|
PT
Freeport Indonesia (PT- FI)-penghasil emas dan tembaga terbesar di dunia-kini
tengah mengalami musibah. Sebanyak 39 karyawannya terjebak karena ruangan
dalam terowong an runtuh, Selasa (14/5) lalu. Sampai saat ini, dari 39
pekerja itu, yang selamat 11 orang, tewas 5 orang, dan sisanya 23 orang masih
terperangkap dalam terowongan di area Big Gossan, Mimika. Kita
berdoa dan berharap bahwa 23 karyawan tersebut bisa diselamatkan.
Terlepas dari musibah tersebut, PTFI memang punya banyak masalah. Bukan sekadar
tailingnya yang merusak hutan,
menghancurkan sungai, dan mencemari laut di sekitarnya, hari-hari ini PTFI tengah
menunjukkan kenakalannya: menolak membangun smelter di Indonesia.
Padahal,
pembangunan smelter untuk perusahaan
tambang di Indonesia-apalagi sebesar Freeport-merupakan kewajiban sesuai amanat
Undang-Undang tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba). Tujuan pembangunan smelter ini adalah untuk mengubah bahan
mineral hasil tambang menjadi bahan setengah jadi. Harapan pemerintah
mengeluarkan aturan ini agar nilai jual mineral meningkat sehingga memberikan
keuntungan lebih besar bagi pemerintah. Namun, apa daya! PTFI menolaknya.
Penolakan
tersebut jelas membuat pemerintah kesal. Ini karena aturan pembangunan smelter telah tertuang dalam Peraturan
Menteri (Permen) ESDM Nomor 7 Tahun 2012 yang merupakan turunan dari UU Minerba
Nomor 4 Tahun 2009. Berdasarkan aturan yang tertuang dalam permen tersebut,
semua pengusaha mineral harus membangun smelter agar mendapat izin ekspor ke
luar negeri.
Saat ini,
sebanyak 158 pengusaha mineral siap membangun smelter. Pemerintah memberi
kelonggaran waktu sampai 2014 untuk perusahaan tambang yang akan membangun
instalasi pengolah an tersebut. Jika tidak, operasinya disetop. Persoalannya,
bisakah pemerintah menyetop operasi PTFI yang kaya raya dan dekat dengan elite
penguasa itu?
Sebagai
gambaran, kita lihat bagaimana tingkah laku Freeport di Papua. Ia punya aturan
sendiri, punya pelabuhan sendiri, punya lapangan terbang sendiri, punya aturan
lalu lintas sendiri, dan punya standar operasi kerja sendiri. Memang, kadang
apa yang dilakukannya baik, tapi lebih banyak merugikannya.
Maklumlah, yang namanya korporasi, tujuan utamanya adalah untung. Untuk
mendapatkan keuntungan itu, apa pun akan ditempuh Freeport, termasuk memanipulasi
hasil tambang maupun biaya operasional tambang.
Amien
Rais pernah mempertanyakan bahwa pernahkan hasil tambang Freeport diaudit? Berapa
ribu ton hasil emasnya, berapa hasil tembaganya? Lalu, berapa bagian negara, bagaimana
pajaknya? Semuanya masih gelap sampai hari ini.
Kini, Freeport menolak aturan pemerintah untuk membangun smelter. Javier Targhetta, vice
president of Marketing and Sales Freeport McMoran, induk PTFI, menyatakan
ia enggan membangun smelter karena
membutuhkan biaya besar, tapi keuntungannya kecil. Biaya penyulingan yang besar
ditambah anjloknya harga komoditas membuat bisnis smelter menjadi sulit.
Presiden
Direktur PTFI Rozik Boedioro Soetjipto menyatakan pembangunan smelter
membutuhkan investasi 1 miliar dolar AS hingga 1,5 miliar dolar AS dengan
kapasitas terpasang 300 ribu ton per tahun. Menurutnya, bila dikalkulasi, investasi
untuk smelter ini kurang menguntungkan. Benarkah pendapat Rozik?
Kurang menguntungkan, jelas bukan berarti tidak menguntungkan.
Kurang menguntungkan, jelas bukan berarti tidak menguntungkan.
Keuntungannya
mungkin kecil dilihat dari segi investasi, tapi keuntungan `sampingannya' cukup
besar. Misalnya, penyerapan tenaga kerja, pembelajaran bagi pengusaha tambang
mineral, dan peningkatan SDM bagi tenaga kerja Indonesia. Dengan demikian,
alasan Rozik bahwa pembangunan smelter
kurang menguntungkan tidak bisa dibenarkan. Lebih dari itu, pemerintah sendiri
sudah memberikan solusi terhadap alasan PTFI di atas. Kementerian ESDM menyarankan
PTFI bekerja sama dengan perusahaan lain dalam membangun smelter. PTFI bisa menggandeng salah satu perusahaan smelter yang saat ini kekurangan dana,
salah satunya PT Nusantara Smelting.
Jika PTFI
punya niat baik, seharusnya tidak ada penolakan sebab masih ada peluang kerja
sama dengan perusahaan lain untuk membangun smelter.
Akan tetapi, jika PTFI tetap bandel, pemerintah harus menunjukkan ketegasannya.
Tepat apa yang dikatakan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia Poltak
Sitanggang bahwa pembangkangan yang ditunjukkan Freeport menjadi bukti bahwa
perusahaan itu harus hengkang dari Indonesia. Persoalannya, sekali lagi,
PTFI sejak lama dikenal nakal dan tertutup. Ini terjadi karena PTFI telah lama
menikmati kondisi menjadi anak emas pemerintah sehingga `kenakalannya'
terpelihara.
Sekarang,
ketika pemerintah berusaha meningkatkan `keuntungan' dari mineral yang digali dari
bumi Indonesia dengan cara mewajibkan setiap perusahaan tambang membangun
smelter sekaligus meningkatkan SDM dalam bidang pengolahan mineral, PTFI yang
telah berdiri sejak 1967, ternyata menolak. Kalau begitu, mana sumbangsih
keberadaan PTFI selama 46 tahun untuk peningkatan kualitas SDM dan kemakmuran
rakyat Indonesia? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar