Rabu, 24 Juli 2013

Di Balik RUU Komponen Cadangan

Di Balik RUU Komponen Cadangan
Anton Aliabbas  ;  Direktur Program Research Institute for Democracy and Peace (The RIDeP Institute)
KOMPAS, 23 Juli 2013


Walaupun Komisi I DPR menolak melanjutkan pembahasan RUU Komponen Cadangan, pemerintah terkesan tetap ngotot membahas draf ini.

Semangat itu setidaknya tergambar jelas dalam tulisan Budi Susilo Soepandji bertajuk ”Bias RUU Komponen Cadangan” (Kompas, 9/7). Tulisan ini akan merespons artikel tersebut, yang menganggap pengkritik RUU Komponen Cadangan sebagai pihak yang berpandangan sempit.

Sebagai Ketua Pokja RUU Komponen Cadangan (Komcad) (2005-2009), tentu sangat wajar jika Budi Susilo sangat menginginkan draf tersebut dibahas parlemen. Namun, keinginan kuat pemerintah untuk mengegolkan draf tersebut tak selaras dengan upaya yang dilakukan. Dalam rapat konsultasi di DPR pada 11 Januari 2011 dan 26 Oktober 2011, sudah disepakati untuk menunda pembahasan RUU Komcad sambil menunggu pembahasan RUU Keamanan Nasional.

Komisi I DPR pernah meminta penyempurnaan dokumen RUU Komcad sebelum dilakukan pembahasan. Namun, hingga Rapat Kerja Komisi I DPR dengan Kementerian Pertahanan pada 20 Mei silam, masih belum satu pun pasal yang diperbaiki. Hasilnya pun tidak mengherankan dan masih sama. Komisi I tetap menolak pembahasan RUU Komcad. Ngotot-nya pemerintah yang tetap memajukan draf kontroversial tersebut jelas menimbulkan pertanyaan besar. Ada apa di balik ini?

Diskriminatif dan gagal

Sungguh tidak bisa dimungkiri keberadaan RUU Komcad amanat dari legislasi pendahulunya, UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara. RUU Komcad satu dari pekerjaan rumah yang diwariskan UU yang mengatur sektor keamanan. Sayangnya, sikap ngotot serupa yang ditunjukkan pemerintah tak tampak pada pekerjaan rumah lain, seperti pembentukan Dewan Pertahanan Nasional (Pasal 15 UU No 3/2002) atau revisi UU Peradilan Militer (Pasal 64 jo Pasal 74 UU No 34/2004 tentang TNI).

Sikap ”diskriminatif” pemerintah lainnya jelas terlihat di dalam draf RUU Komcad. Dalam RUU ini, secara eksplisit, pemerintah hanya akan membebankan ”wajib militer” pada tiga jenis profesi: pekerja, buruh, dan pegawai negeri sipil, termasuk di dalamnya mantan prajurit TNI (Pasal 8 Ayat 1 dan 2). Padahal, masih ada banyak profesi di luar itu. Mengapa artis, anggota DPR atau pengusaha, misalnya, tak dilabeli ”wajib” mengikuti program komponen cadangan?

Di sisi lain, dalam artikelnya, Budi Susilo Soepandji menyebutkan adanya pemahaman keliru yang melekatkan Komcad sebagai wajib militer. Padahal, persepsi itu jika ditelaah lebih lanjut justru berasal dari draf RUU Komcad itu sendiri. Setidaknya ada 27 pasal dari 44 pasal RUU Komcad atau sekitar 61,2 persen klausul yang mengatur mengenai anggota komponen cadangan manusia. Bandingkan dengan klausa yang mengatur penggunaan sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional untuk komponen cadangan yang hanya 6 pasal (13,6 persen). Ini berarti draf RUU ini jelas menitikberatkan pada pengaturan orang sebagai komponen cadangan daripada mengatur secara umum apa, bagaimana, dan mengapa kita butuh Komcad.

Secara sederhana, setidaknya ada lima kegagalan pemerintah dalam meyakinkan publik tentang urgensi Komcad melalui RUU ini. Pertama, RUU ini jelas tidak menganut prinsip universalitas HAM yang menjamin adanya perbedaan keyakinan yang dianut warga negara. Budi Susilo Soepandji dapat saja berargumen bahwa RUU ini bersifat sukarela. Namun, hal tersebut otomatis terbantahkan dengan ketiadaan mekanisme penolakan (conscientious objection) yang dimiliki warga negara. Secara tersirat, dalam RUU ini negara memiliki daya paksa yang diwujudkan dengan ancaman sanksi satu tahun penjara di samping tidak ada penegasan yang menyatakan perekrutan sukarela.

Kedua, pemerintah tidak berhasil menunjukkan ancaman strategis seperti apa yang dihadapi Indonesia dalam 20-25 tahun mendatang yang membutuhkan personel komponen cadangan yang sangat banyak. Ketika tren kehadiran manusia dalam perang lambat laun dikurangi dan diganti dengan kemajuan teknologi, Indonesia malah lebih sibuk menyiapkan personel cadangan yang banyak.

Ketiga, pemerintah tidak mampu memberikan penjelasan memadai tentang alat ukur keberadaan Komcad. Alat ukur ini menjadi penting untuk menilai sejauh mana kontribusi dan efektivitas keberadaan Komcad dalam menanggulangi ancaman di masa mendatang. Yang ada justru tidak adanya batasan dan aturan yang jelas mengenai Komcad.

Keempat, pemerintah gagal memberi jaminan yang terukur mengenai keberadaan Komcad akan memperbesar dan memperkuat kekuatan serta kemampuan TNI sebagai komponen utama pertahanan negara. Ketiadaan batasan umur maksimal dan pendidikan dalam perekrutan justru semakin mengaburkan tingkat efektivitas keberadaan Komcad sekaligus memberi ketidakpastian akan adanya penguatan kualitas TNI.

Terakhir, yang justru berpotensi menabrak UU lain, RUU ini justru membuka celah bagi sumber pendanaan selain negara untuk ikut membiayai Komcad (Pasal 37). Padahal, Pasal 25 UU No 3/2002 dan Pasal 66 UU No 34/2004 sudah tegas menyebutkan, pembiayaan anggaran pertahanan dipenuhi APBN.

Jujur

Sudah semestinya beda pendapat dalam diskursus publik diapresiasi pemerintah. Tidak ada dalam diskursus publik itu yang sesat-menyesatkan. Pada prinsipnya, penuangan gagasan dan ide intelektual adalah kekayaan demokrasi. Pandangan berbeda yang diungkapkan kelompok masyarakat sipil terhadap sebuah isu seyogianya diterima sebagai masukan, bukan malah menuduh pihak yang berpandangan berbeda itu menyesatkan. Biarlah rakyat yang menilai mana pendapat yang lebih rasional dari ragam pandangan yang ada.

Ada baiknya pernyataan KSAD Jenderal Moeldoko tentang pentingnya saling tukar informasi dengan jujur (Kompas, 9/7/2013) patut dirintis dan direalisasikan. Mimpi untuk sederajat, saling pengertian, dan saling percaya sipil-militer guna membangun sistem pertahanan negara yang kokoh, seperti yang dituliskan Budi Susilo Soepandji, bukanlah sebuah keniscayaan apalagi kemustahilan.


Membangun harmoni sipil- militer semestinya diletakkan sebagai cita-cita mulia bersama. Untuk menuju ke arah itu, tentu membutuhkan waktu serta kesadaran bersama, bukan cara instan, apalagi disertai pemaksaan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar