
citra politik, tidak berbuat maksimal untuk kesejahteraan rakyat. Keamanan
masyarakat pun tidak diberi perhatian secara khusus dengan memberi perlindungan
yang maksimal.
Artinya, masyarakat selalu
menganggap pemerintah atau pemimpin sebagai makhluk superhero, manusia serba
bisa dalam mengatasi segala persoalan masyarakat. Masyarakat seperti terus
bermimpi tentang pemerintah yang hebat dengan kekuatan dan tanggung jawab
besar. Lalu, dengan mendukung mimpi tentang pemerintah yang superhero itu,
masyarakat menebarkan isu-isu populisme seperti rendahnya kesejahteraan,
membuncahnya pengangguran, dan terus bercokolnya kemiskinan sebagai tragedi
kegagalan pemerintah. Pemerintah atau pemimpin dinilai tidak berjuang maksimal
untuk mengatasi semua itu. Atau, pemerintah dicap tidak sanggup memimpin bangsa
ini.
Kedua, sebagian kecil masyarakat
yang boleh dikatakan bersama pemerintah, tidak jarang membela diri dengan
mengatakan pemerintah sudah bekerja keras dan berjuang maksimal, lagi pula
pemerintah bukanlah sekelompok manusia superhero, serba bisa dalam
menyelesaikan segala persoalan bangsa. Mereka balik bertanya, apakah
kesejahteraan masyarakat, kemiskinan dan pengangguran semata-mata menjadi
tanggung jawab pemerintah atau pemimpin? Bagi mereka, pemerintah atau pemimpin,
sebagaimana Adam Smith, cukup memfokuskan pada tiga hal utama, perdamaian
dan/atau keamaman, pajak yang ringkas, dan lembaga hukum atau peradilan atau penegakan
hukum yang baik.
Bertolak hal ini, menyitir Tata
Mustasya (2007), sejarah ekonomi modern menunjukkan, faktor terbesar kemajuan
ekonomi suatu negara adalah kewirausahaan (enterpreneurship),
bukan pemerintah atau pemimpin yang hebat. Outputnya adalah kreativitas,
inovasi diikuti semangat yang tinggi berjuang secara bersama dan
berkesinambungan menyejahterakan rakyat. Masalahnya, ekonomi hanya bisa
bergerak untuk mendongkrak kesejahteraan rakyat, disebabkan oleh peningkatan
produktivitas, kreativitas, dan inovasi serta motivasi yang terangkum dalam
kewirausahaan. Variabel semua itu sebagian besar berada di luar jangkauan
pemerintah, alias berada dalam kinerja masyarakat seluruhnya.
Artinya, pemerintah atau pemimpin
bukanlah superhero, dan tugas pemerintah hanya memfasilitasi dan tidak
merintangi tumbuhnya kewirausahaan. Hal itu dilakukan pemerintah dengan cara
mengikuti pandangan jenial Adam Smith, yaitu menciptakan keamanan yang
kondusif, pajak yang tidak berbelit-belit dan penegakan dan kepastian hukum.
Dalam hal ini, segala bentuk premanisme dan pungutan liar, serta suap dan
korupsi harus diberantas secara tegas, dan segala penyelewengan yang menyangkut
pajak harus diselesaikan oleh pemerintah. Terutama segala bentuk penyimpangan
dalam kehidupan masyarakat yang menghambat tumbuhnya kewirausahaan, serta
segala bentuk pembunuhan terhadap kreativitas dan inovasi harus dicegah oleh
pemerintah.
Perlu digarisbawahi, dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, tanggung jawab sesungguhnya menjadi tersebar
pada semua orang. Masyarakat tidak bisa berilusi tentang pemimpin yang menjadi
ratu adil atau manusia superhero atau makhluk dari planet lain yang dapat
menyelesaikan segala persoalan kemasyarakatan dan keberbangsaan.
Namun, harus diakui, bahwa dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, dibutuhkan pemimpin yang bisa membawa rakyat
kepada kesejahteraan dan kemakmuran lewat semua kebijakan, terutama ekonomi dan
politik berpihak pada rakyat. Pemimpin harus kuat, tegas, berintegritas, jangan
lamban, dan hanya gemar tebar pesona alias hanya mengedepankan pencitraan.
Tetapi, harus diyakini bahwa kesejahteraan dan masa depan negeri ini berada di
pundak kita bersama, bukan hanya kepada pemimpin terpilih. Pemerintah atau
pemimpin bersama rakyat harus bahu-membahu dalam merakit dan membangun masa
depan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik sesuai dengan cita-cita
Republik.
Yang paling mungkin lebih elegan,
memulai dan terus belajar untuk hidup ibarat di areal tanpa negara atau tanpa
pemerintah. Artinya, hidup yang tidak terlalu menggantungkan nasib dan hidupnya
pada negara. Rakyat harus terus memupuk mentalitas mandiri tanpa bergantung
penuh pada negara, dengan mengembangkan daya kreativitasnya, membentuk
kemampuan invonasi, motivasi, dus mengaktualisasikan dan mengembangkan potensi
diri masing-masing untuk maju meraih sukses di masa depan. Inilah catatan
penting bagi publik dalam menyongsong pemilu 2014. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar