|
HARI Kebangkitan Nasional yang
diperingati awal pekan ini menyisakan pertanyaan, mampukah bangsa ini bangkit
dari ketertinggalan? Kasus di pabrik aluminium dan panci di Tangerang, Banten,
beberapa waktu lalu menjadi bukti bahwa negara kita sejatinya belum bangkit
dari mentalitas perbudakan. Begitu pun dengan masifnya kasus korupsi yang tiada
henti menyebarkan aroma kemaruk di negeri ini. Api demokrasi yang dibangun 15
tahun melalui gerakan reformasi sepertinya terhalang oleh kabut hitam politik
kuasa pementingan diri yang menikam sendi-sendi kenegaraan.
Sekuat apa pun pemerintah berteriak tentang demokrasi,
cita-cita ini akan terkulai lemas di hati rakyat jika kesamaan nasib sebagai
bangsa kian tercederai perilaku korup yang kian masif. Kini apatisme rakyat
terhadap politik dan hukum di berbagai tempat sudah mulai mengarah ke hukum
rimba. Dalam teori negara, pemerintahlah yang mengajari rakyat berlaku tertib,
santun, antikekerasan. Kenyataannya, negeri ini sudah seperti ‘dolanan’ tempat
rakyatnya mengajari pemerintah bagaimana menjadikan kekerasan, saling bunuh,
sebagai jalan menyelesaikan persoalan dan perbedaan.
Kebebasan beribadah ditelikung, wibawa hukum kian
morat-marit, sementara preman berpakaian sipil, aparat, pejabat, terus
bergentayangan. Setara Institute
melaporkan ada 264 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama sejak 2012. Menurut
The Wahid Institute, terjadi 274
kasus pelanggaran kebebasan beragama di hampir seluruh provinsi. Jumlah itu
lebih banyak daripada kasus serupa yang terjadi di 2011 (267 kasus) dan 2009
(121 kasus).
Kasus perusakan rumah ibadah Ahmadiyah, penyerangan
terhadap kelompok Syiah di Sampang, pembongkaran dinding luar Gereja HKBP Setu
Tamansari, Bekasi, maupun berlarut-larutnya kasus yang menimpa GK Yasmin
menjadi contoh ketidakmampuan dan ketidaktegasan pemerintah berhadapan dengan
berbagai provokasi dan intimidasi kep lompok yang menunggangi l `kebenaran'
seolah miliknya sendiri untuk mengguncang hak asasi rakyat. Bahkan dari sekian
aksi provokasi, intimidasi, dan perusakan terhadap fasilitas beribadah warga
justru dilakukan aparat negara.
Dalam konteks inilah kenapa rakyat memprotes rencana
penganugerahan World Statesman kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
oleh The Appeal of Conscience Foundation
di New York, AS. Daripada menerima penghargaan tersebut, lebih baik Presiden
segera meminta maaf kepada rakyat yang hak-hak meyakini kepercayaannya telah
dilukai selama ini, dan segera berjanji untuk menuntaskan kasuskasus penodaan
terhadap keyakinan warga, kurang dari setahun ini.
Nasib getir
Masih banyak urusan penting yang lebih membutuhkan
perhatian pemerintah, misalnya soal kesenjangan social-ekonomi Indonesia Barat
dan Timur yang masih menganga. Padahal spirit nation-state dan kebanggaan
sebagai bangsa hanya tumbuh nyata dalam negara jika ada kesamaan nasib (historical experience). Untuk kasus
Papua, pemerintah paling banter mengucurkan dana otonomi khusus (otsus) untuk
menunjukkan komitmen politik. Padahal dana itu hanya secuil dari hasil kekayaan
Papua yang disedot pusat. Dana tersebut tak sampai di tangan rakyat selain
masuk ke kantong elite politik, birokrat Papua, maupun pengusaha nonpribumi
yang memenangi tender proyek yang sebagian besarnya bersumber dari dana otsus
itu.
Akibat kemiskinan yang memicu kecemburuan, konflik dan
benih separatis pun terus terpelihara. Pemerintah gagal meresapi kegetiran
batin rakyat. Papua selalu bergejolak dalam batas tertentu bisa `dimaklumi'
karena tidak turut mewarnai sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tetapi
bagaimana dengan Aceh atau daerah lainnya? Ini bukan soal bendera an-sich,
melainkan soal bentara negara yang makin kehilangan wibawa karena lebih tunduk
pada agen korporasi yang diam-diam mau menodai konstitusi, yang terang-terangan
menempel di jidat negeri ini.
Benih-benih konflik sosial pun terus bertebaran karena
terpinggirkannya hak-hak tradisional masyarakat adat seperti suku Dayak di
Kalimantan, tergusurnya masyarakat adat Huaulu dari Sekenima dan masyarakat
adat Seram yang mendiami Pulau Seram oleh mesin pembangunan destruktif pemuja
pertumbuhan ekonomi dan pemodal asing.
Menurut Walhi, kasus Mesuji di Bima dan Lampung bukan tidak
mungkin merambah ke tempat-tempat lain dari 137 `titik ranjau' konflik agraria
yang bakal meledak kapan saja, karena menipisnya penghormatan terhadap hak-hak
lingkungan dan keadilan lingkungan (rights
to environment and environmental justice).
Dari segi fisik-geografis, Indonesia mungkin masih ada,
tetapi secara kedaulatan, dari Sabang sampai Merauke sudah dikaveling
raksasa-raksasa ekonomi multinasional. Bahkan Bali ibaratnya sudah menjadi
‘negara bagian’ ke-9 Australia karena perusahaan-perusahaan yang memproduksi
budaya kreatif setempat sudah diambil alih perusahaan-perusahaan Australia.
Maka ramalan McKinsey Global Institute
bahwa Indonesia juara dunia ekonomi pada 2035 hanyalah ilusi kosong yang
memuji-muji kita.
Tragisnya, elite-elite politik dan birokrasi masih juga
asyik mengutamakan kepentingan diri/kelompok.
Saatnya
bangkit
Lima
tahun sebenarnya waktu yang cukup untuk membenahi fondasi pemerintahan yang
sakit. Apa dikata, pemerintah di kabinet lebih tergoda membagi ‘kue donat’
kekuasaan demi memuaskan syahwat politiknya.
Urusan
pendidikan yang vital sifatnya bagi masa depan bangsa diurus dengan mental proyek
titipan sana-sini. Terciptalah sinetron ujian nasional yang gaduh dan cacat
dengan iklan permohonan maaf dan cuci tangan menteri. Terakhir, bau amis
korupsi terkait penggelembungan dana APBN-P sebesar Rp700 miliar mulai
menyeruak di Ditjen Kebudayaan Kemendikbud.
Di
sisi lain, wakil rakyat tak pernah henti-hentinya menabung kegemarannya berpelesir dan menggangsir uang rakyat
ketimbang `berdarah-darah' menjalankan fungsi legislasi dan pengawasannya.
Bahkan pada 2013 ini bakal terjadi kenaikan anggaran pelesiran DPR sebesar 77%
jika dibandingkan 2012.
Sementara anggaran ke luar negeri dewan naik dari Rp139
miliar menjadi Rp248 miliar (Editorial MI, 18/5). Ironisnya, meskipun bobot
kehadiran di ruang sidang dan target legislasi selalu kedodoran, 90% lebih dari
total anggota DPR itu kembali mencalonkan diri di Pemilu 2014. Artinya
wajahwajah baru legislator dengan kompetensi meyakinkan kian sulit diwujudkan,
apalagi jika di antara wajah baru itu diisi para pesohor yang direkrut secara
terburu-buru oleh partai sambil mencampakkan jejak pengalaman dan
integritasnya.
Karena sudah ditinggalkan oleh demokrasi semu selama 15
tahun, saatnya rakyat mengganjal kehadiran politisi bermasalah dengan tidak
memilih mereka lagi lewat nasionalisasi gerakan antipolitisi busuk. Rakyat
harus memilih politisi yang tidak terstigma korup serta memiliki visi jernih
menyelamatkan konstitusi yang sekarat. Hanya dengan begitu, kebangkitan
politik sebagai landasan untuk membangkitkan negeri ini dari kubur
keterpurukannya bisa terwujud. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar