|
Diskusi
mengenai solusi ekonomi kita tak pernah selesai, selalu bertabrakan dengan
kenyataan-kenyataan bahwa ekonomi kerakyatan sebagai pilihan ideal (baca juga:
ideologis) sebagai turunan keber-Pancasila-an kita, dengan kehadiran pemenang
ekonomi global, neoliberalisme. Seperti kita ketahui, amanat Pancasila dan
Pasal 33 UUD 1945 mengarahkan perekonomian kita sebenarnya pada ruang ekonomi
kerakyatan yang cenderung sosialistik khas Indonesia.
Dibahasakan
Muhammad Hatta, koperasi sebagai ujung tombak ekonomi nasional. Atau,
dibahasakan Sukarno sebagai Marhaenisme. Tetapi, kenyataan berbicara lain,
setelah menangnya mafia Berkeley pascakejatuhan Orde Lama maka ekonomi liberal
selama lebih dari 40 tahun telah mengakar menjadi bagian kebijakan nasional,
"otak" keilmuan, serta lifestyle
ethics para ekonom, pebisnis, sampai akuntan di negeri ini.
Hal ini
tentunya akan berdampak pula pada kebijakan negera. Misalnya, kebijakan BBM.
Kalau cara berpikir ekonomi kita masih menggunakan pola transaksional, price
mechanism, dan orientasi pasar, menjadi wajar pengadaan BBM bagi rakyat harus
berbayar. Bila rakyat tidak bisa membayar maka jalan keluarnya adalah subsidi
oleh negara. Selanjutnya bila negara tidak dapat lagi menyubsidi, BBM harus
dinaikkan harganya sehingga beban APBN mencukupi.
Apakah ini sejalan dengan UUD 45 Pasal 33 yang mengamanatkan tanah, air, udara
dikuasai negara, dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat?
Penulis rasa memang terdapat inkonsistensi paradigmatik atas kebijakan energi
nasional yang berorientasi pasar dengan ekonomi ala Pasal 33.
Hampir
lima tahun penulis banyak melakukan diskusi mengenai etika ekonomi dan bisnis
dengan para dosen. Salah satu yang paling menarik adalah substansi nilai (core values) dan etika sains serta
profesi di lingkungan ekonomi, bisnis, dan akuntansi. Sebelum menanyakan secara
detail, biasanya penulis menanyakan ideologi keilmuan dan keberpihakan mereka.
Fakta
pertama, penulis mendiskusikan lebih jauh menggunakan model keadilan distribusi
Beauchamp dan Bowie. Jawaban yang penulis dapatkan di awal sekitar tahun 2008
ternyata sangat mengejutkan, lebih dari 60 persen audience memilih jawaban liberalistik. Hal ini ternyata bersifat
tetap dan cenderung meningkat selama lima tahun kemudian.
Fakta
kedua, biasanya penulis melanjutkan diskusi dengan menyodorkan tiga nilai dasar
neoliberal (maksimalisasi keuntungan, akumulasi kekayaan, dan pasar bebas) yang
memunculkan orientasi aksiomatis dan teknis. Nilai dasar liberal kemudian men-drive orientasi aksiomatis ekonomi,
yaitu manusia berusaha semaksimal mungkin dengan pengorbanan seminimal mungkin
untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya.
Orientasi
aksiomatik liberal menurunkan pola berpikir bisnis dan pencatatan informasi
akuntansi yang mengutamakan bottom line
income berbasis agency theory,
manusia memiliki sifat dasar self
interest yang profit dan wealth
motive dalam koridor price and
transactional mechanism. Para audience
melihatnya sebagai kebenaran yang menjadi dasar dari seluruh logika ilmu sampai
praktik ekonomi/bisnis/akuntansi.
Ketika
penulis menampilkan sila-sila Pancasila sebagai tiga nilai dasar ekonomi, dan
menanyakan secara sederhana, apakah akan berbeda bentuk ekonomi, bisnis, maupun
akuntansinya? Mereka mulai menyadari ada yang salah dengan substansi nilai
ekonomi liberal vis a vis Pancasila
yang sarat mekanisme berkemanusiaan, berkeadilan sosial dan beradab. Sama pula
ketika penulis mendiskusikan di forum-forum ekonomi Islam, dengan core values ekonomi Islam (Allah pusat
kekayaan, zakat-infak-sedekah bentuk distribusi ekonomi egalitarianistik dan
pasar bebas terkendali al-hisbah
dalam koridor ukhuwah (persaudaraan).
Menjadi
benar kemudian bila kebijakan BBM berkiblat pada ekonomi pro pasar based on price and transactional mechanism
dan bukannya humanism and social justice
mechanism. Para ekonom, menteri, anggota DPR-RI, dan semua entitas terkait,
yang mayoritas tanpa sadar telah "terliberalkan" lewat pendidikan
sejak 40 tahun, hanya melihat Pancasila sebagai ideologi, tanpa taring ketika
berhadapan dengan solusi untuk rakyatnya.
Sama
seperti kebijakan pangan dan pertanian kita yang juga berjiwa liberal di bawah
perlindungan UU Pangan atas nama ketahanan pangan untuk keterse- diaan pangan
masyarakat nasional (dan bukannya kemandirian pangan untuk swasembada pangan
sebagai landasan ketersediaan pangan nasional) dengan menempatkan petani
sebagai subordinat perusahaan multinasional. Begitu pula dengan ketergesaan
privatisasi BUMN, sulitnya melansir mobil nasional, keberanian menjalankan Asean Free Trade Area 2015, dan
sebagainya.
Menjadi
benarlah yang dikatakan Buya Ahmad Syafi i Maarif di "Resonansi"
Republika, yaitu "ganti saja Pancasila dan hapus Pasal 33 UUD 1945 (asli)".
Menjadi benar pulakah kesimpulan Vali Nasr dalam bukunya The Rise of Islamic Capitalism: Why the New Muslim Middle Class Is the
Key to Defeating Extremism? bahwa masyarakat Muslim, salah satunya
Indonesia, yang telah diindoktrinasi pikiran liberal telah bergeser gaya hidup
dan orientasinya menjadi apa yang dinamakannya kapitalisme Islami?
Ya mungkin
memang sudah zamannya, dunia, realitas, ideologi, dan pandangan religiositas
telah berubah. Semua didasarkan kenyataan sosial dan bukan lagi doktrin
ideologi Pancasila, atau dogma agama, Islam, misalnya. Pertanyaan lanjutannya,
apakah dengan demikian Pancasila sebagai doktrin perlu ditampilkan lebih
akomodatif, begitu pula wajah doktrin agama harus pula bergeser lebih opurtunistik
dan pragmatis sesuai liberalisme? Nantinya mungkin diperlukan model ekonomi
kerakyatan liberal atau ekonomi Islam liberal yang lebih bernuansa etis
utilitarian dan mengedepankan manfaat pragmatis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar