|
Rencana
penyesuaian (kenaikan) harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi oleh
pemerintah perlu dicermati dan disikapi dengan tepat. Meskipun isu ini
tergolong sensitif, solusi yang tepat sangat dibutuhkan guna menghindari
masalah yang lebih besar lagi di kemudian hari.
Selama
2011 dan 2012, alokasi sub sidi BBM telah mengambil porsi di atas 50 persen
dari keseluruhan subsidi. Bah kan dalam APBN 2013, alokasi subsidi BBM mencapai
lebih dari 60 persen keseluruh an alokasi subsidi serta menghabiskan hampir 12
persen belanja negara.
Ini menimbulkan
risiko fiskal, terutama karena subsidi BBM sangat dipengaruhi oleh besarnya
tingkat konsumsi BBM bersubsidi, harga minyak mentah dunia, dan fluktuasi nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS. Defisit anggaran pemerintah dapat membengkak
jika ternyata konsumsi BBM bersubsidi melampaui kuota, terjadi kenaikan harga
minyak mentah dunia, dan pelemahan nilai tukar rupiah.
Tahun 2013
ini pemerintah mengalokasikan kuota BBM bersubsidi sebesar 46 juta kiloliter.
Namun, pada kenyataannya, konsumsi diperkirakan mencapai lebih dari 48 juta kilo
liter, sehingga akan menambah beban anggaran Pemerintah. Jika konsumsi BBM
bersubsidi tidak terkendali, defisit anggaran terancam melampaui 3 persen dari
PDB serta menciptakan risiko fiskal. Jika hal ini terjadi, maka akan ada
pelanggaran terhadap Undang-Undang No 17/2003 tentang Keuangan Negara yang membatasi
defisit anggaran tidak boleh melebihi 3 persen dari PDB.
Argumen pendukung
Ada
berbagai argumen yang harus diperhatikan yang mendukung penyesuaian harga BBM
bersubsidi. Pertama, ekstraksi minyak dari perut bumi membutuhkan teknologi
tinggi dan biaya yang mahal. Maka menjadi ironis jika harga seliter BBM yang
diperoleh dengan cara sulit justru lebih murah di banding harga seliter air
mineral yang menggunakan teknologi relatif jauh lebih mudah dan murah.
Kedua,
sudah hampir 10 tahun ter- akhir Indonesia menjadi negara net impor terminyak
bumi. Implikasinya, fluktuasi harga serta pasokan minyak dunia akan
mempengaruhi biaya produksi BBM bersubsidi. Bahkan, diperkirakan cadangan
minyak bumi Indonesia hanya cukup untuk 10 tahun mendatang jika tidak ditemukan
sumber minyak bumi yang baru.
Argumen
ketiga bahwa harga BBM bersubsidi yang rendah menciptakan moral hazardsehingga
dapat mendorong inefisiensi konsumsi BBM bersubsidi.
Keempat, adanya disparitas (perbedaan) harga yang terlalu jauh antara BBM bersubsidi
dan nonsubsidi menyebabkan masyarakat cenderung memilih konsumsi BBM
bersubsidi.
Kelima,
rendahnya harga BBM bersubsidi menciptakan disinsentif bagi pengembangan energi
baru dan terbarukan, karena harga yang dihasilkan masih lebih tinggi dibanding
harga BBM bersubsidi. Argumen terakhir ialah besarnya alokasi subsidi BBM telah
mempersempit ruang gerak fiskal yang semestinya dapat dialokasikan untuk
belanja modal maupun bantuan sosial bagi masyarakat miskin.
Namun
demikian, perlu diperhatikan bahwa pengambilan keputusan untuk penyesuaian
harga sebaiknya dilakukan secara cepat dan tepat. Pembahasan yang terlalu lama
untuk menentukan kenaikan harga BBM bersubsidi dapat menciptakan efek
psikologis dan ketidakpastian di dalam masyarakat. Penyesuaian harga perlu dibarengi
dengan perbaikan distribusi BBM bersubsidi di daerah.
Penerapan
BLSM Seiring dengan rencana penyesuaian harga BBM bersubsidi, pemerintah berencana
untuk menyalurkan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebagai
kompensasi kenaikan harga BBM. Jangka waktu BLSM selama 5 bulan. Pemerintah
mencoba mengatasi dam pak kemiskinan akibat inflasi dari kenaikan harga BBM
bersubsidi dengan mengintervensi secara langsung individu dan rumah tangga miskin.
Maknanya
bahwa penduduk miskin membutuhkan bantuan secara langsung untuk mengurangi
dampak penurunan daya belinya. Bagaimanapun juga, individu miskin tidak dapat
menunggu untuk dapat makan dan memenuhi kebutuhan hidup minimal hariannya.
BLSM diwacanakan
oleh pemerintah sebagai bentuk kompensasi penyesuaian harga BBM dalam jangka
pendek. Artinya, pemerintah juga tetap memiliki tugas untuk merancang berbagai
bantuan sosial yang dapat mengatasi kemiskinan dalam jangka panjang. Kualitas
belanja pemerintah harus lebih baik dibanding sebelumnya. Berkurangnya alokasi
subsidi BBM harus diimbangi dengan peningkatan alokasi bantuan sosial,
khususnya bagi masyarakat miskin, hampir miskin, dan rentan.
Salah
satu yang harus dicermati dalam implementasi BLSM ialah penyalur annya.
Keakuratan data penduduk mis kin dan hampir miskin, mutlak di perlukan. Hal ini
untuk menghindari munculnya masalah inclusiondan exclusion errordalam penyaluran
BLSM. Inclusion error terjadi jika
orang yang seharusnya tidak menerima BLSM justru menerimanya. Sebaliknya, exclusion error terjadi saat orang yang
seharusnya menerima BLSM justru tidak menerimanya.
Pemerintah
tentu akan menggunakan sumber data terpadu yang berasal dari Pendataan Program
Perlindungan Sosial tahun 2011 (PPLS 2011). Data PPLS 2011 dikumpulkan oleh BPS
mencakup data nama dan alamat calon penerima bantuan sosial. Namun, perlu disadari
bahwa kemiskinan bersifat dinamis dari waktu ke waktu.
Ada
sekitar 24 juta rumah tangga yang terdata dalam PPLS 2011, di mana rumah tangga
tersebut merupakan 40 persen penduduk dengan kondisi sosial ekonomi terendah.
Permasalahannya ialah, apakah alokasi BLSM memang untuk 24 juta rumah tangga
tersebut?
Perkiraan
sementara, BLSM akan menjangkau 15,5 juta rumah tangga. Artinya, tidak seluruh rumah tangga yang terdata dalam PPLS akan menjadi penerima
BLSM. Oleh karenanya, penentuan rumah tangga penerima akan sangat krusial guna
menghindari konflik.
Selain
itu, adanya perbedaan waktu di mana data PPLS dikumpulkan tahun 2011 dengan
implementasi BLSM di 2013 perlu diantisipasi dengan tepat. Kita tentunya
berharap pemerintah dapat mempersiapkan dengan baik rencana penyesuaian harga
BBM bersubsidi beserta program kompensasinya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar