Selasa, 02 Juli 2013

“Hantu” yang Terus Mengusik

“Hantu” yang Terus Mengusik
Mohamad Burhanudin ;  Wartawan KOMPAS
KOMPAS, 28 Juni 2013


Nota Kesepahaman Helsinki yang ditandatangani Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka pada 2005 telah menjadi kisah sukses berhentinya konflik panjang di Aceh. Harapan kehidupan baru yang damai, sejahtera, dan demokratis pun hadir. Namun, masa damai tak serta-merta menyemaikan harapan-harapan baru dengan mudah. Beragam persoalan menghampar.

Nota Kesepahaman (MOU) Helsinki membawa era politik baru di Aceh. Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Aceh mendapatkan sejumlah kewenangan khusus dari pemerintah pusat untuk mengurus dirinya. Era politik baru di Aceh pun dimulai. Partai lokal juga muncul dan calon independen dimungkinkan untuk mewadahi aspirasi masyarakat. Syariat Islam disepakati untuk diterapkan, selain kewenangan lain, seperti pengelolaan sumber daya alam, penguasaan atas 70 persen cadangan hidrokarbon, serta hak atas dana otonomi khusus.

Perjanjian damai menjadi babak baru hubungan pemerintah pusat dengan Aceh, yang kini dikuasai mantan elite Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun, hubungan baru yang diharapkan hangat kenyataannya kerap memanas. Implementasi atas butir-butir MOU Helsinki dan UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh yang tak kunjung tuntas kerap memantik ketegangan Aceh dengan pusat. Ditambah sejumlah regulasi yang tumpang tindih, terutama kekhususan Aceh vis a vis aturan perundangan nasional, sering memunculkan perbedaan interpretasi yang berujung pada perselisihan.

Penolakan Partai Aceh (didirikan para mantan anggota GAM), yang kini menjadi kekuatan politik paling dominan di Aceh, terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh adalah salah satu bentuk rentannya ketegangan pusat dengan Aceh di masa damai.
Penolakan tersebut tak hanya sebatas pada polemik regulasi. Dalam prosesnya kemudian diikuti dengan memanasnya suhu politik lokal, yang diwarnai sejumlah penembakan misterius terhadap etnis pendatang, dan sejumlah kekerasan politik lainnya sepanjang tahun 2011 dan awal 2012.

Isu termutakhir adalah keinginan Pemerintah Aceh mengadopsi simbol-simbol GAM sebagai bendera dan lambang Aceh. Bahkan, Pemerintah Aceh mengesahkan simbol tersebut dalam Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Pemerintah pusat menolak qanun tersebut karena dianggap bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Namun, para elite politik Aceh tetap bergeming dengan penolakan itu.

Isu simbol kerap memicu perselisihan. Pusat pun menyampaikan keprihatinannya soal simbol-simbol GAM, yang terus digunakan, termasuk pada perayaan ulang tahun GAM. Namun, Partai Aceh mengklaim, GAM—sebagai penandatangan MOU—berhak tetap eksis sampai semua ketentuan MOU dipenuhi secara memuaskan oleh pemerintah pusat. Kedua belah pihak sampai saat ini belum mendapatkan titik temu.

Dalam politik lokal, terciptanya kelembagaan demokrasi formal, seperti partai politik lokal baru, belum mengarah pada terbangunnya stabilitas politik demokratis. Yang terjadi justru fragmentasi politik di antara kekuatan-kekuatan politik karena kepentingan politik jangka pendek, ekonomi, dan proyek anggaran pemerintah.

Sayangnya, perbedaan politik itu tak hadir bersamaan dengan pemahaman toleransi atas perbedaan. Contohnya, saat pilkada tahun lalu. Serangkaian intimidasi dan kekerasan politik terjadi terhadap partai politik atau calon tertentu. Partai Aceh sebagai partai lokal terbesar belum menampilkan dirinya secara elegan sebagai partai demokratis.

Meski konflik telah resmi berakhir pada 2005, karakteristik budaya politiknya masih kental oleh nuansa konfrontatif dan mobilisasi untuk mendapatkan citra dan dukungan massa. Dengan berkuasanya mantan pemberontak di tampuk eksekutif dan legislatif, sentimen khusus akan cepat dibangun jika terjadi perbedaan pendapat dengan pusat.

Proses demokratisasi kurang berjalan. Segala bentuk kebijakan ditentukan oleh kelompok yang berkuasa. Pada saat yang sama, peran masyarakat sipil melemah dalam mengkritik kondisi tersebut.

Kesenjangan dan fragmentasi

Riset LIPI pada Mei 2013, ”Kerangka Kerja Pencegahan Konflik Sosial di Indonesia: Strategi dan Tindakan Penanganan Isu Konflik”, Aceh termasuk dari lima daerah yang memiliki tipologi daerah konflik tinggi (selain Papua dan Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, serta Kalimantan Barat).
Itu karena beberapa hal, yakni residu pascakonflik yang didominasi perebutan sumber daya dan isu identitas. 

Selain itu, ketimpangan sosial ekonomi juga merupakan faktor penting dari kontestasi politik di Aceh.
Kenyataannya, delapan tahun setelah disepakatinya MOU Helsinki, Aceh masih tertinggal di belakang provinsi-provinsi lain di Indonesia. Sekitar 20 persen penduduknya masih berada di bawah garis kemiskinan sehingga menempatkan Aceh sebagai provinsi termiskin keenam di Indonesia.

Padahal, dengan dana otonomi khusus, secara keseluruhan, sejak 2008 hingga 2012, Aceh membelanjakan sekitar Rp 91 triliun. Nilai anggaran tersebut lebih besar dari semua provinsi di Sumatera dan menempatkan Aceh sebagai provinsi dengan nilai anggaran terbesar ke-7 nasional.

Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (Mata) Alfian menilai, perencanaan pembangunan yang buruk jadi problem untuk meningkatkan serapan anggaran bagi pengurangan kemiskinan di Aceh. Perencanaan pembangunan lebih didominasi kepentingan-kepentingan politik penguasa sehingga tak tepat sasaran. ”Program lebih banyak dibuat untuk bagi-bagi anggaran kepada kelompok-kelompok tertentu di Aceh,” katanya.

Hampir semua lini kekuatan GAM pasca-MOU Helsinki mendapatkan posisi dari struktur kekuasaan. Sebut saja, Malek Mahmud diangkat menjadi Wali Nanggroe; Zaini Abdullah dipilih melalui PA sebagai Gubernur Aceh; Muzakir Manaf sebagai Ketua Partai Aceh dan sekaligus sebagai Wakil Gubernur Aceh.
Hampir semua elite lokal GAM berada pada posisi Komite Peralihan Aceh. Beberapa anggota DPR Aceh dan kabupaten atau kota merupakan mantan atau yang diusung Partai Aceh. Namun, tak sedikit mantan kombatan GAM yang tak menikmati ”kue” kekuasaan yang diperoleh GAM pada masa damai ini.

Pengamat sosial politik Aceh Adli Abdullah mengatakan, kelompok-kelompok eks GAM yang kecewa sangat rawan dimanfaatkan kelompok tertentu untuk bergerak. ”Di eks GAM saat ini ada dua kelompok, yaitu kelompok mata air dan air mata. Kelompok air mata ini adalah mereka yang kecewa dengan sepak terjang elite-elite GAM yang sekarang berkuasa dan hidup mewah,” katanya.

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, dosen Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Darussalam, dalam penelitiannya di Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Juni lalu, mengungkapkan, para pengikut setia Hasan Tiro menganggap tak ada kata damai di Aceh. Beberapa anggota kombatan memilih untuk tak terlibat dengan apa yang dilakukan elite GAM. ”Bagi kelompok ini, kata yang hendak dicapai dalam berjuang adalah merdeka, bukan damai,” ungkapnya.

Ada pula kelompok yang berevolusi menjadi neo-GAM yang ingin terus berjuang Aceh merdeka. Kelompok neo-GAM ini tak punya tokoh sekaliber Hasan Tiro. Namun, tetap berkonsolidasi internal bagi penguatan kekuatan GAM baru pada masa datang.

Bahkan, beberapa kombatan setia tersebut tak peduli dengan aktivitas diplomasi para eksponen GAM di dalam dan luar negeri. ”Mereka memiliki koneksi ke luar negeri dan melobi di tingkat pemerintahan untuk mendapatkan jatah dari proyek  yang berhasil didapatkan,” kata Kamaruzzaman.

Sayangnya, di tengah fragmentasi politik yang mengancam itu, upaya rekonsiliasi antar-kekuatan politik lokal dan kelompok GAM lain tak juga dilakukan pemerintahan Aceh yang baru. Setidaknya hingga setahun pertama kekuasaannya saat ini. Persoalan ketertinggalan pembangunan ekonomi pun tak mendapat perhatian. Pemerintah Aceh justru lebih disibukkan polemik simbol, Qanun Wali Nanggroe dan beberapa aturan pemilu melawan pemerintah pusat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar